Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ubud, Suara-suara Cak dalam Kegelapan

Happy Salma mementaskan Taksu Ubud, yang disiarkan melalui kanal YouTube. Komunitas-komunitas seni Ubud bahu-membahu berkolaborasi mendukung pertunjukan semikolosal tersebut. Christine Hakim dan Reza Rahadian terlibat.

10 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pentas pertunjukan seni drama Taksu Ubud, karya sutradara Dayu Ani dan Produser Happy Salma, di Ubud, Bali, 24 Juni 2021. Anggara Mahendra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANGAN Reza Rahadian mengusap gong yang digantung. Ia mendekati satu per satu penabuh ensambel gamelan Yuganada yang dipimpin I Wayan Sudirana. Kurang-lebih 18 pemain dengan instrumen lengkap itu masih dalam posisi diam. Reza tampak gelisah. Ia terlihat ingin menyentuh instrumen-instrumen tersebut. Ia berjalan perlahan dari satu instrumen ke instrumen lain. Namun tangannya seolah-olah tersendat.   

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Reza memerankan Umbara, sosok yang sedari kecil meninggalkan Ubud dan kemudian memenuhi panggilan ibunya—kembali ke Ubud. Begitu menjejakkan kaki di Ubud, dia dituntun oleh suara-suara sayup. Suara yang pernah didengarnya. Sebagai aktor, Reza cukup mampu mengekspresikan kegamangan. Berdiri di tengah para pemain gamelan yang duduk bersila dan bertelanjang dada, ia mengenakan baju lengan panjang dan celana jins. Ia terlihat merasa dilema, antara menjauh atau masuk lebih jauh ke suasana.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pentas pertunjukan seni drama Taksu Ubud, karya sutradara Dayu Ani dan Produser Happy Salma, di Ubud, Bali, 24 Juni 2021. Anggara Mahendra

Gamelan pelan-pelan mulai dimainkan. Sebuah komposisi yang halus merambat naik. Mula-mula Reza tampak gundah. Ia duduk di antara para penabuh. Sesekali ia menutup kedua telinganya—dan menyeka tangannya dengan cemas—seolah-olah menghindar dari bunyi gamelan. Tapi ia kemudian tampak tak kuasa mengikuti alunan nada. Ia berdiri. Mencerap nada. Kakinya mulai berposisi seperti penari. Ia mundur sejenak ke arah gapura. Tapi, sedetik kemudian, ia maju lagi. Jemari-jemari tangannya seakan-akan bergerak sendiri. Ia tak kuasa lagi menahannya. Ia mencoba menutup jemarinya, tapi kembali telapak tangannya terbuka dan jari-jarinya bergetar. Akhirnya, kedua tangannya terentang, jari-jari tangan kanan-kirinya bergerak, ia turut dalam tarian.

Pertunjukan bertajuk Taksu Ubud yang diproduseri Happy Salma ini tergolong langka di era pandemi Covid-19. Digarap secara semikolosal, pertunjukan itu melibatkan berbagai komunitas seni di Ubud dan Denpasar. Di antaranya Komunitas Gamelan Yuganada, Yayasan Bumi Bajra Sandhi, Kerta Art Performance, Sanggar Çudamani, Ubud Performing Art, Napak Tuju, Swaradanta, dan Yayasan Janahita Mandala Ubud. Setiap komunitas berlatih selama lebih-kurang empat bulan. Latihan gabungan digelar tujuh hari. Para anggota komunitas menjalani tes usap antigen saban tiga hari sekali.

Menggabungkan berbagai komunitas dalam sebuah struktur yang enak ditonton, mengalir, tentu menjadi tantangan bagi sutradara—bagaimana sutradara mampu mengelola dan memadukan komunitas untuk menghasilkan suatu tontonan yang utuh, bulat, bukan hanya lintasan kolase. Itu yang ditunggu. Adegan kontemplasi Reza dengan gamelan, misalnya, meski menarik, memakan waktu terlalu lama. Sutradara tabuh, I Wayan Sudirana, menyebutkan nomor pembuka “Orkestra Semesta” berdurasi panjang karena di dalamnya ada siklus nada di sembilan arah mata angin. Dayu Ani sebagai sutradara gerak mengungkapkan, kerja kolaborasi membuat semua elemen dalam pertunjukan ini sama pentingnya. “Saya yakin getaran dari karya yang didedikasikan sebagai sebuah persembahan atau doa jauh lebih penting daripada pemahaman. Soal pemahaman ini bisa menyusul kemudian,” katanya.

Segmen awal yang panjang itu lantas dilanjutkan dengan adegan Ida Ayu Komang Diana Pani memainkan rebab dan Dayu Indah Tejapratami melukis di panggung. Tampak adegan ini hanya berfungsi sebagai ilustrasi—sebagaimana adegan dua penari laki-laki dan perempuan, yang satu di atas pohon dengan kain-kain menjurai, muncul dalam pembuka pentas sebagai ilustrasi saat Umbara pulang dengan masygul. Bersamaan dengan adegan menggesek rebab itu, sekumpulan bocah datang sembari menembangkan lagu dolanan anak-anak Bali.

Pertunjukan ini cukup banyak melibatkan anak-anak dalam koreografi. Ada sekitar 20 anak, semuanya asli Ubud. Umur mereka 3-11 tahun. Anak-anak ditunjukkan bermain-main dengan pohon yang angker. Tujuh penari pohon dengan penari utama Ayu Anantha Putri tampil. Tata rambut Ayu mengasosiasikan cuatan ranting. Untuk mengimajikan kulit pohon, para penari menyajikan koreografi mengeksplorasi kain-kain batik eksotik yang mereka kenakan. Dalam adegan “Hari Raya Pohon”, anak-anak itu menyelipkan sajian di celah-celah batang pohon. “Aku bantu ibu ikat hiasan jamur di batang pohon,” ucap seorang anak. Lalu anak-anak lain menyambutnya dengan ucapan: “Bubur dengan lipatan daun.” Seorang anak ingin memanjat pohon, tapi dilarang teman-temannya. “Pohon adalah roh, ada yang baik dan yang jahat,” ujar mereka. Adegan ini hendak menyuguhkan betapa sejak dini anak-anak di Bali dididik merasakan sekala-niskala, “yang terlihat dan tak terlihat”.  

Setelah itu, plot menampilkan pertemuan Umbara dengan ibunya (Christine Hakim). Dari menekankan musik dan tari yang agak riuh, pertunjukan tiba-tiba menjadi teater dialog murni. Terasa adegan agak terputus. Untung durasinya tak bertele-tele. Lalu transisi. Kembali suasana panggung suram. Muncul suara dengung cak dalam kegelapan. Di tengah keremangan, terlihat dua kelompok pemuda berdiri, tidak duduk melingkar. Mulut mereka bersuara cak, cak, merespons satu sama lain. Saat terang muncul, seorang dalang (Made Sukadana Gender) memainkan wayang. Para penari cak itu duduk bersimpuh memanjang, menonton permainan dalang. Reza sebagai Umbara bergabung. Ia menjadi bagian dari kelompok cak. Anak-anak pun datang kembali. Tercipta suasana komunalitas sebuah banjar. Sebuah keguyuban. Tari, gamelan, cak, tidak terputus dari kehidupan sehari-hari.    

Reza Rahardian dan Christine Hakim dalam pentas Taksu Ubud, karya sutradara Dayu Ani dan Produser Happy Salma, di Ubud, Bali, 24 Juni 2021. Anggara Mahendra

Pertunjukan Taksu Ubud ini disajikan di teater terbuka Agung Rai Museum of Art atau ARMA, Ubud. Sebelum pandemi merebak, saat bulan purnama tiba, di ARMA kerap berlangsung pertunjukan Cak Rina yang dipimpin I Ketut Rina. Cak Rina dikenal ekspresif. Formasinya bukan lingkaran, melainkan “battle” dua kelompok penari kera. Setiap kelompok dilengkapi obor-obor. Para penari bisa meloncat, berdiri di atas pundak, ketika adegan konflik cak memuncak. Ketut Rina terinspirasi Sardono W. Kusumo, yang pernah membuat Cak Teges. Saat masih kecil, Rina terlibat dalam pementasan kelompok Sardono itu. Menurut Sardono, formasi penari cak tidak harus berbentuk lingkaran. Cak berformat lingkaran, tutur Sardono, merupakan kreasi pelukis Walter Spies yang terinspirasi adegan balet.

Cak yang ditampilkan I Wayan Sudirana, meski tak konvensional, tentu tak seliar yang disajikan I Ketut Rina. Sebagai komponis, ia terlihat lebih banyak mengeksplorasi harmoni suara cak. Bagian yang menarik adalah saat Cokorda Sri Partinawati dan Agung Oka bergantian menari diiringi musik mulut cak. Di titik ini, memang terlihat kekuatan orkestrasi suara mulut menyemburkan cak, cak menggantikan bunyi gamelan. Pertunjukan ini diakhiri dengan suasana perayaan di banjar. Cak melebur dalam kehangatan. Ibu Umbara menjadi tuan rumah. Para bibi Umbara membantu menyiapkan banten, menghidangkan kopi dan makanan. Mulut para penari terus bersuara cak, cak. Cak diperlihatkan dibangun dari keseharian, bukan sebuah pertunjukan yang memisahkan diri, tapi bertolak dari situasi-situasi konkret kekeluargaan. Puncak keriuhan pesta ini adalah anak-anak kembali datang sembari bersenandung: “Indang-indang sidi, padi gumpang ketan injin, seriut cucutan, ancog-ancog tundun bengkuk….” Para penari cak menyambut, dan akhirnya semua bernyanyi.  

Tentu suasana itu lebih terasa apabila menonton langsung pertunjukan ini di ARMA. Pertunjukan dengan plot dan tema sederhana ini bukanlah sebuah jenis pertunjukan yang "menggedor” sedari awal sampai akhir. Tapi pertunjukan menyajikan suasana kegembiraan, bahwa seni adalah kegembiraan kehidupan bersama. Disiarkan melalui kanal You Tube Budaya Saya milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pementasan ini cukup mendapat sambutan. Pertunjukan seperti ini agaknya lebih bisa dicerna oleh kalangan milenial. Baru dua hari diunggah, Taksu Ubud sudah ditonton 19 ribu kali. Para pemain bisa makin percaya bahwa Ubud adalah ubad (obat).  

SENO JOKO SUYONO, ISMA SAVITRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus