Purely Belter
Sutradara : Mark Herman
Skenario : Mark Herman
Pemain : Chris Beattie, Greg McLane
: Film Four, 2001
LAMBUNGAN bola di langit yang biru adalah oksigen yang memberikan napas bagi hidup. Sepak bola, bagi Gerry (Beattie) dan Sewell (McLane), bukan permainan belaka. Ia adalah oksigen dan darah yang mengalir sampai ke sumsum. Tanpa bola, dua remaja di kota pertambangan Newcastle di Inggris Utara ini tak bisa hidup. Dan di mana lagi kuil pemujaan mereka kalau bukan Stadion Saint James Park, kandang klub papan atas Newcastle United? Menonton langsung aksi bintang sepak bola Alan Shearer sepanjang musim kompetisi adalah mimpi terbesar. Sayang, satu tiket terusan berharga 500 poundsterling. Ini jelas duit gede bagi mereka, yang datang dari keluarga miskin. Tapi Gerry yang bossy dan Sewell si lembut hati tak mau menyerah. Mereka sudi melakukan apa saja demi mendapat duit: memulung, mengemis, jadi penjaga bayi, mengutil, sampai—ini yang paling gawat—merampok bank.
Film Purely Belter karya Mark Herman akan terlihat konyol bagi penonton yang tak keranjingan bola. Tapi, bagi yang gila permainan ini, petualangan dua pemuda tanggung yang diangkat dari novel The Season Tickets karya Jonathan Tulloch ini lekas menimbulkan simpati. Sutradara Herman menyajikan banyak adegan kocak, misalnya ketika Gerry dijanjikan oleh pekerja sosial akan mendapat tiket gratis bila mau masuk sekolah lagi. Ternyata tiket hadiah itu adalah untuk pertandingan klub Sunderland, seteru satu kota Newcastle. Mereka juga sempat bertemu langsung dengan Shearer, sang dewa. Bukannya minta tanda tangan sebagaimana lazimnya fans, mereka malah minta tiket terusan. Tentu saja tidak diberi. Gendheng-nya, dua orang ini malah iseng melarikan mobil mewah mantan kapten tim nasional Inggris ini. Dan betapa kecewanya mereka ketika melihat koleksi CD di mobil sang Jagoan: Gabrielle, Natalie Imbruglia, dan Celine "freaking" Dion.
Seperti halnya karya Herman se-belumnya, Brassed Off (dengan pemain Ewan McGregor), Purely adalah potret getir kehidupan kaum pekerja. Akting dua pemain utama dalam film debut mereka ini cukup meyakinkan. Sayang, dialog dalam beberapa bagian terasa dangkal. Dialog yang kebak dengan slang Inggris Utara itu awalnya memang agak menyulitkan penonton, tapi lama-lama bunyi yang keluar terdengar sedap juga. Selain itu, jangan harap ada tamasya visual di sini, karena Herman memang tak dikenal cakap dalam urusan ini. Namun, pendekatan kamera yang bersahaja cocok dengan tema film yang dipilihnya.
Sekalipun labelnya adalah film komedi, Purely punya sentuhan dramatik yang kuat. Adegan Gerry bercerita alasan kegilaannya pada sepak bola sangat menyentuh. Ia menyebut, pada usia enam tahun ia diajak ayahnya menonton satu pertandingan. Angin bertiup keras, tapi ia merasa hangat karena ayahnya menyelimuti Gerry dengan jaketnya. Setelah itu, mereka minum teh panas yang begitu nikmat. Bagian ini jadi lebih menohok karena sebenarnya Gerry berbohong. Sang ayah adalah pemabuk dan gemar menganiaya ibunya.
Akhir cerita memang mengharuskan dua remaja ini menjalani hukuman kerja sosial melayani para lanjut usia. Namun, justru karena ini, semua pertandingan Newcastle secara langsung bisa mereka tonton. Apa lagi yang lebih membuat hati meledak selain ini?
Yusi A. Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini