Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIDAKNYA ada enam jenis tumpeng yang ditampilkan pada ruang pamer virtual itu. Ruang itu meniru bentuk pawon atau dapur tradisional dengan tungku batu berbahan kayu bakar dan ragam peralatan masak dari gerabah. Di langit-langitnya yang tinggi tergantung sejumlah bumbu makanan yang dikeringkan. Kita dapat memutari ruangan itu dengan menggeser jari di telepon seluler atau menyeret tetikus laptop. Di sepanjang dinding pawon, terdapat kotak-kotak interaktif yang menampilkan berbagai gambar tumpeng di Indonesia. Jika diklik, pengunjung dapat menemukan penjelasan ringkas tentang komposisi dan filosofi tiap jenis tumpeng.
Ada tumpeng robyong yang warnanya cenderung pucat karena hanya terdiri atas nasi putih dan telur rebus di puncaknya dengan pelengkap sederhana, seperti ayam, terasi, bawang merah, dan cabai. Tumpeng ini disebut biasa muncul pada upacara selamatan weton atau hari lahir. Di sisi lain, ada tumpeng punar yang ramai dengan warna-warni terang. Tumpeng berbahan dasar nasi kuning itu memiliki pelengkap lauk-pauk yang banyak dan beragam warna, dari telur dadar, kacang goreng, pecel, sambal pentok, kering kentang, hingga abon. Tumpeng punar yang cerah disajikan untuk merayakan kehadiran seorang anak dalam keluarga.
Sementara itu, untuk memperingati hari kematian, ada tumpeng pungkur yang kerucutnya terbelah vertikal di tengah. Lalu ada tumpeng kendhit yang disajikan pada masa-masa sulit untuk memohon petunjuk jalan keluar. Kerucut tumpeng kendhit ini terdiri atas nasi putih yang dililit nasi kuning pada bagian tengah sebagai lambang permasalahan yang melilit.
Pameran berbagai jenis tumpeng Nusantara ini menjadi salah satu zona yang dihadirkan dalam Museum Gastronomi Indonesia, sebuah museum virtual yang dapat diakses lewat situs museumgastronomi.id. Diluncurkan pada 17 Juni lalu, museum ini berambisi menjadi pusat segala informasi tentang sejarah, asal-usul, dan proses akulturasi budaya dalam ragam makanan yang sehari-hari dikonsumsi orang Indonesia. “Setahu saya, kami adalah museum gastronomi pertama di Indonesia. Barangkali juga menjadi museum virtual pertama,” tutur Ria Musiawan, Ketua Umum Indonesian Gastronomy Community (IGC), yang menggagas pendirian museum ini.
IGC yang dibentuk pada Mei tahun lalu beranggotakan mereka yang menamakan diri gastronom, atau pecinta makanan. Profesinya beragam, dari chef, pemilik restoran, pengusaha hotel, ibu rumah tangga, hingga pejabat negara. Mendirikan museum gastronomi menjadi salah satu mimpi utama komunitas ini. Menurut situs resminya, sejumlah pejabat duduk dalam dewan kehormatan komunitas ini, yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono; Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki; serta Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo. Deretan pengusaha juga mengisi jajaran dewan pembina komunitas ini, seperti Rosan Roeslani, Franciscus Welirang, dan Anthony Putihrai.
Pengembangan Museum Gastronomi dilakukan segera setelah IGC berdiri. Konten museum ini dikumpulkan dan dikurasi oleh dewan pakar yang terdiri atas akademikus dan pakar di bidang kuliner, gizi, hingga sejarah. Di antaranya adalah guru besar ilmu dan teknologi pangan Universitas Gadjah Mada, Murdijati Gardjito; dokter ahli gizi Universitas Indonesia, Saptawati Bardosono; dan sejarawan UI, Bondan Kanumoyoso. “Karena gastronom itu bukan hanya tentang makanan, tapi juga bagaimana latar belakang budaya, sejarah, hingga sisi gizinya,” ujar Ria dalam wawancara via Zoom, Kamis, 8 Juli lalu.
Museum gastronomi serupa ini telah dikembangkan di beberapa kota dunia dan menjadi atraksi utama penggaet turis. Di Praha, ada Muzeum Gastronomie dengan pameran permanen yang menghadirkan sejarah metode meracik dan mengawetkan makanan sejak zaman prasejarah hingga era modern. Museum ini juga menyajikan berbagai bahan mentah dan hidangan khas dari area sebelah utara Pegunungan Alpen di Eropa.
Lyon yang terkenal sebagai kota kuliner di Prancis juga mendirikan Cité de la Gastronomie. Museum yang terdiri atas empat lantai ini menghadirkan riwayat pembuatan sajian kuliner khas Lyon, bir, hingga berbagai hidangan andalan Paul Bocuse, koki legendaris asal Lyon. Pengunjung juga dapat mencicipi langsung ragam sajian yang dimasak para koki tepat di depan mata mereka. Namun, baru sembilan bulan dibuka, museum gastronomi Lyon terpaksa ditutup karena wabah corona.
Ria menuturkan awalnya IGC menargetkan pendirian museum fisik. Berhubung sedang masa pandemi, format virtual pun dikembangkan karena dewan pakar telah mengumpulkan cukup banyak data yang layak dipamerkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penjelasan Tumpeng dalam ruang virtual Museum Gastronomi Indonesia melalui ponsel, di Jakarta, 9 Juli 2021. TEMPO/Jati Mahatmaji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IGC bekerja sama dengan PT Siji Solusi Digital untuk mengembangkan museum virtual ini dengan fitur-fitur seperti visualisasi 360 derajat dalam bentuk video, suara, animasi, infografis, dan artefak tiga dimensi. Siji berpengalaman dalam layanan tata ruang pamer sejumlah museum. Menyesuaikan dengan preferensi target pengunjung yang kebanyakan akan mengakses lewat telepon seluler, tampilan museum ini dibuat ramah untuk layar mobile. “Konsep museum virtual ini ibarat pintu ajaib yang dapat membawa pengunjung ke berbagai zona berbeda,” ujar Yudha Maulana dari Siji dalam wawancara daring, Kamis, 8 Juli lalu.
Hingga artikel ini ditulis, belum semua zona yang direncanakan dapat diakses. Baru beranda dan zona tumpeng serta rempah yang dapat dieksplorasi. IGC merencanakan setidaknya ada tujuh zona yang terdiri atas Beranda; Tumpeng sebagai Makanan Perlambang; Rempah dan Bumbu; Ragam Makanan dan Minuman Nusantara; Dapur Pawon, E-Library; Laut; dan Makanan Masa Depan Indonesia.
Konten dalam zona-zona yang sudah terbuka pun masih belum begitu lengkap. Informasi pada zona tumpeng masih terbatas pada filosofi, komposisi, serta tujuan pembuatannya. Tidak ada penjelasan lebih rinci tentang riwayat makanan ini atau keragaman daerah asalnya. Zona rempah juga hanya menghadirkan sebuah video animasi pendek yang mengilustrasikan suasana pelabuhan yang ramai dengan perdagangan rempah pada masa Veerenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Ria menjanjikan rencana pengembangan yang cukup menarik dan diselaraskan dengan program IGC lain, seperti gastro-diplomacy dan gastro-tourism. Salah satu konten yang sedang dikembangkan adalah penggalian kuliner Nusantara yang disajikan bagi raja-raja Mataram pada abad VIII-X Masehi yang disarikan dari narasi relief-relief di Candi Borobudur. Misalnya, ada hidangan yang terbuat dari sidat atau belut besar yang di Jepang dikenal dengan nama unagi dan menjadi salah satu hidangan mewah. “Dari sekitar 123 relief, kami merekonstruksi lebih dari 20 hidangan,” kata Moko Pamungkas, Sekretaris Jenderal IGC. “Sejumlah hidangan itu akan ditelusuri narasi dan filosofinya, kandungan gizinya, lalu coba didemokan dan disajikan kembali.”
Para pengurus IGC masih memimpikan sebuah museum fisik yang tak hanya akan menjadi ruang pamer, tapi juga pusat hiburan, cooking demo, market place kuliner lokal, dan kafe untuk anak muda. Ria menyebut sudah ada tawaran beberapa titik di Jakarta yang diancang-ancang sebagai lokasi museum fisik nantinya. “Target kami, tahun depan akan berdiri,” ucap Ria.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo