Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Klimaks yang tak Direncanakan

Sebuah film dokumenter yang menegangkan. Bercerita tentang keseharian anak-anak Palestina. James Miller, sutradara, menjadi korban.

11 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ke mana kita akan pergi setelah tapal batas ini? Ke mana burung terbang setelah langit terakhir?

Ia sungguh berumah di dalam perjalanan. Hidup­ eksil dari Moskow, Kairo, Beirut, Paris dan kemudian menetap di Ramallah, puisi-puisi Mahmud Darwis, penyair dan bekas anggota Organisasi Pembebasan Palestina itu begitu populer di Pa­lestina. Ia menyuarakan keperihan tanah Palestina. Ia mengumandangkan identitas Palestina yang koyak.

Kamera menyorot sebuah ruang kelas. Seorang guru, di Kota Rafah, memerintahkan murid-muridnya membacakan sajak. Dan anak-anak kecil sekolah dasar tersebut dengan heroik berebutan maju berkobar-kobar membacakan syair tentang martir, tentang syuhada. Inilah syair Mahmud Darwis:

Enyahlah dari negeri kami Pantai kami, laut kami Gandum kami, garam kami, luka kami

Itulah bagian dari film Death in Gaza yang menggambarkan betapa keberanian di Palestina disuntikkan semenjak dini. Pada 2003 pembuat film James Miller dan reporter Shaira Shat datang ke Nafas. Keduanya baru sukses membuat film dokumenter tentang Afganistan: Beneath the Veil dan Unholy War. Dua film yang diproduksi Channel Four itu membuat Shaira Shat di Inggris dinobatkan sebagai Television Reporter of the Year 2002.

Shaira memang sineas film dokumenter spesialis daerah konflik. Ia pernah bertugas di Kosovo, Aljazair, Zaire, Irlandia Utara. Tahun 2003 itu bersama James Miller ia mendapat proyek dari HBO untuk melakukan liputan ke Palestina. Fokusnya adalah komunitas anak-anak yang tumbuh dalam medan perang. James sendiri yang memegang kamera.

Mereka ingin menyaksikan anak-anak belasan tahun di Palestina hanya berbekal katapel batu berani menyerang tank Israel. Mereka ingin mengetahui bagaimana kultur kebencian terhadap Israel muncul di Palestina sedari bocah hingga bersedia menjadi pelaku bom bunuh diri ketika remaja.

Dari Nafas mereka menuju Rafah, yang berbatasan dengan Gaza. Berada di Rafah, mereka segera sadar bahwa kota ini dikepung penembak-penembak jitu Israel. Mereka memilih satu komunitas anak-anak di kamp pengungsian. Sehari-hari anak-anak ini di jalanan Rafah berlatih perang-perangan. Mengendap-endap di sudut kota, membawa senjata kayu, membayangkan bisa membunuh tentara Israel.

James dan Shaira kemudian mendapati anak-anak ini betul-betul melaksanakan permainannya. James dan Shaira mendapat gambar-gambar menegangkan bagaimana dari jarak dekat mereka melempar batu ke buldoser-buldoser. Sering kita lihat kamera kemudian terguncang-guncang, dan terdengar suara James dan Shaira yang menandakan mereka tunggang-langgang menyelamatkan diri.

Ahmed, 12 tahun…

James dan Shaira mengikuti anak ini suatu hari menaburkan bunga di kuburan temannya. Tampangnya sedih. Teman bermainnya tewas, dan ia bersumpah masuk ke paramiliter Palestina. Lalu, James mendapat liputan eksklusif. Mereka dapat masuk ke divisi perlawanan bawah tanah Palestina yang merekrut anak-anak untuk dilatih sebagai martir. Wajah mereka tertutup. James dan Shaira menyaksikan bagaimana Ahmed dibaiat. Kepada mereka, Shaira bertanya apakah secara moral mereka tak merasa bersalah, melibatkan anak-anak kecil ke medan perang. Seorang laki-laki menjawab, sembari menggerakkan bahunya. ”Syuhada bukan sesuatu yang aneh di sini. Ribuan anak lainnya siap jadi martir…”

Mohammad, 12 tahun…

Ia teman Ahmed. Seperti Ahmed, ia suka dolanan game dan membayangkan yang ditembaknya adalah serdadu Israel. Ia berani menuliskan grafiti di tembok-tembok: Israel adalah babi. Shaira dan James menyaksikan bagaimana Mohammad telah bisa membuat bom kecil buatan tangan—berdaya ledak rendah yang disebut ”quwas”. Mereka juga berhasil mewawancarai sang ibu Mohammad yang ternyata berat hati menyaksikan anaknya siap menjadi pelaku bom bunuh diri.

Najla 16 tahun…

Ia hidup di daerah paling berbahaya. Delapan anggota keluarganya tewas. Sepupu kecilnya, Salem, suatu hari ditembak dan tewas. Upacara penguburannya mengundang reaksi histeris warga. Kamera Shaira dan James berhasil merekam prosesi itu, tapi oleh para pejuang intifadah dibuat sebuah momen untuk merekrut lagi anak-anak.

Dari wawancara-wawancaranya, Shaira dan James seolah ingin memperlihatkan bagaimana anak-anak yang sebetulnya polos itu oleh orang dewasa dicuci otaknya. Bagaimana kebencian mereka dibentuk. Bagaimana pada alam pikiran mereka ditanamkan bahwa Yahudi dan Arab adalah musuh abadi yang tak pernah bisa berdamai lagi sampai kiamat pun.

Dan peristiwa tragis itu berlangsung pada 2 Mei 2003. Pukul 5 sore. Di dekat rumah Najla. Shaira dan James melihat anak-anak kecil melempari tank Israel. Anak-anak itu begitu dekat merangsek ke tank. Tank bukan lawan mereka. Rodanya hampir melindas anak-anak itu. Moncong tank diarahkan kepada mereka. Tapi mereka tak gentar. James merekam adegan itu. Tapi itu membuat mereka bertahan di salah satu rumah seorang pengungsi.

Ketika malam, mereka bermaksud pulang. Mereka berjalan 20 meter dari serambi rumah penduduk itu. Tiba-tiba terdengar tembakan. James mengibarkan bendera putih. James berasumsi bahwa tentara Israel membawa senjata yang dilengkapi penglihatan malam, sehingga mereka tahu rombongan yang bakal melintas adalah jurnalis. Saat itu ia mengenakan helm bertuliskan press dan jaket jurnalis.

Tiga belas menit kemudian suasana sunyi mencekam. Keheningan itu dipecahkan oleh teriakan Shaira: ”Kami wartawan dari Inggris.” Tapi justru pemberitahuan Shaira itu disambut sebuah tembakan. Sebuah tembakan yang pelurunya menembus leher James. Israeli Defence Force mengatakan bahwa Miller tertembak dalam kontak senjata antara gerilyawan dan pasukan Israel. Para saksi mata membantah. Pemeriksaan forensik kemudian menyatakan peluru itu ditembakkan dari jarak dekat, yaitu hanya 200 meter.

Dalam film terlihat bendera putih yang dibawa James itu. Selanjutnya film gelap. Lalu film tampak goyang-goyang. Menurut Shaira dalam sebuah wawancaranya, editing untuk film ini sangat sulit. Shai-ra sempat mendapat rekaman betapa paniknya keluarga tempat mereka sebelumnya singgah saat kejadian berlangsung. Dan itu dimasukkan dalam film. ”Mereka menembak wartawan, mereka menembak wartawan….”

Kematian Miller menjadi klimaks dari film yang dibuatnya sendiri. Di akhir film diperlihatkan sebuah pawai akbar. Poster bergambar wajah Miller (dengan ejaan yang salah, Jeams Melar) diusung oleh anak-anak. Mereka berteriak ”Allahu Akbar”, mengepalkan tangan. ”Kami sebetulnya meminta agar mereka tidak membuat poster James. Kami takut itu digunakan untuk mencari martir lagi,” kata Shaira. Tapi permintaan itu ditolak.

Sebetulnya James juga ingin mendokumentasikan anak-anak Israel. Ia ingin mengetahui bagaimana persepsi anak-anak Israel memandang pejuang Palestina. Tapi itu tak terjadi. James sendiri bukan korban satu-satunya di Rafah. Film lain berjudul Rachel: An American Conscience (yang tidak ditayangkan di festival ini), yang dibuat sutradara Palestina Yahia Barakat, mendokumentasikan bagaimana aktivis perdamaian AS Rachel Corey mati terbunuh dilindas buldozer Israel di Rafah saat ia mencoba menghentikan bulldozer yang menghancurkan rumah-rumah. Festival ini sekali waktu bisa secara tematik menampilkan film-film dokumenter yang khusus bertema korban di daerah konflik seperti ini. Sebab, film seperti inilah yang mengetuk hati.

Enam bulan setelah penembakan. Shaira menerima video dari Ahmed. ”Setelah James mati, saya tak mau ikut paramiliter lagi,” kata Ahmed. Ia ingin menjadi kamerawan seperti Miller.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus