Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
When two elephants are fighting The grass will suffer Which is the position of civilian? ...
Dari sebuah kamp pengungsi Sembakounya yang dekil, Reuben Koroma, Grace Ampo-mah, Abdul Rahim, dan Franco Nero menyanyikan sebuah lagu reggae. Ini lagu ciptaan mereka sendiri. Isinya tentang nasib tragis yang menimpa mereka.
Reuben dan Grace kehilangan orang tua dan saudara-saudara mereka dalam perang saudara yang brutal di Sierra Leone, sebuah negara di Afrika Barat. Franco Nero kehilangan mata pencaharian. Abdul Rahim bertangan buntung. ”Tanganku membusuk setelah ditembak pemberontak. Aku memotongnya,” ucapnya.
Mata Rahim menerawang ke masa yang jauh. Pada 1991 itu, ”dua gajah”—begitu para pengungsi itu menyebut tentara pemerintah Sierra Leone dan kelompok pemberontak revolusioner terlibat dalam perang tak berkesudahan. Para pemberontak menambang intan mentah di Sierra Leone untuk membiayai perlawanan mereka. Yang terjadi adalah perang membabi buta. Pemberontak, pasukan pemerintah, dan warga sipil tak lagi bisa dibedakan. Lebih dari 400 ribu orang tewas dalam konflik dari 1991 hingga 2002 itu.
Lewat penuturan Rahim, Reuben, dan kawan-kawan itu, sutradara Zach Niles dan Banker White menghamparkan kekejian sebuah perang saudara dalam film The Refugee All Stars (2005). Dia melakukannya bukan melalui gambar yang seram, juga keganasan yang lazim dalam pertempuran, tapi melalui kisah manusia yang terempas di kantong-kantong pengungsian.
Reuben dan ribuan orang terdampar di kamp Sembakounya di wilayah perbatasan Sierra Leone dan Guyana pada 1997. Hampir setahun mereka cuma duduk menunggu dengan mulut menganga menanti datangnya bantuan. Mereka baru menemukan jalan keluar lewat sepotong gitar. Reuben, yang mendapatkan alat musik itu dari seseorang, lalu mengajak kawan-kawannya menyanyi.
Mula-mula hanya Francis John Langba yang bergabung. Reuben dan John menyanyikan apa saja yang bisa membuat orang-orang tertawa. Rahim, Franco, dan Grace menyusul kemudian. Dari bahan-bahan seadanya, mereka pun membuat alat musik. Jadilah sebuah kelompok musik reggae The Refugee All Stars, yang tak dinyana cepat populer di kalangan pengungsi, juga akhirnya di Freetown, ibu kota Sierra Leone. Kelompok inilah yang kelak nyaring menyuarakan pesan perdamaian di Sierra Leone.
Cerita haru para penyanyi amatir itu disuguhkan dengan gaya dokumenter. Inilah salah satu film menarik tentang ”drama di tapal batas” yang diputar di Jakarta International Film Festival (Jiffest) kedelapan tahun ini. ”Dari tapal batas, mereka menyanyi untuk meredam perang,” ucap Niles.
Lebih dari 200 film dari 35 negara diputar dalam festival yang digelar pada 8-17 Desember ini. Film itu dikelompokkan dalam lima seksi: Human Rights Section, Middle East Section, Music Section, Asian Section, dan Women Section. Sebanyak 12 film dari kelima seksi itu—di antaranya The Refugee All Stars, The Syrian Bride, Live and Become, Death in Gaza, Laila Khalid The Hijacker, dan Passabe—mengangkat tema yang unik: konflik di perbatasan dua negara.
Film dokumenter Death in Gaza (2004) yang masuk Seksi Timur Tengah, misalnya, dengan jelas mengeksplorasi kekerasan yang menimpa anak-anak di Jalur Gaza, wilayah Palestina yang setiap hari dibombardir pasukan Israel. Dalam film digambarkan bagaimana anak-anak di wilayah ini menjadi terbiasa memegang senjata, membersihkan darah kawan-kawannya yang mati berjihad, menembus kawat berduri di sepanjang perbatasan, hingga siap bergabung dalam pasukan bom bunuh diri. Sutradara Inggris James Miller yang menenteng sendiri kameranya tewas ditembak tentara Israel di wilayah berdarah ini pada 2 Mei 2003 (baca Klimaks yang tak Direncanakan).
Laila Khalid, 62 tahun, perempuan pertama Palestina—juga pertama di dunia—yang membajak pesawat komersial pada 1969 dan kini hidup di Yordania, mengungkapkan tak ada pilihan lain bagi anak-anak Palestina itu selain berkawan dengan kematian. ”Jangan harapkan anak-anak kami berbicara tentang kebun, bunga, atau matahari, sementara di hadapannya yang tampak hanya helikopter Apache, F16, dan tank-tank yang membuldoser rumah mereka,” ujarnya.
Cerita tentang orang-orang yang tak punya pilihan kecuali berkawan dengan keterbatasan seperti disebut Laila itu juga muncul dalam film cerita The Syrian Bride (2004). Film ini adalah komedi satir tentang otoritas perbatasan Israel dan Suriah. Melalui kisah sederhana sebuah pernikahan, sutradara Israel Eran Riklis tampak ingin meledek sikap kaku kedua negara dalam mengelola pintu terluar wilayahnya.
Diceritakan, Mona (Clara Khoury) yang tinggal di Majdal Shams, kawasan di Dataran Tinggi Golan milik Suriah yang dicaplok Israel sejak 1967, hendak menikah dengan bintang televisi Suriah bernama Tallel. Praktis, pertemuan mereka harus melewati perbatasan yang dijaga ketat tentara Israel dan Suriah. Sekali menyeberang ke Suriah, Mona tak bisa kembali ke Golan. Keluarga Mona pun melepas Mona dengan kesedihan.
Namun sebuah drama di gerbang perbatasan membuat Mona berpikir ulang untuk menemui sang kekasih. Petugas jaga Israel membubuhkan cap imigrasi yang baru disahkan hari itu pada paspor Mona. Dokumen Mona kemudian dibawa seorang relawan Palang Merah Internasional ke pos petugas Suriah. Paspor Mona itu ditolak petugas Suriah karena menggunakan cap yang tak dikenali. Dokumen dikembalikan lagi kepada sang pemberi stempel, tapi petugas Israel tetap berkeras menggunakan cap itu. Sang relawan pun harus bolak-balik menemui petugas yang sama-sama keras kepala. Ketegangan terjadi. Mona pun terombang-ambing dalam kebimbangan: tetap menikah atau membatalkannya.
”Ini harga yang harus dibayar mahal dari sebuah kebencian. Korbannya: kemerdekaan dan cinta,” kata Riklis.
Di film Live and Become (2005), sutradara Radu Mihaileanu mengetengahkan drama di tapal batas lewat cerita tentang kaum Falasha, orang-orang Yahudi di Ethiopia. Digambarkan bagaimana intelijen Israel pada 1984 menggelar operasi rahasia untuk membawa kaum ini ke Yerusalem. Delapan ribu kaum Falasha pun kemudian berduyun-duyun melintasi perbatasan Ethiopia-Sudan.
Di Sudan, beberapa pesawat telah menunggu untuk menerbangkan mereka ke Israel. Yang tak diperhitungkan, separuh dari kaum Falasha mati sia-sia. Mereka jatuh bergelimpangan menderita kelaparan.
Kisah memiriskan yang lain terjadi di perbatasan Indonesia-Timor Leste. Passabe, film yang disutradarai Lynn Lee dan James Leong, dengan baik menggambarkan tragedi sebuah desa di perbatasan Indonesia-Timor Leste. Dua kelompok yang berlawanan tinggal di desa ini: kelompok prointegrasi dan kelompok prokemerdekaan Timor Leste.
Dua sutradara Singapura itu menelusuri bekas-bekas kerusuhan pasca-referendum di Timor Timur pada 1999 yang masih menghantui penduduk Pas-sabe. Mereka mewawancarai Marcos Bakin, korban pembantaian yang selamat. Ada 74 warga desa mati terbunuh. Lee dan Leong juga mendatangi Alexio Elu, petani yang merasa menyesal pernah terlibat dalam aksi pembantaian terhadap kelompok prokemerdekaan.
Alexio mengaku terprovokasi ancaman senjata api dari milisi prointegrasi yang diacungkan kepadanya. Sebelum nahas menghadang, dia memilih lebih dulu menerjang. ”Aku terpaksa melakukan tindakan itu,” ujarnya.
Keadaan kini berubah. Kedua kubu itu justru berusaha mengubur amarah yang pernah mereka umbar. Desa yang terbelah itu ingin melanjutkan kehidupan secara damai. ”Ini menjadi sebuah latar yang menarik, bagaimana bisa memahami masyarakat setelah konflik ini,” ucap Lynn Lee kepada Tempo.
Sayangnya, film itu, juga film The Black Road karya William Nessen dan Timor Loro-Sae, serta Tales of Crocodiles karya Jan van den Berg dilarang diputar di Jiffest tahun ini. ”Kalau orang Indonesia melihat, pasti akan sakit hati. Jangan sampai kedamaian ini dirusak hanya oleh satu film. Kita berhak menolak kalau itu merusak bangsa,” ujar Titie Said, Ketua Lembaga Sensor Film.
Passabe, Timor Loro-Sae, dan Tales of Crocodiles pernah ditolak LSF tahun lalu. Waktu itu lembaga ini menilai Indonesia belum siap menerima film-film itu. Orlow Seunke, Direktur Jiffest, pun kembali mengusulkan tiga film tersebut diputar tahun ini. Toh, jawaban yang ia terima tetap sama. ”Sampai kapan kesiapan yang dimaksud LSF benar-benar terjadi?” tanya Orlow.
Dalam Jiffest tahun ini, film yang menggambarkan bagaimana sebuah negara menghardik hak asasi warganya menemukan ruang yang cukup. Kekerasan, kebencian, diskriminasi, juga pelarangan, adalah biang keladi dari pelbagai tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di setiap negeri. Dan para pengungsi di perbatasan Sierra Leone-Guyana memilih melawannya dengan menyanyi.
Yos Rizal Suriaji, Andi Dewanto, Yandi MR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo