Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERANG saudara itu meng-guncang Kerajaan Majapahit. Ronggolawe memberontak pe--ngua-sa kerajaan, Prabu Kar-ta-rajasa. Adipati Tuban itu kecewa atas pengangkatan Nambi se--bagai patih kerajaan. Dia ingin Prabu Kar-ta-rajasa mengangkat pamannya, Lembu Sora. Namun sang paman marah dan me---minta Ronggolawe pulang ke Tuban me--nemui ayahnya untuk merenungkan ke--inginannya.
Adegan perang saudara dan perseteruan kalangan elite kerajaan itu merupakan bagian dari pentas teater bertajuk Rong-golawe Makar: Mantra Penabur Cinta di Ta--man Budaya Yogyakarta, Sabtu, 18 Mei lalu. Pertunjukan malam itu sekaligus menandai rangkaian perayaan 60 tahun Sanggar Bam-bu. Komunitas seni yang didirikan Soenarto Pr., Kirdjomulyo, dan Heru Suto-po pada 1 April 1959 itu ikut mewarnai sejarah perkembangan seni di Indonesia. Sanggar sebagai wadah para seniman berkiprah tersebut punya peran dalam dunia seni rupa, teater, musik, dan sastra.
Pentas teater selama dua jam lebih itu melibatkan lima sutradara. Beberapa di antaranya seniman pegiat Sanggar Bam-bu. Mereka adalah Fajar Suharno, Jujuk Prabowo, Untung Basuki, Luwi Darto, dan Lita Pauh. Jujuk Prabowo, yang per-nah menjadi sutradara Teater Gandrik, ber-peran meramu dan menjahit semua ide -su-tradara. Jujuk menerangkan, ia berusaha keras meramu pertunjukan agar luwes. “Kerendahan hati kami masing-masing yang membuat teater berjalan luwes,” katanya.
Pertunjukan yang mengadaptasi cerita dalam novel Ronggolawe Makar karya Joko Santosa itu mengajak kita kembali ke masa sekitar tahun 1200. Mereka memberi judul Ronggolawe Makar karena menganggapnya relevan dengan situasi politik saat ini, terutama setelah pemilihan umum. “Ini sebagai peringatan kepada kita semua bahwa hal itu pernah terjadi di tahun sekian,” ujar Jujuk.
Joko Santosa menyatakan Majapahit terpecah-belah karena adu domba para punggawa. “Soal perseteruan yang tidak lekas putus, hoaks atau informasi palsu bertebaran, dan fitnah yang tak kunjung reda,” tuturnya. Pertunjukan Ronggolawe dalam bentuk teater dengan melibatkan sekitar 30 pemain baru kali ini dipentas-kan. Sebelumnya, cerita Ronggolawe kerap dipentaskan dalam bentuk ketoprak dan tari.
Pentas teater ini memadukan tari, mu-sik kontemporer, serta permainan musik tra-disional dan nyanyian gan-drung Ba-nyu-wangi, Jawa Timur. Para peng-ra-wit mengiringi langsung sepanjang pertun-jukan. Kostum yang mereka kenakan pun ala Kerajaan Majapahit atau Jawa Timuran.
Adegan tari terutama mengeksplorasi kisah cinta Ronggolawe dengan para selir-nya, juga Prabu Kartarajasa dengan selir-selirnya. Dalam adegan itu juga muncul gambaran perselingkuhan istri Prabu Kartarajasa, yang diperankan Tisa, penari Jawa.
Pentas teater itu dimulai dengan adegan anak-anak muda berpakaian ala punk sedang berkumpul. Mereka duduk melingkar membahas rencana pentas teater Ronggolawe. Dan pentas teater malam itu diakhiri dengan kemunculan anak-anak muda tersebut. Dalam dialog, salah satu anak muda kecewa karena Ronggolawe dalam pentas itu menjadi tokoh yang kalah.
Adegan anak-anak muda tersebut meru-pakan ide dari sutradara muda Luwi Darto, anak pegiat Sanggar Bambu, Bam-bang Darto. Luwi menjelaskan, perbincangan anak muda seputar people power merupakan cermin dari hiruk-pikuk politik hari-hari ini. “Adegan itu seperti lorong waktu, menghubungkan zaman Ronggolawe dengan zaman sekarang,” kata Luwi. Sayangnya, dalam pentas Ronggolawe malam itu, semua sutradara terasa ingin mencampurkan segala hal. Walhasil, pertunjukan terkesan tidak terfokus.
SHINTA MAHARANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo