Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah Eksil 1965 Raih Penghargaan Film Indonesia Terbaik JAFF

Keunggulan Film Eksil menurut tiga juri JAFF memiliki keunggulan penting secara historis dan pasti sulit diproduksi,

3 Desember 2022 | 22.55 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Film berjudul Eksil karya Sutradara Lola Amaria meraih penghargaan film terbaik kategori Indonesian Screen Awards. Foto : dokumentasi JAFF

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Film dokumenter tentang penyintas tragedi 1965 meraih penghargaan Jogja NETPAC Asian Film Festival atau JAFF  2022 yang digelar di Yogyakarta, 26 November-3 Desember 2022.  Dewan juri JAFF memberikan penghargaan tersebut pada malam seremoni penutupan JAFF di Bioskop Empire XXI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara rutin, setiap tahun JAFF memiliki program kompetisi. Ada beberapa kategori penghargaan yang mereka berikan, di antaranya main competition, NETPAC Award, Blencong Award, dan Indonesian Screen Awards. Film besutan sutradara Lola Amaria berjudul Eksil meraih penghargaan film terbaik untuk kategori Indonesian Screen Awards. Tiga juri untuk kategori ini adalah Elvert Banares, Mat Kesting, dan Sandeep Ray. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suara-suara mereka menggambarkan kekerasan yang masih hidup dan terwariskan. "Film ini penting secara historis dan pasti sulit diproduksi," kata Sandeep Ray, Sabtu, 3 Desember 2022.

Tentang Juri di Kategori Indonesian Screen dan Film Eksil

Para juri di kategori ini sudah berpengalaman menguasai film-film bertema sejarah, sosial, dan politik. Sandeep Ray misalnya seorang sejarawan, penulis, dan seniman visual. Dia mengajar di University of Nottingham Malaysia sebagai Associate Professor. Mat Kesting kurator film, ahli pameran dan berbagai festival dari Australia.

Adegan di film Eksil. Foto: JAFF.

Film berdurasi 119 menit itu mengisahkan para eksil yang tidak bisa pulang ke Indonesia karena peristiwa politik, Perang Dingin 1960-an. Pemerintah Indonesia saat itu mengirim sejumlah mahasiswa ke Uni Soviet (Rusia) dan Tiongkok.  Setelah peristiwa 1965 pecah, mereka tak bisa pulang ke Indonesia. 

Mereka hidup tanpa status, putus kontak dengan keluarga, dan mencari negara yang mau menampung. Mereka hanya ingin pulang.  Film itu diproduksi di enam negara selama beberapa tahun dengan metode penggalian arsip, mengungkap sejarah traumatis penyintas melalui wawancara. 

Mat Kesting mengapresiasi Lola Amaria, sutradara perempuan yang berani mengangkat kisah yang mengharukan, lembut, dan penuh harapan itu. Film ini membantu generasi muda untuk memahami sejarah yang hampir dihapus. 

Presiden JAFF, Budi Irawanto menyebutkan film Eksil menarik sebagai film yang menawarkan sejarah dari berbagai sudut pandang. Film ini dibuat oleh generasi muda setelah Indonesia mengalami sejarah panjang kekuasaan militeristik. 

Dia berharap kalangan muda lebih terbuka terhadap berbagai perspektif. "Beban sejarah dilihat dari berbagai perspektif," ujar dia. 

SHINTA MAHARANI

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus