Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di lantai dua Gedung Arsip Jakarta, empat puluh adibusana berjajar di atas manekin kawat hitam. Setiap helai menyimpan ceritera, dipertautkan oleh benang merah yang sama: cita rasa klasik, hangat, serta elegansi yang tak redup oleh waktu. ”La moda italiana”—satu kiblat utama mode dunia—mewarnai pergerakan fashion di atas jagat selama 50 tahun terakhir, dan diperingati di berbagai belahan dunia. Di Jakarta, sebuah pergelaran busana dilangsungkan pada pertengahan Desember lalu. Setelah itu, karya-karya adibusana sejumlah perancang paling sohor dipamerkan selama hampir empat pekan—ditutup 11 Januari.
Keistimewaan gaun-gaun kelas tinggi itu mungkin tak bisa disesap oleh semua mata awam: tanpa karpet merah, tanpa gala dinner, tanpa lampu pesta yang berpendar-pendar—busana-busana itu seperti dilepaskan dari ”kelengkapannya”. Toh jejak di setiap helai gaun merupakan nilai tambah yang bakal mengajuk hati setiap kolektor. Ada gaun ”Cassock” hitam karya Fontana bersaudara. Mulanya dirancang untuk Ava Gardner pada 1956, aktris Anita Ekberg mengenakannya kembali dalam film La Dolce Vita karya sutradara Fellini. Gaun ini sekaligus menjadi simbol perkawinan mode dan film di masa itu.
Pengunjung Gedung Arsip juga bisa menyaksikan piyama Palazzo karya Putri Irine Galitzine. Baju itu dipakai Claudia Cardinale dalam film The Pink Panther pada 1963. Era tahun 1990-an diwakili gaun ”Carmen”, dari bahan beludru hitam yang diberi aksen merah menyala, dirancang khusus oleh Renato Balestra untuk diva opera legendaris, Maria Callas. Silakan menelisik baju sutra model cardigan dari Gianfranco Ferre—keluaran 1997—yang bertabur berlian dari pundak sampai ke mata kaki. Rumah mode Prada diwakili selembar baju sifon bordir berwarna nila pucat yang menyatu di tubuh aktris Prancis Mila Jovovich dalam pemutaran perdana film Joan of Arc di Los Angeles pada 1999.
Semuanya punya sejarah. Semuanya berceritera. Apa yang membuat adibusana dari Italia ini tetap menemukan ruang dan pemujanya bahkan setelah lewat setengah abad? Perancang Indonesia Chossy Latu menjelaskan, busana Italia memiliki keindahan yang khas. Potongannya tegas dan rapi. Kualitas kain, terutama kain wool dan sutra cetak, sulit ditandingi di mana pun. Salah satu pilar kekuatan busana Italia adalah warna.
Elemen warna membuat karya para perancang Italia tak mudah dilibas oleh baju-baju dengan desain Amerika yang simpel dan sportif, atau gaya Prancis yang mengutamakan tampilan elegan. Haute couture (adibusana) atau pret-a-porter (pakaian jadi) dari Italia senantiasa berani menghadirkan warna-warna berani, cerah, bahkan seronok. ”Sehingga bisa dipakai orang kulit putih maupun kulit Asia seperti kita,” kata Chossy kepada Tempo.
Atase Kebudayaan Italia Ostelio Remi mengatakan, untuk Jakarta, dia sengaja memilih bentuk pameran, bukan peragaan busana. Selain karena bujet yang terbatas, Direktur Pusat Kebudayaan Italia ini ingin agar pameran tak hanya dinikmati kaum fashionista—pencinta mode. ”Saya senang sekali bisa memperkenalkan mode Italia ke khalayak Indonesia dalam semangat edukasi,” kata Ostelio. Nah, 40 gaun yang dipertontonkan di Gedung Arsip itu telah jauh perjalanannya. Gaun-gaun ini—berikut aksesorinya—diparadekan sejak 1998 di lebih dari 20 negara di Amerika Latin, Asia Timur, dan Asia Tengah.
Pada masa-masa awal kebangkitannya—pasca-Perang Dunia II—mode Italia tersengal-sengal. Ekspor andalannya semata-mata produk kulit semacam tas dan dompet. ”Saat itu label made in Italy masih identik sebagai produk murah, ketinggalan zaman, dan berkualitas rendah,” kata Fiorella Galgano, jurnalis dan pakar sejarah mode. Perlahan, para perancang negeri itu menggeliat dan membangun imperium fashion.
Peristiwa di Vila Torrigiani, Florence, mencatatkan babak penting dari go international-nya busana Italia. Senja hari, 12 Februari 1951. Di ruang duduk vila milik Giovan Battista Giorgini belasan wanita muda melenggak-lenggok. Tubuh mereka berpalut busana karya sejumlah desainer kenamaan Florence. Antara lain, Putri Giovanna Caracciolo.
Pada masa itu belum ada catwalk. Belum ada lampu sorot. Tapi delapan pembeli dari toko pengecer ternama Amerika, seperti Altman & Co di New York, Bergdorf Goodman dan I. Magnin di California, dibuat ternganga oleh eloknya desain sang Putri.
Hanya dalam hitungan bulan, pasar Amerika dibetot oleh baju-baju dari Florence. Battista Giorgini—dia bangsawan Florence sekaligus seorang pengusaha—menghantarkan mode Italia ke pasar dunia. Selebihnya adalah sejarah. Ada pasang naik dan turun. Tapi kurun 50 tahun mencatat dengan jelas satu hal: Italia telah menjadi kiblat utama fashion dunia.
Kurie Suditomo & HYK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo