TRUK-TRUK berhenti di depan Gedung Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, September 2001 lalu. Kendaraan itu mengangkut pasir berwarna putih sekitar sepuluh kubik dari Bangka.Tentu saja, orang-orang mengira itu untuk pembangunan gedung kesenian baru yang tak kunjung selesai. Tapi kemudian terjadi pemandangan aneh. Pasir kemudian diangkut ke panggung Graha Bakti Budaya, menutupi lantai panggung. Itulah ulah Boi G. Sakti dalam Art Summit setahun silam.
Itu adalah sebuah karya mendadak. Se-mula, ia merencanakan karya lain. Tapi tiba-tiba melintas gagasan segar. Panitia kalang kabut karena Boi hanya menginginkan pasir dari Bangka. ”Saya tak bisa menahan imajinasi saya,” kata Boi waktu itu. Di markasnya—sebuah padepokan tari yang luas, sejuk, rimbun, penuh kicau burung, di Desa Sukmajaya bilangan Depok—Gumarang Sakti Dance Company pimpinan ibunda Boi, (alm.Gusmiati Suid) itu, Boi melatih para penarinya selama sebulan. Di minggu-minggu pertama, para penarinya sampai harus mengenakan kacamata untuk membiasakan diri dengan pasir.
Hasilnya: karya berjudul Di Jalan Tua itu termasuk karya yang paling menonjol dan mendapat sambutan hangat penonton di Art Summit. Pasir-pasir juga mengucur dari atas. Ditingkap cahaya lampu, kucuran itu memberikan efek visual yang cantik. Dengan karya ini, Boi makin mengokohkan dirinya sebagai penata tari muda Indonesia terkemuka. Lahir di Batusangkar, Sumatra Barat, 4 Agustus 1966, dengan nama asli Yandi Yassin, sesungguhnya Boi cukup ”terlambat” belajar menari, yakni pada usia 17 tahun. Guru pertamanya, tentu saja sang Ibu Gusmiati Suid dan secara formal ia kemudian menempuh pendidikan tari di Institut Kesenian Jakarta yang diselesaikannya tahun 1992.
Sejak karya pertamanya—Abai-Abai Nan Sakti dan Dongeng Berlari— lelaki bertubuh tinggi, besar, dan gempal ini menampilkan gerak tradisi Minang yang digubah bebas, diberi otot dan dipercepat. Gerakannya dinamis, rancak, mengalir cepat, sahut-menyahut, seolah tak memberi peluang penonton menarik napas. Setiap penampilannya tidak melorot. Ia terlibat banyak festival internasional. Di antaranya 100 Jahre Moderner Tanz International di Jerman. Lalu ikut keliling Eropa-Asia bersama pertunjukan King Lear yang disajikan teater multikultur arahan Ong Keng Seng, sutradara Singapura. Kini ia juga menjadi koreografer tamu pada Ballet Philipine dan Singapore Dance Theater.
Suatu hari dua tahun silam, di markas Singapore Dance Theater, yang letaknya di bekas benteng tua peninggalan Raffles di taman berbukit yang indah Fort Canning Park, wartawan TEMPO berkesempatan melihat Boi menyiapkan penari-penari Singapore Dance Theater mementaskan koreografinya The Lost Space untuk acara Singapura Art Festival. Boi memuji kemampuan teknis para penari Singapura yang segera bisa menangkap apa yang diinginkannya. Tapi, menurut Boi, ”persoalan rasa—greget jiwa kurang.”
Selain Di Jalan Tua, tahun 2001 lalu, Boi mementaskan Ritus-Ritus Suci di Hotel Dharmawangsa. Melalui delapan penari perempuan, Boi menyampaikan daya juang perempuan yang tangguh. Namun, 2001 bagi Boi bukan hanya tahun prestasi. Gusmiati Suid, yang meniupkan roh pada Gumarang Sakti Dance Company meninggal dunia. Maka didampingi makam sang Ibu di halaman depan sanggar, kelompok Gumarang Sakti kini sepenuhnya berada di pundak Boi.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini