SIANG yang gerah itu, kompleks Taman Ismail Marzuki menampung sebuah "gerilya". Gerilya itu bernama film, dan salah satu pelakunya bernama Aria Kusumadewa. Sutradara itu dengan serius memeriksa buntelan di pojok warung makan dalam tas kresek kuning lusuh yang berisi spanduk film Beth. Itulah bagian dari "gerilya"-nya. "Ini spanduk buat dipasang di depan kampus," tutur Aria kepada TEMPO. Seorang anak buahnya akan mengambilnya sore itu untuk dibawa ke Semarang. Di sana, film Beth karya Aria, yang tak berhasil menembus jaringan bioskop komersial itu, tengah ditunggu mahasiswa Universitas Diponegoro.
Gerilya dari kampus ke kampus menjadi jurus jitu Aria mengembalikan modal produksi filmnya. Di zaman susah seperti ini, mendapatkan modal awal sekitar Rp 200 juta tentu tidak mudah. Modal awal didapat setelah jip CJ7 kesayangannya dilego dengan harga Rp 45 juta. Selebihnya, ia mendapatkan modal "bantingan" dari beberapa pemain film itu seperti Lola Amaria, Ine Febrianti, Nurul Arifin, dan Bucek Depp. Itu masih ditambah ngutang kanan-kiri—yang banyak digunakan untuk biaya alat. Untunglah, setelah filmnya kelar, karyanya digaet sebuah perusahaan rokok. "Lumayan sih, bisa menutup utang produksi dan honor pemain," tutur Aria dengan nada lega.
Gerilya memang sebuah pilihan untuk memotong birokrasi yang berliku-liku. Indra Yudhistira Ramadhan, sutradara film Jakarta Project, juga memulai filmnya dengan meraih dana secara gerilya. "Saya ngumpulin teman-teman. Saya tanya apakah mau ikutan mendanai film," katanya. Ternyata hanya lima temannya yang mau membantu dan menyumbang 50 persen ongkos produksi film. Selebihnya adalah modal Indra pribadi lewat perusahaan film miliknya, Rumah Ciniru. Tapi itu pun hanya Rp 43 juta. Belum bisa menutup biaya produksi, yang Rp 99 juta. Apalagi total ongkos Rp 300 juta. Mereka terpaksa memutar akal untuk menghemat. Di-pakailah pola kerja gratisan alias tanpa bayaran, kamera pribadi, juga barter dengan beberapa pihak, misalnya rumah makan, kampus, dan jaringan radio. Namun, Indra tak membiarkan filmnya dipengaruhi para pemberi sponsor. "Nama-nama mereka disebutkan dalam daftar ucapan terima kasih di belakang film," katanya.
Lalu, bagaimana trio Nia Di Nata, Afi Shamara, dan Otis Hahijary menggaruk dana untuk film Ca Bau Kan? Mereka menjebol saku dompet sendiri dalam jumlah gede untuk memulai produksi. Waktu itu neraca anggaran menunjuk angka Rp 7 miliar, tapi mereka nekat saja. "Tak tahulah, pokoknya dari saku masing-masing," kata Nia, tegas. Ini memang jumlah yang banyak untuk sebuah saku. Toh, anggaran bisa ditekan jadi Rp 5 miliar. Sejumlah Rp 3,5 miliar terpakai untuk biaya pascaproduksi dan promosi. Untungnya, biaya itu ditutup oleh Datuk Hakim Thanthawi, seorang investor yang datang tepat waktu. "Kas kita nol besar begitu selesai produksi," tutur Nia, yang mengaku terus-menerus sport jantung selama shooting Ca Bau Kan.
Shanty Harmayn, salah satu produser film Pasir Berbisik, memulai proyek filmnya dengan bermitra dengan Camilla Internusa Film, Christine Hakim Film Productions, dan televisi NHK Jepang. Bahkan biaya iklannya ditutup oleh Telkomsel, sebuah perusahaan telekomunikasi. Sementara itu, Garin Nugroho dengan SET Productions mengaku selalu mendapatkan dana dari yayasan, perusahaan, dan donatur lokal ataupun internasional untuk pembuatan filmnya. Karena Garin merasa tak perlu berpikir balik modal, "Film saya tidak komersial," ujar Garin.
Yang paling jago mencari dana tentu saja adalah Mira Lesmana dengan Miles Productions. Produser muda ini telah membuktikan sukses komersial film-filmnya. Produksi film secara gerilya atau kerap di-sebut sebagai guerrilla filmmaking, suatu cara mandiri menanggulangi kesulitan berproduksi, dilewatinya di film perdananya, Kuldesak. Dari situ mantan pegawai biro iklan ini belajar banyak, terutama soal memadukan seni dengan bisnis dalam film.
Modal awal pembuatan film Petualangan Sherina, yang disutradarai Riri Riza, adalah Rp 2 miliar, yang diperolehnya dari dua orang investor. Film itu berhasil menarik 1,5 juta penonton dengan pemasukan kotor Rp 10 miliar dalam waktu empat bulan. Setengah dari jumlah itu menjadi hak Mira Lesmana sebagai pemilik film. Karena keberhasilan yang sama, investor yang sama juga ikut berinvestasi dalam film Ada Apa dengan Cinta? karya Rudi Soedjarwo, sejumlah Rp 4 miliar. Pada minggu ketiga bulan Maret silam, modal sudah balik dengan penonton sebanyak 350 ribu. "Sekarang, pemasukan mungkin lebih dari Rp 10 miliar dan terus bertambah," kata Mira, yang mengaku pusing karena terlalu banyak menghitung uang.
Yang penting, meski produser men-dapatkan dana dari investor, tak berarti investor atau sponsor bebas mendikte. Seperti Mira, yang juga kesulitan dana ketika memulai filmnya, yang tak mau tunduk begitu saja. Ketika sebuah merek susu meminta agar Sherina menyanyikan jingle lagu iklan mereka sebagai syarat sponsorship, Mira menolak. "Adegan akan terlihat sangat dipaksakan dan sulit dipertanggungjawabkan secara estetis," katanya.
Menurut Mira, penonjolan produk sponsor dalam film tidak dilarang sepanjang pas dengan karakter dan cerita yang dibuat. Plester Hansaplast, misalnya, diterima menjadi sponsor Petualangan Sherina karena memahami perlunya cerita tampil wajar. Meski tokoh Sherina sendiri dikisahkan suka memakai plester, mereka tak menuntut promosi merek dijadikan bagian dari cerita. "Karena ada pengertian itu, saya mau terima," Mira mengaku.
Soal keterampilan para sineas muda mencari duit ini diakui sutradara senior Slamet Rahardjo. Pria yang baru merilis film Marsinah ini mengagumi kemampuan para sutradara muda membuat proposal film. "Mereka menjual film dengan cantik, lengkap dengan perhitungan bisnis," ujarnya. Ini kemajuan. Soalnya, sutradara seangkatannya dulu, meski idenya kadang bagus, tak pandai menjual ide sehingga sulit mendapat pemodal. Buntutnya, banyak sekali film mereka yang isinya disetir produser. Kini, yang penting, selain kepandaian menjaring uang dengan cara gerilya atau konvensional, mutu film tetap menjadi perhatian utama.
Arif A.K., Andari Karina Anom, Rian Suryalibrata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini