Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah Hidup yang (Tak) Sempurna

Sebuah film komedi tentang perkampungan yang berisi warga yang terlalu sempurna. Siapakah mereka?

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE STEPFORD WIVES Sutradara: Frank Oz Skenario: Paul Rudnick Pemain: Nicole Kidman, Matthew Broderick, Bette Middler, Christopher Walken, Glenn Close

Stepford adalah sebuah konsep kesempurnaan; sebuah kawasan di pinggiran Connecticut yang hanya berisi para istri cantik bertubuh sempurna, siap dan patuh meladeni suami siang-malam, dari mulai makanan hingga seks yang hebat, tetapi sekaligus menjadi ibu yang luar biasa bagi anak-anaknya. Pendeknya, Stepford adalah impian Amerika (dan semua bagian lain di dunia).

Tetapi, pada hari-hari pertama, pasangan Joanna Eberhart (Nicole Kidman) dan Walter Kresby—pasangan eksekutif televisi yang baru saja pindah ke perkampungan itu—telah merasakan beberapa hal yang ganjil dan tidak alami. Semua istri di perkampungan Stepford tidak hanya sempurna, cantik, dan seksi, tetapi terlalu sempurna. Mereka tersenyum dengan garis yang sama, tertawa dan bicara dengan volume yang sama, bergerak dan mengayun langkah dengan ritme yang seragam, dan bahkan bercinta di siang hari dengan sang suami dengan gairah yang agak bukan main, melebihi kemampuan manusia biasa. Siapakah mereka?

Film yang dibuat berdasarkan novel Ira Levin dan merupakan pembuatan ulang dari film tahun 1975 ini sejak awal sudah mengumumkan diri sebagai sebuah film komedi satiris. Awal film ini dimulai dengan beberapa foto dokumenter para istri Amerika tahun 1950-an yang "bergelimpangan" di antara alat-alat rumah tangga sembari tetap kelihatan cantik, seksi, dan "siap siaga" meladeni permintaan apa saja dari anak dan suami. Gambaran istri ideal tahun 1950-an—yang kemudian menjadi bulan-bulanan kaum feminis di tahun 1960-an—sudah menjadi barang klise bagi masyarakat Barat yang justru tengah merasa bosan dengan ejekan seniman pop culture yang gemar menggunakan "ikon" era Eisenhower itu.

Para perempuan (baca: istri) seperti Joanna Eberhart atau Bobby Markowitz (Bette Middler), yang digambarkan sebagai perempuan perkasa tahun 2000-an yang berpenghasilan jauh lebih tinggi daripada para suami, lebih kreatif, lebih segala-galanya, bahkan di tempat tidur menghadapi "problem baru" abad ke-21: para suami yang minder dan rindu akan era ketika mereka bisa menjajah istri.

Maka, solusi "mengoperasi" otak para istri perkasa ini—dengan meletakkan beberapa buah chip di dalam otak—dan menyulapnya menjadi "wanita ideal yang mencium kaki suami" yang robotik dimaksudkan sebagai sebuah satire. Inilah film yang mencoba mengejek para suami atau lelaki yang lelah dan jengkel dengan jeritan para istri yang meminta agar suami-suami juga berbagi pekerjaan rumah tangga (karena bukankah sekarang kocek rumah tangga juga diisi oleh para istri dan, by the way, bahkan bread winner-nya adalah para istri?).

Paruh awal film ini menjanjikan suspense. Asyik. Kita digiring pada sebuah pertanyaan: siapakah para istri cantik, seksi, yang tampak begitu robotik itu? Namun, setelah kita semua paham warga buatan itu, sutradara Oz mempunyai pekerjaan berat: apa yang harus dilakukan pasangan itu? Menyerah pada konsep warga yang sinting itu? Atau lari kembali ke New York yang penuh dengan tekanan karier itu?

Film ini sudah dibuat tahun 1975, sebuah era yang tepat untuk menghajar kaum yang merasa terancam oleh protes kaum feminis. Tetapi, di tahun 2000-an (terutama di negara-negara Barat), ancaman terhadap feminisme tak lagi berbentuk hal-hal yang fisik dan persoalan pembagian kerja rumah tangga semata.

Dengan skenario yang tanggung seperti ini, para aktor dan aktris kaliber dahsyat seperti Nicole Kidman, Christopher Walken, Glenn Close, dan Bette Middler tak terasa optimal, meski harus diakui merekalah yang menyalakan api dalam film ini. Matthew Broderick sudah waktunya mencari peran yang lebih menantang daripada terus-menerus tampil sebagai suami/kekasih yang baik hati dan pengertian (lihatlah peran-peran sebelumnya).

Akhir film ini tak seprovokatif paruh awal cerita, tetapi toh tetap meredam segala konflik yang diperkenalkan. Pesan moralnya: tak ada yang sempurna dalam hidup, bahkan perkawinan yang sukses pun membutuhkan kerja keras yang luar biasa. Lagi-lagi klise, tapi tak ada salahnya kita diingatkan agar tak senantiasa merasa buruk dan gagal. Dengan tuntutan yang begitu hebat dalam hidup ini (sebagai suami/istri/ayah/ibu/kekasih/karyawan/tetangga/saudara yang hebat, baik, pandai, penuh perhatian, bla-bla-bla…), ada baiknya kita juga menyediakan ruang kecil dalam sudut hati seraya berkata: tak mengapa jika kita berbuat salah sesekali saja. Hidup memang tak pernah sempurna.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus