Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THE PROMISE
(The Master of the Crimson Armor) Sutradara: Chen Kaige Skenario: Chen Kaige dan Zhang Tan Pemain: Jangdon Gun, Cecilia Chang, Nicholas Tse
Nun di bukit mayat itu, seorang anak perempuan manis berlari mengejar sisa-sisa napas kehidupan. Ribuan mayat tentara yang kalah bergeletakan, bergelantungan, dan sang gadis mengais-ngais sisa makanan yang masih tersisa. Saat dia akan melahap sepotong roti, tap! Sebuah tangan lain dengan sigap menyambar roti itu. Sang perempuan kecil tiba-tiba saja sudah tergelantung tergelayut di pohon dengan posisi terbalik. ”Aku bersedia mengerjakan apa saja, asal aku dilepas dan kau kembalikan rotiku,” kata sang perempuan kecil memelas. Anak lelaki bandel yang mengenakan baju tentara baja itu segera menjawab, ”Aku akan melepasmu dan mengembalikan rotimu kalau kau bersedia menjadi budakku.” Si perempuan kecil setuju. Namun, begitu dia lepas dan roti sudah di tangan, sang perempuan kecil menyerang anak lelaki itu dengan topi helmet dan pergi berlari meninggalkannya. ”Saya tak akan melupakan kamu, yang mengingkari janji.”
Film terbaru sutradara terkemuka Chen Kaige ini—di dunia internasional dikenal dengan film yang menggegerkan, Farewell to My Concubine—harus ditonton dengan sikap baru: ini bukan film kolosal dengan latar belakang politik, ideologi, dan identitas gender seperti halnya karya Kaige sebelumnya. Ketika kita melihat seorang ”dewi” yang datang melayang-layang di atas laut dengan rambut panjang yang melambai-lambai, dan meluncurkan butiran ramalan yang merupakan ”nasib” yang sudah ditakdirkan dewata bagi si gadis kecil (”kau tak akan pernah bisa mendapatkan cinta, kecuali jika kamu mampu membalikkan perjalanan waktu”), kita harus segera sadar bahwa film ini adalah sebuah dongeng. Katakanlah sebuah film dongeng untuk orang dewasa yang dipersembahkan sineas Cina dengan casting serba regional (Korea, Jepang, dan Cina).
Jika mentalitas kita bisa diformat agar lebih santai, dan jangan lupa menontonnya sembari mengunyah hot-dog atau berondong jagung (bahkan ke toilet sesekali juga tak apa, karena film ini panjang banget), maka ditanggung halal Anda akan menikmati film ini sebagai film hiburan, separuh martial arts, separuh thriller.
Si gadis kecil 20 tahun kemudian menjadi Putri Qingsheng, permaisuri Raja. Si lelaki kemudian menjadi Wuhuan, pemberontak yang sangat sakti, bersenjata puluhan kipas yang menuntut Raja menyerahkan sang permaisuri untuk dia. Sementara itu, penonton sejak awal diperkenalkan dengan sepasang sosok baru bernama Kunlun, sang budak yang berlari melesat bak angin menderu, dan Jenderal Quangjing, yang dikenal tak pernah kalah dalam perang. Saat sang Jenderal dan budak Kunlun tengah mencari jalan di tengah hutan untuk menyelamatkan sang Raja, datanglah sang dewi peramal yang segera ”menggariskan nasib” sang Jenderal. Merasa pernah kenal dengan adegan ini? Tentu saja. Macbeth karya Roman Polanski yang diangkat dari drama Shakespeare, dan Throne of Blood karya Akira Kurosawa yang juga diangkat dari drama Macbeth karya Shakespeare.
Bedanya, ramalan dewi ini tidak setragis ramalan penyihir versi Macbeth. Sang dewi hanya memberikan pilihan-pilihan yang sama-sama tidak enak. Sang Jenderal terluka. Dia memerintahkan Kunlun sang budak untuk mengenakan baju besinya, lambang kekuatan dan kekuasaan sang Jenderal dan topengnya. Berkuda menuju kerajaan untuk menyelamatkan Raja. ”Bagaimana saya bisa mengenali sang Raja, Tuan?” tanya Kunlun. ”Dia satu-satunya yang tak bersenjata,” kata sang Jenderal dengan darah mengucur dari dada. Tiba di kawasan kerajaan, ketika para tentara di bawah pimpinan Wuhuan sudah merubung sang Raja, Kunlun malah melihat sang Raja dengan pedang di tangan tengah mengejar-ngejar sang permaisuri yang mengkhianatinya. Kunlun menghajar sang Raja dan membawa lari sang permaisuri. Dan sejak itu—karena Kunlun mengenakan baju tameng sang Jenderal—sang Jenderal yang dituduh telah membunuh Raja. Dan celakanya, sang permaisuri pun jatuh cinta pada sang Jenderal—yang dikiranya telah membebaskan dari cengkeraman sang Raja.
Setelah Crouching Tiger, Hidden Dragon karya Ang Lee, tempat martial arts dimanfaatkan sebagai seni rupa di atas layar, tak mengherankan jika Zhang Yimou melalui Hero dan The House of Flying Daggers dan kini Chen Kaige tampaknya mencoba menggunakan layarnya sebagai kanvas seni bela diri. Bedanya, sementara Zhang Yimou dan Ang Lee, meski menggunakan kisah fiktif, sama-sama meminjam sedikit latar belakang sejarah berabad-abad silam di Cina, Chen Kaige memilih dunia fantasi yang lengkap dengan raja, pangeran, permaisuri, budak, dan kekuasaan dewa dan dewi. Penggarapan dongeng lengkap dengan para dewa-dewi yang tampaknya sibuk mengguratkan nasib para manusia biasa itu masih bisa ditoleransi. Yang bikin celaka adalah penggunaan komputer digital yang masih sangat kasar untuk adegan para kesatria yang terbang melayang, atau dewi yang melayang di atas laut, atau puluhan ribu banteng yang menghajar ribuan tentara. Itulah sebabnya, dengan segala keinginan ”melukis di atas kanvas layar lebar” itu, sebaiknya film ini lebih dinikmati sebagai hiburan, karena sesungguhnya yang menarik (dan kekuatan) dari film ini adalah jalan ceritanya.
Film ini menekankan tentang cinta, pengkhianatan, dan pengabdian sejati. Seperti film Hero karya Zhang Yimou, film ini menunjukkan pengkhianatan antarkawan dan lawan sudah tak jelas batasnya. Kita terus-menerus disuguhi berbagai kejutan yang dijalin rapi sejak awal. Skenario film ini adalah sebuah skenario yang menggunakan perhitungan yang teliti dan memperlihatkan perencanaan yang matang dalam setiap adegan maupun dialog. Adegan pengadilan sang Jenderal yang akhirnya membuka ”kedok” bahwa sebetulnya Kunlun pembunuh sang Raja (dan artinya: sang permaisuri jatuh cinta pada ”pahlawan” yang salah) merupakan klimaks yang tepat.
Akhir film ini, sebagaimana dongeng dari belahan bumi mana pun, memberikan harapan, meski harapan itu artinya harus menggambarkan sepasang protagonis film ini melayang-layang di udara bak Superman dan Lois Lane versi Cina.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo