Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ramai-Ramai Menggugat Dokter

Pengaduan masyarakat atas dugaan malpraktek semakin marak. Perlu lembaga audit medis dan standar profesi dokter.

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANA Kusmanto tak bisa menyembunyikan kepedihannya. Setiap kali memandang Dherens, bayinya yang kini berumur empat bulan, hati perempuan itu tersayat. Kaki Dherens tak tumbuh normal. Kaki kanan lebih pendek ketimbang yang kiri, dari paha kaki kanan itu tumbuh tulang baru yang mendesak tulang kulit paha. Tulang paha kanan itu kemudian membesar, mengikuti bentuk tulang baru.

Bagi Ana, ini bukan pertumbuhan alamiah. Ia yakin anak keduanya itu korban malpraktek dokter di Rumah Sakit Medistra ketika ia menjalani persalinan lewat bedah caesar di sana, 9 Juli silam. Menurut Ana, beberapa saat setelah dilahirkan, Dherens terus menangis. Kaki Dherens, kata Ana, ketika itu berwarna biru lebam dan gerakannya tak normal. Ketika dilakukan rontgen, diketahui tulang paha kanan bayinya patah.

Tetapi dokter yang menangani persalinannya meminta Ana tenang. "Kasus patah tulang seperti ini biasa, dua atau tiga bulan lagi akan sembuh," kata sang dokter seperti ditirukan Ana. Tapi, ya, itu: kaki Dherens tak kunjung normal. Kusmanto dan Ana melayangkan somasi ke rumah sakit terkenal di Ibu Kota itu. Mereka meminta Medistra ikut bertanggung jawab atas keadaan yang dialami bayinya.

Karena jawaban Medistra tak memuaskan, Ana membawa kasus ini ke polisi. Ia menuduh Medistra melakukan kelalaian sehingga bayinya cacat. Pasangan ini juga berencana menuntut ganti rugi Rp 17 miliar. Tuduhan dugaan malpraktek yang dilakukan dokter di rumah sakit ini juga datang dari keluarga Sukma Ayu. Mereka menduga ada kejanggalan yang dilakukan tim dokter saat menangani almarhumah.

Sukma dirawat di Rumah Sakit Medistra mulai 9 April lalu, setelah lengannya dioperasi karena mengalami kecelakaan. Sukma kemudian koma selama lima bulan, sebelum akhirnya wafat pada akhir September lalu. Keluarga Sukma, lewat pengacara Hotman Paris Hutapea, mengajukan somasi. Mereka menduga artis ini meninggal karena adanya penanganan tak benar dari dokter.

Persidangan terhadap dugaan malpraktek dua pekan lalu juga muncul di Pengadilan Jakarta Pusat. Indra Syafri Yacub menggugat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, RS Pelni Petamburan, dan RS Palang Merah Indonesia (PMI) Bogor dengan tuduhan telah melakukan malpraktek terhadap istrinya, Adya Vitry Harisusanti.

Menurut Indra, pada 10 November 2002, Adya memeriksakan kesehatannya ke RS PMI Bogor. Karena informasi medis di rumah sakit itu tak memuaskan, Indra membawa istrinya ke RS Pelni, Jakarta. Dari tempat itu, setelah meminta rujukan, pada 17 Desember ia memindahkan istrinya ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM). Di RSCM, kata Indra, terjadi kesalahan pemasangan alat CVP (central vena pressure).

Pemasangan alat yang menggunakan jarum suntik itu, menurut Indra, tidak pada tempatnya. "Darah yang muncrat adalah darah segar yang berasal dari arteri, dan bukan masuk ke vena," ujarnya. Beberapa saat kemudian, Adya tewas. Namun, gugatan Indra ditolak. Menurut majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan Indra terlalu prematur karena tidak ada autopsi terhadap pasien sehingga tak diketahui penyebab kematiannya.

Indra tak menyerah. Lewat Pengacara Erna Ratnaningsih, yang juga Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, ia melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya. Erna yakin terjadi malpraktek terhadap Adya. Apalagi, menurut dia, dokter yang memasang CVP, Dokter Fahrurozi, adalah dokter "residen"?dokter yang masih ikut pendidikan spesialisasi anestesi di RSCM. "Dokter itu melanggar Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena kelalaiannya menyebabkan Adya meninggal," kata Erna. Erna juga mengadukan atasan Fahrurozi karena tidak melakukan pengawasan terhadap bawahannya.

Gugatan kasus malpraktek kini marak di mana-mana. LBH Kesehatan, misalnya, saat ini menangani tak kurang dari 180 kasus berkaitan dengan dugaan malpraktek. "Beberapa kasus sudah dilaporkan ke polisi," kata Iskandar Sitorus, Ketua LBH Kesehatan. Jumlah ini jauh lebih besar dari yang ditangani LBH Jakarta. Sepanjang 2001-2004, LBH Jakarta menangani 21 kasus. Menurut Erna Ratnaningsih, tiga kasus di antaranya sudah ke pengadilan.

Banyaknya laporan pengaduan kasus dugaan malpraktek tentu saja mengkhawatirkan para dokter. Tentu saja tak semua dokter setuju dengan istilah malpraktek ini. Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Kartono Mohamad, misalnya, menyatakan tidak semua kesalahan medis yang dilakukan dokter akan berujung sebagai kasus dugaan malpraktek. Malpraktek, kata Kartono, adalah istilah hukum untuk kasus kesalahan medis yang diadukan ke pengadilan.

Erna tak sependapat dengan Kartono. Menurut dia, seorang dokter diduga malpraktek jika salah mengambil tindakan medis. Tindakan pembiaran pun, kata Erna, dikategorikan malpraktek. "Dokter yang seharusnya melakukan sesuatu tapi tidak melakukannya, itu pun termasuk malpraktek. Atau sebaliknya, melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan," tuturnya.

Erna sendiri menyatakan pihaknya tak pernah langsung menuduh seorang dokter melakukan malpraktek. Menurut dia, LBH lebih dulu akan meminta data rekaman medis untuk mengetahui apakah tindakan dokter sudah sesuai dengan standar atau belum. "Kami berkonsultasi dan meminta second opinion dari dokter lain berdasarkan rekaman medis itu," katanya.

Ganjalannya: tak mudah mendapatkan rekaman medis. "Pihak rumah sakit enggan memberikan data dengan alasan milik rumah sakit," kata Erna. Meminta second opinion dari dokter lain juga tak mudah. Karena itu, menurut Erna, perlu ada lembaga audit medis yang independen untuk memberikan pendapat mengenai rekaman medis itu.

Ketua Umum IDI, Farid Anfasa Moeloek, memandang masalah ini dari kurangnya komunikasi pasien dengan dokter. Farid mengakui, tindakan medis yang dilakukan dokter kadang tak sesuai dengan harapan pasien. Menurut dia, tindakan medis yang dilakukan dokter selalu mengandung risiko, dan tidak menjanjikan kesembuhan. "Ada tiga kemungkinan: kesembuhan, cacat, atau meninggal," kata Farid kepada Edy Can dari Tempo.

Tindakan medis yang dilakukan dokter, kata Farid, sudah ada prosedurnya. Jika pun ada dugaan malpraktek, majelis kode etik akan menanganinya, meminta klarifikasi tindakan yang dilakukan dokter tersebut. Namun, pasien tidak bisa mengetahui tindakan dokter itu sudah sesuai atau tidak. "Hanya majelis kode etik yang mengetahuinya," kata Farid. Klarifikasi tindakan medis seorang dokter bisa dilakukan karena adanya pengaduan masyarakat, atau inisiatif IDI.

Bagi Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), kasus malpraktek timbul karena selama ini dokter tidak punya standar profesi. Sejak enam tahun silam pihaknya telah menuntut perlunya standar itu bagi profesi kedokteran dan tenaga kesehatan. "Bukan standar terhadap 200 jenis penyakit yang dibuat IDI, melainkan standar yang harus dibuat sekitar 30 perhimpunan dokter, mulai dari dokter bedah, penyakit dalam, kebidanan, dan sebagainya," kata Marius.

Hubungan dokter dengan pasien pun menurut Marius adalah sederajat. "Karena itu, jika terjadi sesuatu, sah saja masyarakat mengatakan ini malpraktek. Sebab, aturan mainnya tidak ada," katanya. Marius juga mengkritik dokter yang kerap mengelak dengan menyatakan tindakan medis yang diambilnya telah sesuai dengan SOP (standard operational procedure). Menurut dia, tak ada standar SOP di Indonesia karena, jika ada, masyarakat pasti mengetahuinya. "Kalau sekarang kan SOP-SOP-an. Rumah sakit yang satu berbeda SOP-nya dengan rumah sakit lain," katanya.

Rancangan Undang-Undang Praktek Kedokteran, yang disahkan DPR September lalu, dinilai tidak memihak pada pasien. Marius melihat RUU Praktek Kedokteran hanya mengatur hulunya, dokternya, dan tidak melindungi pasien. "Padahal undang-undang itu seharusnya mencakup hulu, hilir, dan mudik," katanya. Lantaran tak adanya standar profesi dan aturan hukum yang jelas inilah, menurut Marius, tidak bisa dibedakan antara malpraktek, kelalaian, dan kegagalan tindakan medis seorang dokter. "Dari sisi hukum, ini sulit, semua dianggap kecelakaan," ujarnya.

Sukma N. Loppies

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus