Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah kemiskinan di mata ray

Pekan film satyajit ray di tim, jakarta, pekan lalu. ray melihat permasalahan sosial di negaranya, india, seperti seorang pengamat sosial yang cermat. ia banyak bicara soal kemiskinan.

12 Juni 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGIN menderu-deru menyisir permukaan sungai. Durga menyelenggarakan upacara siraman untuk dirinya sendiri di pinggir sungai itu. Ia membayangkan dirinya menjadi seorang calon pengantin. Namun, yang terjadi adalah hujan badai. Durga basah kuyup, terserang demam, dan ia meninggal dunia. Salah satu cuplikan film Pather Panchali (Nyanyian Jalanan) ini adalah karya pertama sutradara India terkemuka, Satyajit Ray, yang dibuat berdasarkan novel Bibhuti Bhushan Bandyopadyay. Film ini dibuat tahun 1955, tapi India secara tak sadar telah melahirkan seorang par excellence dalam bidang perfilman. Pather Pachali menceritakan kisah kemiskinan yang biasa. Sang ayah adalah seorang penyair yang tak tahu bagaimana mencari uang melalui puisi-puisinya sang istri sibuk mengurus rumah tangga dan selalu bingung ke mana mencari beras dan lauknya Durga setiap hari bertualang di hutan, mencuri mangga tetangga dan memberikannya kepada uwaknya yang menumpang di rumah mereka dan Apu adik bungsu Durga menyaksikan semua drama sehari-hari di sekelilingnya dengan matanya yang bulat dan cerdas. Dari Apulah kita menyaksikan kepedihan sang ibu yang terpaksa menghukum Durga yang dituduh mencuri kalung tetangga. Dari Apu pula kita menyaksikan kematian demi kematian yang terjadi begitu beruntun. Dalam Aparajito (The Unvanguish), serial kedua dari trilogi film ini, Apu menyaksikan kematian ayah dan ibunya, sedangkan pada Apu Sansar (Dunia Apu), istrinya yang jelita meninggal ketika melahirkan bayinya. Film-film ini diputar dalam Pekan Film Satyajit Ray di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki Jakarta pekan lalu, sebuah retrospeksi terhadap sutradara yang tahun silam meninggal dunia. Meski film itu banyak berlatar belakang kemiskinan, kita tidak menyaksikan sebuah eksploitasi kemiskinan yang mengumpan banjir air mata. Ray melihat permasalahan sosial di negaranya seperti seorang pengamat sosial yang cermat, diramu dengan daya visualisasi yang tinggi. Alangkah sengsaranya melihat berharganya sebutir nasi untuk orang-orang semacam keluarga Apu. Tapi toh Ray memperlihatkan bahwa mereka adalah orang yang bisa bahagia karena melihat kereta api lewat. Mungkin karena Ray adalah seorang ilustrator buku sebelum menjadi sutradara, kecermatannya dalam menggambarkan setiap adegan menjadi kelebihannya yang utama. Adegan demi adegan yang biasa digambar dulu oleh Ray di atas kertas lengkap dengan warna dan kostum yang dibayangkannya tidak pernah menjadi shot-shot yang mubazir. Adegan, dialog, dan keheningan yang diramu terasa pas dan wajar. Kemiskinan, dalam film Ray, bukan sesuatu yang ditangisi, tetapi sebuah keadaan yang dijalani dan jika mungkin diatasi. Ia juga tak membuat kemiskinan menjadi komoditi ekspor yang eksotis, karena keindahan dalam film-film Ray bukanlah keindahan sebuah impian. Keindahan terasa karena kesederhanaan pandangan hidup para tokohnya yang menggugah perasaan kita. Tapi Ray juga tidak berusaha meromantisir kemiskinan dan permasalahan sosial di sekelilingnya. Film Jana Aranya (Sang Calo) adalah sebuah gambaran karikatural tentang pemuda Somnath yang mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan dan akhirnya memutuskan memasuki bisnis atas bujukan kawannya. Bisnis yang digeluti adalah sebuah perusahaan perantara. ''Kita bikin tiga macam kartu nama dengan tiga perusahaan yang berbeda,'' kata kawannya bersemangat. Somnath melongo. ''Itu, kawan saya, punya 11 perusahaan. Yang satu perusahaan betul, yang 10 perusahaan fiktif,'' katanya cekikikan. Maka, Somnath menjelma menjadi seorang calo dengan tiga kartu nama yang berbeda. Mulai dari menawarkan kertas dan apmlop ke perusahaan-perusahaan kecil, perlahan-lahan Somnath secara tak sengaja harus menjadi perantara untuk suplai wanita penghibur. Di tangan Ray, kenyataan getir di negara-negara berkembang ini menjadi sebuah esei kritis yang menggerogoti emosi. Dalam kegelapan dan nyala lilin, terdengar suara Somnath yang mengeluh tentang dirinya yang merasa terseret ke dunia yang bejat. Suasana yang dibangun oleh kegelapan itu menciptakan rasa putus asa dan sia-sia. Dibanding film-filmnya yang terdahulu yang masih menyiratkan optimisme, film ini secara eksplisit menyarankan kesia-siaan. Jana Aranya adalah protes Ray terhadap korupsi dan kebejatan yang sukar dilepaskan dari kehidupan sehari-hari di negara berkembang. Protes Ray kepada ''kelas atas'' India tercermin dalam film Ghare Baire yang dibuat berdasarkan novel karya Rabindanath Tagore. Film yang kebanyakan mengambil latar interior karena disebabkan kesehatan Ray mulai menurun menceritakan persoalan ''masa lalu'', saat tradisi purdah (wanita tak bisa meninggalkan rumahnya atau dilihat laki-laki yang bukan suaminya) dan saat pergolakan kaum separatis sedang giat mengumandangkan swadesi (mencintai dan hanya memakai produksi sendiri). Persoalan ''masa lalu'' itu sesungguhnya masih persoalan masa kini. Hanya melalui tiga orang tokoh sepanjang film, Ray meramu persoalan sosial politik pada awal tahun 1900-an di India dengan konflik psikologis yang dialami tokoh-tokohnya. Konflik ketiga tokohnya yang berkembang menjadi kisah cinta segi tiga terjahit rapi dengan permasalahan sosial politik. Kehidupan dalam film Ray adalah kenyataan sehari-hari yang mengharukan, menyedihkan, sekaligus menggembirakan. Hanya tangan seorang empu yang bisa memindahkan kehidupan nyata di dalam film yang meninggalkan kesan yang mendalam. Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus