Sejumlah surat kabar memberitakan adanya protes masyarakat atas sejumlah pembangunan lapangan golf. Pada umumnya isi protes tersebut pernyataan tidak setuju atas pembangunan lapangan golf yang menurut mereka lebih membawa kesengsaraan daripada keuntungan bagi masyarakat. Terutama bagi masyarakat yang tanahnya dibeli pihak pengusaha. Kesengsaraan ini berupa ''penggusuran'', ''ingkar janji'' pengusaha untuk mempekerjakan rakyat sekitar, ''ketidakadilan'' dalam menetapkan harga jual tanah, serta berbagai kerugian materiil maupun moril yang timbul dari pembangunan lapangan golf. Setiap proses pembangunan selalu diikuti dengan aspek-aspek positif (menguntungkan) dan aspek negatif (merugikan). Kedua aspek ini mempunyai tingkat tinggi-rendah yang berbeda-beda, pada persepsi pihak yang berkaitan (pengusaha, pemerintah, dan masyarakat). Perbedaan persepsi tentang aspek-aspek positif dan negatif tidak terlepas dari kepentingan pihak yang bersangkutan. Kepentingan pengusaha adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Kepentingan rakyat yang bersangkutan, dalam arti yang tanahnya ''dibeli'' (menggunakan tanda kutip karena mungkin terdapat unsur terpaksa), sewajarnya ingin mendapatkan harga jual yang sesuai dengan nilai pindah mereka. Mereka harus memulai hidup di tempat lain, yang memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal ini dapat diambil contoh, mereka harus membeli rumah baru, mengeluarkan biaya pindah, serta merencanakan biaya-biaya rutin baru yang jelas berubah di tempat tinggal baru. Tuntutan ganti rugi ini malah bisa lebih besar bila ''biaya ganti rugi'' meliputi putusnya hubungan sosiologis pemilik tanah dengan tanah milik mereka yang telah digarap bertahun-tahun (kerugian moril). Kewajiban pemerintah adalah menertibkan proses pembangunan lapangan golf tersebut, yaitu mulai dari perizinan yang harus diberikan dengan syarat-syarat tertentu, pembangunan fisik yang memerlukan berbagai izin untuk membangun suatu sarana, pemeriksaan secara fisik apakah telah sesuai dengan rencana pengembangan wilayah, memeriksa apakah dapat menimbulkan dampak lingkungan, apakah pembangunan tersebut dilakukan dengan tidak menimbulkan gejolak sosial masyarakat sekitar, dan idealnya pembangunan itu bisa menyejahterakan masyarakat dalam arti umum. Pada dasarnya pemerintah adalah pelindung kepentingan masyarakat, dengan mempertimbangkan skala prioritas jika terjadi benturan kepentingan di antara kelompok masyarakat. Sepanjang masih terdapat perbedaan persepsi di antara sektor- sektor tersebut, pemecahan masalah tetap akan sulit diambil. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah telah membuat berbagai macam aturan perundang-undangan yang berisikan aturan-aturan untuk menghindari adanya konflik dan dampak negatif. Sebenarnya, dengan adanya aturan perundang-undangan ini, ketenteraman dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat (pengusaha, pemerintah, dan rakyat) bisa tercipta. Semua pihak mendapatkan suatu ''keuntungan'' dengan adanya pembangunan lapangan golf tersebut. Perkembangan yang ada semenjak menjamurnya bisnis ''rumput hijau'' itu sampai sekarang lebih banyak aspek negatifnya. Pada umumnya menyangkut masalah perbedaan persepsi dalam penjualan tanah, kesejahteraan masyarakat, dan cara pelaksanaan pembebasan tanah. Menghadapi ini, pihak penengah, dalam hal ini pemerintah, perlu mengkaji kembali hal-hal yang selalu muncul tersebut. Suatu masalah yang sudah terjadi berulang-ulang sebenarnya lebih mudah ditemukan cara pemecahannya. Proses penjualan tanah yang selama ini terjadi selalu menggambarkan bahwa proses penjualan telah mencapai kata sepakat dan keputusan telah diambil serta dapat dilaksanakan. Rakyat pemilik tanah telah setuju dan pihak pengusaha bebas membangun di atas tanah miliknya. Proses jual-beli memang melalui ''bentuk'' seperti di atas, akan tetapi perlu dikaji kembali bahwa suatu peristiwa (bila menyangkut kepentingan manusia) tidak selalu dapat dilaksanakan hitam di atas putih. Dalam proses terbentuknya persetujuan itu perlu dilihat aspek- aspek imateriil: kesepakatan dalam jual-beli, kebebasan dalam menentukan harga tanah, tidak terjadinya paksaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara garis besar proses pembangunan lapangan golf seyogianya tidak didasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis saja, tapi mempertimbangkan pula rasa keadilan dan keseimbangan kepentingan dua pihak (akibat berurusan dengan banyak anggota rakyat sebagai pemilik tanah). Pelaksanaan pasca-pembangunan pun harus diperhatikan. Jika pada saat awal proses pembangunan pengusaha telah berjanji akan mempekerjakan para pemilik tanah di perusahaan lapangan golf, pengusaha harus konsekuen dengan janjinya itu. Untuk menjalankan itu semua, peranan pemerintah sangat penting, khususnya para personel pemerintah yang terlibat dalam proses pembangunan lapangan golf. Munculnya berbagai masalah menunjukkan bahwa ada sesuatu yang ''tidak berjalan''. Pada bagian tertentu terjadi ''kemacetan'' yang kemudian dipaksakan dan tentu menghasilkan suatu keputusan yang timpang, dalam arti keuntungan bagi satu pihak dan kerugian di pihak lain. Hal ini sewajarnya perlu dikaji kembali oleh pemerintah karena rakyat berpendapat bahwa hanya pemerintah yang dapat memecahkan segala masalah yang timbul dalam proses pembangunan lapangan golf. Salah satu keinginan rakyat adalah mendapatkan kejelasan yang masuk akal dan kejujuran personel pemerintah yang terlibat dalam proses pembangunan lapangan golf. Rakyat ingin mendapatkan keterangan. Secara hakiki, pengusaha, pemerintah, dan rakyat adalah sesama rakyat Indonesia, maka kita semua pasti mengharapkan bahwa segala permasalahan akan selesai dengan baik. YULIAWAN PRAKOSO Jalan Bendi VII/12 Jakarta 12240
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini