Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tirai merah yang menutupi panggung Sands Theater perlahan-lahan tergulung ke atas. Tampak sepasang penari berdansa dengan tubuh bertautan. Tiba-tiba, dari arah belakang kursi penonton, segerombolan perempuan dan laki-laki berlarian sambil berteriak-teriak menuju tengah panggung.
Mereka langsung menggebrak panggung dengan tarian cha-cha, yang populer pada 1940-an. Kehangatan segera menjalar. Seperti judulnya, Burn the Floor. Ballroom. Reinvented., pertunjukan tari yang digelar di Marina Bay Sands, Singapura, 9-14 Oktober 2012, ini berusaha memaknai lagi apa itu dansa ballroom. Mereka ingin membuat dansa yang lebih panas. Lebih energetik.
Selama dua jam penuh—dengan jeda 15 menit di antaranya—mereka terus-menerus mengajak penonton menjelajahi beragam spektrum tarian yang biasa mewarnai lantai dansa. Keanggunan dansa ballroom klasik semacam waltz yang bertempo lambat, foxtrot, Viennese waltz, dan tango dioplos dengan panasnya tarian Latin, seperti cha-cha, samba, rumba, tari Spanyol Paso Dablo, dan jive yang jazzy.
Gerakan penari—entah berupa putaran layaknya gasing, tendangan lurus ke atas, entah lompatan—dibawakan nyaris tanpa cacat di bawah gemerlap lampu disko dan tata cahaya penuh warna. "Pertunjukan ini memang benar-benar menguras energi, semua mengalir serba cepat, tapi justru itulah yang membedakannya dengan pertunjukan lain," kata Trent Whiddon, penari yang terlibat dalam pertunjukan itu sejak 2002.
Jason Gilkison, koreografer sekaligus sutradara Burn the Floor, mengatakan karyanya ini pertama kali dipentaskan pada 1999 di Bournemouth, Inggris. "Awalnya saya mengira proyek ini hanya sesaat, paling lama enam bulan saja. Ternyata sambutan penonton amat bagus," kata Gilkison. Lelaki asal Perth, Australia, ini menyebut karyanya sebagai new Broadway. Dia sebelumnya kerap menjadi juara lomba dansa ballroom dan Latin di Australia sepanjang 1981-1997.
Tak kurang dari 22 penari dilibatkan dalam pertunjukan ini. Mereka penari profesional dari berbagai negara yang telah mendapat lebih dari seratus penghargaan dari kepiawaian menari. Sebagian adalah pemenang sebuah reality show kompetisi tari di televisi Australia dan Amerika Serikat, So You Think You Can Dance dan Dancing with the Stars. Dalam acara tersebut, Gilkison sering menjadi salah satu juri tamu.
Lihatlah betapa molek dan energetiknya mereka. Perut rata, pinggul berlekuk, dan otot yang kencang. Para penari pun tampaknya tak kesulitan meskipun harus berganti kostum belasan kali dalam waktu singkat. Burn the Floor mengalir tanpa satu jalinan cerita yang utuh. Hanya berupa fragmen-fragmen yang diiringi 20 lagu, termasuk History Repeating, Sway, I Just Wanna Make Love to You, dan Dirty Boogie. Tiap segmen menggulirkan cerita tersendiri, seperti romantisme pasangan yang tengah mabuk kepayang, perselingkuhan, dan pengkhianatan.
Perpindahan satu bagian ke bagian lain mengalir tanpa putus. Kombinasi dansa cha-cha dan jive yang dibawakan para penari dalam lagu Fishies, misalnya, dengan mulus berganti tarian jenis Viennese waltz yang sensual seiring dengan kemunculan seorang penyanyi di atas panggung membawakan lagu Everybody Hurts.
Gilkison tak membiarkan penonton menatap panggung kosong. Ia bahkan tak memberi jeda kepada penonton untuk berhenti terpesona. Burn the Floor benar-benar membakar.
Nunuy Nurhayati (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo