Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jonathan Burrows tidak membutuhkan waktu lebih dari lima detik untuk mengawali gerak. Di atas kursi, ia menautkan kedua jari ta-ngannya di depan dada, lantas kembali ke posisi semulaterkatup lekat di kedua pahanya. Lalu giliran Matteo Fargion: gerak tangan, gerak tubuh bagian atas, dan posisi seratus persen mengikuti pola Burrows. Lalu Burrows kembali menggerakkan tangan, kali ini ditambah sedikit kombinasi. Demikian seterusnya selama 50 menit. Mereka bergantian memperagakan gerak, serangkai demi serangkai.
Both Sitting Duet karya Jonathan Burrows dan Matteo Fargion, yang dipentaskan pada 20-21 Mei di Project Arts Center, Dublin, Irlandia, adalah sebuah nomor tari. Tapi menyaksikan mereka duduk, melakukan gerak sederhana, bisa dilakukan semua orang, kita pun jadi ragu. Tari adalah istilah yang mengundang sejumlah ekspektasi, termasuk gerak yang penuh virtuositas tinggi. Tapi yang mereka perlihatkan di atas panggung jauh melenceng dari definisi standar itu.
Mungkin satu-satunya yang membedakan gerak mereka dari gerak biasa orang kebanyakan adalah "sebab" dan bukan "akibat" gerakan. Gerak mereka berangkat dari sejumlah simbol dalam partitur, lembar-lembar yang mereka letakkan di atas lantai, dekat kursi. Ya, partitur khusus: ada tanda ketukan, tapi tak ada notmelainkan kode aneka bentuk gerakan dan perpindahan. Both Sitting Duet tampil pada minggu terakhir Festival Tari Internasional Irlandia yang berlangsung sejak 4 Mei. Namun kehadirannya berhasil menyedot perhatian di antara nama besar di dunia tari kontemporer dewasa ini: Thomas Lehmen (Jerman), Mark Morris (Amerika), Anne Teresa de Keersmaeker dengan anggota kelompok tarinya, Rosas (Belgia), dan Josef Nadj (Prancis).
Memang, duet Burrows-Fargion mewakili kecenderungan mutakhir tari kontemporer, dari sebuah dunia yang tak lagi berminat memisah-misahkan tari dan non-tari. Fargion sendiri bukan orang tari. Ia komponis musik kontemporer. Ia tak menciptakan musik, tapi berkolaborasi, sama-sama "menari". Namun inilah dunia tari kontemporer. Dan semua itu jadi tidak kelihatan demikian ekstrem, bila dibandingkan dengan Stationen, sebuah karya Thomas Lehmen yang pernah ditampilkan di Berlin, Oktober 2003.
Dalam Stationen, melalui iklan di surat kabar, Lehmen mengundang orang dengan aneka macam pekerjaan. Ia berhasil mengumpulkan banyak orang, dari sopir truk, pastor, penjaga apotik, pegawai supermarket, hingga sales asuransi. Kemudian, bersama-sama para penarinya, orang-orang non-tari ini tampil di atas panggung. Mereka bercerita mengenai pekerjaannya. Lebih jauh lagi, mereka berbicara tentang sistem yang menjadi tema Stationen.
Mengajak orang awam tampil di atas panggung adalah sebuah pengungkapan fisik atas ide perluasan definisi tari. Ide yang sesungguhnya sudah dirintis sejak abad ke-19 oleh para pelopor tari modern: Loïer Fuller, François Delsarte, Isadora Duncan (pencetus gaya barefoot, bertelanjang kaki), Ruth St. Denis, Ted Shawn, Martha Graham, Doris Humphrey, dan Charles Weidman (terkenal dengan gaya mimetiknya_sesuatu yang juga dilakukan Josef Nadj dalam festival ini).
Mereka aktif melibatkan dan mencampurkan berbagai unsur ke dalam tari. Dan tari tidak lagi semata-mata urusan gerakan tubuh yang indah, agung, dan artistik sekadar untuk memuat takjub penontonMartha Graham menyebut itu semua bersifat dekoratif. "Keagungan adalah hubungan kita dengan dunia, sikap kita terhadap manusia yang bersama dan menjadi tujuan kita menari, hubungan kita dengan panggung dan ruang di sekitar kitakeindahan yang terpancar dari kebebasan, disiplin, konsentrasi, dan kesadaran seluruh dalam diri kita," demikian Martha Graham dalam New School Series: Martha Graham.
Perkembangan tari kontemporer telah memasuki apa yang diungkapkan John Martin dalam bukunya, The Dance in Theory. Itulah upaya menampilkan pengalaman ke atas panggung. "Setiap gerakan, tak peduli apakah gerakan itu sudah melenceng jauh dari pengalaman normal keseharian, tetap menyampaikan sebuah impresi yang berhubungan dengan kehidupan normal."
Namun yang "normal" itu tak lagi berwujud gerakan. Sebagai ekspansi minimalisme, seni konseptual, yang mulai tergarap pada 1960-an dan 1970-an, menekankan pada ide/konsep ketimbang bentuk. Namun pengesampingan bentuk tentulah memiliki gradasi yang berbeda, karena yang digugat seni konseptual sebenarnya lebih pada ideologi dalam sejarah seni yang menyediakan ukuran tunggal dalam menentukan keindahan.
Masuknya unsur konseptual ini tak hanya ditampakkan tari dengan melakukan kolase antara penari dan orang awam di atas panggung. Tapi juga melakukan reproduksi sebagai tawaran diskusi atas masalah hak cipta, kepemilikan atas gerak, tubuh, dan koreografi. Apakah tari bisa diperlakukan seperti lukisan atau benda lainnya yang bisa diproduksi kembalimungkin secara massal? Isu ini juga muncul di festival ini ketika Julie Lockett dan Ella Clarke tampil solo secara bergantian memunculkan adaptasi atas karya Deborah Hay, seorang tokoh tari postmodern Amerika.
Dua koreografer Irlandia itu tampil atas izin Deborah Hay. Juga sama dengan yang dilakukan Jérôme Bel (koreografer asal Prancis). Pada 1998, ia menampilkan The Last Performance, sebuah karya yang sama persis dengan karya solo Susana Linke (dengan izin Linke tentunya). Pada akhir pertunjukan, ia berkata, "Saya Susana Linke." Hal sama yang dilakukan Martin Nachbar dalam Moving Thoughts Dance Conference, di Leipzig, pada 1-4 Desember 2000. Pada awal pertunjukan, Nachbar berkata, "Aku tidak akan menampilkan karya Dore Hoyer. Aku akan menjadi Dore Hoyer." Dan Nachbar menarikan karya Hoyer, yang sama sekali tak pernah dilihatnya secara langsungkecuali melalui film.
Tentu saja untuk memahami gerakan yang dilakukan para koreografer kontemporer seperti Lehmen, Burrows, Lockett, Bel, dan Nachbar, kita tak dapat melihatnya sebagai karya seni yang buruk, salah, atau menyimpang. Di Leipzig ketika itu, menurut Xavier Le Roy, yang memimpin panel diskusi, bahwa terdapat perubahan konstan secara biologis dalam tubuh, yang menunjukkan bahwa tidak ada gerakan yang sama untuk waktu sekarang dengan nanti, meski itu dilakukan oleh orang yang sama. Jadi, tiruan sesungguhnya tak mungkin dilakukan dalam tari.
Konsep-konsep akan selalu berbeda dalam perjalanan waktu. Pada masa awal sejarah tari modern, konsep yang diperjuangkan adalah perlawanan terhadap kekuasaan balet dalam definisi keindahan tari. Kini kolase, hak cipta, dan soal reproduksi menjadi perbincangan hangat di dunia tari kontemporer Barat yang tengah mengikuti gerakan seni konseptual. Indonesia mungkin akan menyusulnya. Entah kapan.
F. Dewi Ria Utari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo