Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELUM terkenal sebagai kawasan rumah keluarga Soeharto, Jalan Cendana di Menteng, Jakarta, adalah sebuah jalan kecil yang diisi rumah gedong berhalaman lebar yang penghuninya sering saling mengunjungi untuk minum teh sore. Pada akhir 1950-an, Debra Yatim, yang kala itu baru berusia 3-4 tahun, tinggal di salah satu rumah di jalan tersebut dan sering ikut ibunya minum teh di rumah tetangga. Waktu kudapan sore itu ternyata bukan kenangan indah untuk Debra. “Hampir semua rumah di Jalan Cendana waktu itu menyimpan satu-dua lukisan bergaya serupa. Saya selalu main di luar rumah karena merasa lukisan-lukisan itu seram,” ujar Debra—kini aktivis perempuan dan penulis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam ingatan Debra, semua lukisan di rumah Jalan Cendana berbeda, tapi menguarkan aura yang sama. Figur yang muncul antara lain manusia pendek, manusia hitam, atau perempuan bermata terbelalak. Lukisan paling menakutkan menurut Debra bahkan dipajang di rumah tantenya sendiri, Jane Waworuntu, yang tinggal di rumah nomor 9. Lukisan yang tergantung di beranda rumah Jane itu menampilkan sosok perempuan berbaju merah dengan pandangan mata tajam, rambutnya tersampir di bahu, tangannya menggenggam payung, dan tubuhnya seolah-olah sedang meliuk. Belakangan, Debra mengetahui bahwa lukisan-lukisan yang menghantui masa kecilnya itu adalah karya satu pelukis: Emiria Sunassa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Emiria pernah tinggal beberapa tahun di Jalan Cendana Nomor 7. Debra tak ingat pernah berinteraksi langsung dengan Emiria. Tapi kawan-kawan masa kecil dan kerabatnya sering berbagi cerita tentang sosok unik yang akrab mereka panggil Tante Em itu. Salah satunya Dodo Karundeng, fotografer dan komikus yang pernah bertetangga dengan Debra dan Emiria. Karena beberapa tahun lebih tua dari Debra, Dodo punya ingatan lebih banyak tentang Emiria. “Dia sehari-hari memakai baju kurung, rambutnya sudah beruban. Dia galak pada anak-anak yang suka ribut ketika bermain di halaman rumahnya,” Dodo mengenang.
Seingat Dodo, Emiria hidup melajang. Sehari-hari kerjanya melukis. Dia memelihara seekor pudel galak bernama Dodi dan mengangkat anak perempuan hitam manis bernama Erika yang saat itu berumur sekitar 15 tahun. Namun, saat Dodo beranjak remaja, dia tak pernah lagi melihat Tante Em. “Menghilang entah ke mana,” ucap Dodo.
Periode Emiria menghilang diperkirakan sekitar 1959 karena pamerannya terakhir kali tercatat pada tahun tersebut. Dia berpameran bersama Trisno Sumardjo, Oesman Effendi, dan Zaini di Taman Seni Rupa Merdeka, Kebayoran, Jakarta.
Karya-karya Emiria yang ditinggalkan di rumahnya yang kosong kemudian diselamatkan Jane Waworuntu. Saat Jane meninggal, lukisan Emiria dikirimkan ke kerabatnya, Wija Waworuntu, pemilik Hotel Tandjung Sari di Sanur, Bali. Debra datang ke hotel pamannya itu saat kiriman lukisan datang. “Ada 32 lukisan. Gue loncat dan teriak waktu lihat lagi lukisan-lukisan itu,” kata Debra, tertawa.
Misteri Emiria tak hanya berpusar pada akhir masa hidupnya. Asal-usul perempuan ini pun simpang-siur karena riwayatnya sebagian besar disampaikan secara lisan. Salah satu catatan paling serius tentang hidup Emiria disusun oleh Heidi Arbuckle untuk disertasi doktoralnya di University of Melbourne, Australia, pada 2011 yang berjudul “Performing Emiria Sunassa: Reframing the Female Subject in Post/colonial Indonesia”. Peneliti seni Claire Holt juga pernah menyinggung sekilas sosok Emiria dalam buku Art in Indonesia: Continuities and Change yang terbit pada 1967.
Holt menulis bahwa Emiria menyatakan diri sebagai putri sultan terakhir Tidore, Sultan Sahadjuan. Lahir pada 5 Agustus 1984, ia memiliki nama lengkap Emiria Sunassa Wama’na Poetri Al-Alam Mahkota Tidore. Holt mencatat bahwa Emiria lahir di Tidore, sementara Arbuckle meyakini tempat lahir Emiria adalah Tanawangko, sebuah desa berpenghuni warga keturunan Tidore di Sulawesi Utara. Emiria mendapat pendidikan dari Europese Lagere School, sekolah yang hanya diperuntukkan bagi warga Belanda dan pejabat kaya di Hindia Belanda.
Sebelum menjadi pelukis, Emiria punya karier yang amat beragam. Dia pernah menjadi perawat di Rumah Sakit Cikini pada 1912-1914. Saat Perang Dunia I berkecamuk di Eropa, Emiria malah merantau ke Brussels dan Wina untuk belajar metode gerak Dalcroze. Pada 1920-an, Emiria kembali ke Hindia Belanda dan tinggal berpindah-pindah di Papua, Kalimantan, dan Sumatera untuk bekerja di perusahaan tambang dan perkebunan. Selama berkelana, Emiria sering mengunjungi dan menginap di desa-desa terpencil yang dihuni suku-suku asli. Pengalaman ini nantinya muncul dalam karakter lukisan Emiria.
Emiria akhirnya menetap di Batavia pada akhir 1930-an. Dalam catatan Holt, ini menjadi periode Emiria aktif di Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), yang berdiri pada 1938. Dapat diduga, pada masa-masa inilah Emiria mulai berfokus menghasilkan lukisan. Emiria, yang saat itu sudah berusia kepala empat, menjadi anomali di antara anggota Persagi yang sebagian besar lelaki 20-an tahun.
Kendati tinggal di Jakarta dan telah berkelana ke berbagai penjuru dunia, Emiria menunjukkan ikatan yang kuat dengan Indonesia timur. Selain biasa berbaju bodo seperti yang diingat Debra Yatim dan Dodo Karundeng serta banyak melukis dengan obyek dari suku-suku di timur Nusantara, Emiria terlibat dalam kegiatan politik terkait dengan status Irian Barat.
Menurut Dodo, Emiria punya hubungan dekat dengan Raja Machmud Rumagesan, Ketua Gerakan Cenderawasih Revolusioner Irian Barat yang dikenal sebagai pejuang integrasi Papua Barat. “Raja Rumagesan tinggal di rumah besar Emiria dan banyak pemuda juga datang ke sana. Salah satunya Kolonel Dimara,” tutur Dodo.
Emiria (kiri) bersama Raja Rumagesan, pejuang integrasi Papua Barat dengan Indonesia./Buku Machmud Singgirei Rumagesan, Pejuang INtegrasi Papua
Dimara yang dimaksud adalah J.A. Dimara, tokoh Papua yang menjadi model Patung Pembebasan Irian Barat karya perupa Edhi Soenarso karena peran besarnya dalam meleburkan Irian dengan Indonesia. Monumen ini sampai kini masih dapat dilihat di Lapangan Banteng, Jakarta.
Informasi kedekatan Emiria dengan tokoh-tokoh itu memberikan kesan bahwa dia mendukung persatuan Papua Barat dengan Indonesia. Namun boleh jadi Emiria punya agenda sendiri. Misteri hilangnya Emiria pada pengujung 1959 patut diduga berkaitan erat dengan aktivitas politiknya di Irian Barat. Sebuah arsip di www.nationaalarchief.nl menerangkan bahwa pada 1960 Emiria pernah mengajukan permohonan visa untuk pergi ke Nederlands-Nieuw-Guinea (nama Papua Barat saat itu yang masih dalam sengketa antara pemerintah Belanda dan Indonesia).
Pada tahun yang sama, nama Emiria muncul empat kali dalam berita koran Singapura, The Strait Times, yang Tempo akses melalui perpustakaan digital National Library Board, Singapura. Emiria pertama kali disebut dalam artikel bertanggal 28 Juni 1960 berjudul “Princess fights for a throne: Madame Emiria is off to U.N. (with a necklace and document) to stake her claim as ruler of W. Irian”. Artikel itu menyebutkan Emiria Sunassa, 66 tahun, berada di Singapura untuk menyatakan diri sebagai penguasa sah Irian Barat. Emiria, yang mengenakan baju kurung dan sarung kotak-kotak, membawa sertifikat kelahirannya dari tahun 1984 yang mencantumkan bahwa dia putri Sultan Tidore dan Ratu Onim Papua (nama lama Papua Barat). Dia pun menunjukkan sebuah kalung yang disebut sebagai simbol Kerajaan Onim Papua.
Kepada koran itu, Emiria juga menyatakan telah meminta pertimbangan hukum dari banyak ahli di seluruh dunia, termasuk di Singapura, untuk mengajukan klaimnya atas Irian Barat ke Persatuan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. Saat ditanyai mengapa baru sekarang dia mengklaim takhta, Emiria menjawab, “Saya sudah berjuang lama, tapi tidak terlalu kuat,” katanya kepada The Strait Times.
Artikel-artikel selanjutnya terbit pada tanggal berbeda bulan Juli. Salah satunya mencantumkan tanggapan perwakilan Republik Indonesia atas klaim Emiria. “Pemerintah Indonesia hanya dapat mempertimbangkan hak putri itu sebagai Ratu Irian Barat setelah kami dapat merebut kembali daerah itu dari Belanda dan apabila telah terbukti bahwa putri itu sesungguhnya berhak atas singgasana Irian Barat,” begitu pernyataan pejabat konsulat Indonesia di Singapura yang tak disebutkan namanya.
Pejabat itu juga meminta Emiria tak membawa tuntutannya ke PBB. Emiria disarankan merundingkan urusan takhta Irian Barat itu lewat Mahkamah Indonesia saja. Saran tersebut ditolak Emiria, yang berkeras akan pergi ke New York. Dalam sebuah konferensi pers di tempat rahasia, Emiria memastikan dia sedang dalam persiapan final untuk pergi ke Markas PBB. Emiria juga mengeluhkan berita palsu yang berkembang di Indonesia yang menyebutnya disponsori pengusaha Cina dan seorang Belanda bernama Profesor Pijper. “Sponsor saya adalah diri sendiri,” ujar Emiria.
Apakah Emiria jadi ke New York dan bagaimana nasib perjuangannya tak terjawab hingga kini. Sementara itu, Indonesia resmi mengambil alih kekuasaan atas Irian Barat dari Belanda pada 31 Desember 1962. Dua tahun kemudian, tepatnya 7 April 1964, Emiria dikabarkan berada di Lampung, telah meninggal.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo