Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mundardjito mengajarkan dan mengembangkan metode lapangan arkeologi.
Mundardjito naik pitam akibat hancurnya lahan Pusat Informasi Majapahit di situs Trowulan, berdirinya industri kelapa sawit dan batu bara di kawasan percandian Muarojambi, serta rusaknya situs megalitik punden berundak Gunung Padang di Cianjur.
Menurut Mundardjito, seorang arkeolog harus mampu menjaga etika dan moral.
PROFESOR Mundardjito mengirimkan pesan WhatsApp kepada saya pada 7 dan 8 Juni lalu. Ketika itu saya sedang bersiap mengikuti pengukuhan guru besar tetap ilmu arkeologi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI). Pak Otti—demikian beliau akrab disapa—diminta Ketua Departemen Arkeologi FIB UI membuat testimoni untuk pengukuhan saya itu karena dia promotor saya dan kami sering bersama dalam penelitian lapangan. "Saya diminta bikin testimoni buat kamu. Prof Cecep Eka Permana dikenal sebagai seorang arkeolog lapangan (field archaeologist) dan multidisipliner dalam pemikirannya…," demikian isi pesannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa saat setelah pengukuhan saya, Sabtu, 19 Juni lalu, Pak Otti kembali mengirimkan pesan pendek. "Maaf Cecep, asma saya keluar, karena itu saya enggak muncul. Tapi saya dengan kalian bicara," ujarnya. Tidak lama setelah itu, dia menelepon saya dan sambil terbatuk-batuk ngobrol banyak tentang topik pidato saya dan perkembangan arkeologi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Jumat, 2 Juli lalu, pukul 05.18, melalui nomor WhatsApp Pak Otti, saya mendapat kabar dari menantunya. "Assalamualaikum, Om Cecep. Mohon doanya yang terbaik untuk Bapak. Bapak sedang dirawat di RSCM Kencana karena infeksi paru." Sepulang salat Jumat, saya kembali membuka WhatsApp dan terkejut saat mendapati kabar duka dari teman-teman. Pak Otti telah berpulang pada pukul 12.40. Innalillahi wa innaillaihi rojiun….
Itu detik-detik terakhir komunikasi saya dengan Pak Otti hingga berita wafatnya. Yang perlu saya kenang dari pesan tersebut adalah Pak Otti sangat peduli terhadap murid, teman, kolega, siapa saja. Saya tahu, saat menelepon bolak-balik untuk menulis testimoni itu, dia dalam kondisi tidak sehat. Dia baru terjatuh di kamar mandi. Namun hal itu tidak menjadi rintangan baginya untuk tetap menulis. Setelah mengirimkan testimoninya, dia menelepon saya. "Maaf ya, yang saya tulis terakhir itu apa adanya aja. Sebenarnya itu yang ketiga, sebelumnya diketik tapi enggak bisa disimpan, lupa apa yang sudah diketik sebelumnya, lalu mikir berat lagi, dan hilang lagi…." Itulah sosok Pak Otti, sering tak memikirkan dirinya yang sedang sakit demi kepentingan orang lain.
Saya hanya satu di antara sekian banyak murid Pak Otti. Saya mengenalnya sejak belajar di semester pertama Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UI pada 1984. Saya mengenal lebih dalam jiwa arkeologi lapangan yang begitu kuat pada diri Pak Otti ketika dia membimbing saya dalam kuliah kerja lapangan arkeologi berupa ekskavasi di situs Batujaya, Karawang, Jawa Barat, pada 1986. Yang sangat berkesan adalah dia mengajarkan disiplin dalam kerja, tanggung jawab dalam tugas, kerja sama dengan kompak dalam tim, serta jujur dalam berkata dan bertindak. Apalagi seorang arkeolog mendapat mandat melestarikan tinggalan budaya leluhur manusia masa lalu.
Bagi seorang arkeolog, perekaman data yang cermat, teliti, dan akurat merupakan modal utama. Pantang bagi arkeolog mengambil, apalagi merusak, sekecil apa pun bukti tinggalan masa lalu untuk kepentingan pribadi. Itu bagian dari etika profesi arkeolog yang paling penting. Pernah beberapa kali dalam kegiatan perkuliahan lapangan itu Pak Otti sengaja menggeledah tas mahasiswa sebagai antisipasi perilaku kriminal—istilah Pak Otti—mengambil temuan arkeologi yang bukan haknya. Mungkin karena sudah saking dekatnya—sejak 1986 hingga 2020 kami sering melakukan penelitian lapangan bersama—sifat dan jiwa lapangannya terserap dalam diri saya. Saya pun berusaha menularkannya kepada teman atau kolega, junior, dan mahasiswa di mana pun.
Pak Otti pantas dikenang sebagai Bapak Arkeologi Indonesia dan Bapak Pembaru Arkeologi Indonesia, terutama berkaitan dengan teori, metode, dan pengetahuan arkeologi lapangan. Pendidikan lanjutnya di University of Athens di Yunani dan University of Pennsylvania di Amerika Serikat banyak mengubah wajah studi arkeologi di Indonesia yang semula tidak jauh dari mempelajari sejarah para raja menjadi menaruh perhatian pada arkeologi sesungguhnya secara interdisipliner dan multidisipliner. Apalagi potensi tinggalan arkeologi itu sangat melimpah di Tanah Air. Sebagian besar warisan itu ada di dalam tanah. Maka metode ekskavasi atau penggalian arkeologilah pintu untuk menguak misteri tinggalan budaya masa lalu itu.
Dengan sepenuh hati, dia mengajarkan dan mengembangkan metode lapangan arkeologi itu. Menurut dia, arkeolog sejati harus dapat bekerja di lapangan dengan baik karena di lapanganlah sejatinya sumber data arkeologi itu. Pandangan dan pendapat arkeolog yang hanya menguasai teori atau metode serta pengetahuan arkeologi akan pincang dan lemah dalam argumen ilmiah jika ia tak menguasai lapangan arkeologi. Sudah banyak senior, sejawat, bahkan adik-adik saya yang sudah menjadi orang hebat dalam dunia arkeologi Indonesia berkat gemblengan Pak Otti. Dan itu bukan hanya di kalangan akademik di UI, tapi di seluruh Indonesia, baik di lingkungan perguruan tinggi maupun instansi pemerintah pusat dan daerah.
Agaknya tidak ada yang tak mengenal Pak Otti di kalangan dunia akademik, khususnya arkeologi. Anak kedua dari enam bersaudara kelahiran Bogor, Jawa Barat, 8 November 1936, itu terkenal sebagai dosen yang mudah bergaul dan akrab dengan siapa saja, sangat memperhatikan mahasiswa bila ada kesulitan dan hambatan dalam pendidikan, termasuk merogoh kantongnya untuk membantu mahasiswa. Tak pelak dia menjadi dosen favorit dan dikagumi mahasiswa tidak hanya di UI, tapi juga di Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Universitas Udayana, Bali; dan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sepulang dari pendidikan di luar negeri dan mendapat ilmu segar arkeologi, Pak Otti langsung mengajak mahasiswa dan arkeolog 1970-an itu membangun arkeologi baru di Indonesia, terutama teori dan metode arkeologi yang sebelumnya tidak pernah menjadi bagian dari kurikulum pendidikan arkeologi. Kegiatan kuliah bersama UI, UGM, dan kemudian Udayana di lapangan dia gagas di berbagai situs di Indonesia, seperti Gilimanuk, Bali; dan Borobudur, Jawa Tengah.
Sepak terjangnya sebagai akademikus merentang dari sebagai dosen, ketua jurusan arkeologi, pembantu dekan, asisten konservator, kepala pusat kajian humaniora, anggota senat akademik, hingga anggota dewan guru besar. Sebelum dan beberapa saat setelah purnabakti, dia pernah menjadi pengajar dan penguji di beberapa kampus di luar negeri.
Di luar lingkungan akademik di kampus, Pak Otti dikenal sebagai arkeolog berpendirian kukuh dan memiliki prinsip keilmuan kuat untuk pengembangan arkeologi serta pelestarian cagar budaya Indonesia. Tak mengherankan banyak pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan, yang notabene mantan muridnya, dijewer karena dinilai tidak selaras dengan pandangannya serta tidak sesuai dengan kaidah, etika, dan moral arkeologi. Ada tiga "kasus" besar yang membuat Sang Profesor naik pitam, yakni hancurnya lahan Pusat Informasi Majapahit di situs Trowulan, Jawa Timur; berdirinya industri kelapa sawit dan batu bara di kawasan percandian Muarojambi; serta rusaknya situs megalitikum punden berundak Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat.
Semestinya, di masa purnabakti itu, Pak Otti dengan tenang membimbing dan memberikan arahan kepada murid-muridnya yang rata-rata sudah memegang tampuk kepemimpinan di instansi arkeologi di Indonesia untuk kemajuan arkeologi dan pelestarian cagar budaya. Namun, pernah digambarkan dalam tulisan media massa, Pak Otti bukan tipe ilmuwan menara gading. Dia memilih "turun gunung" melihat situs Majapahit di Trowulan, Muarojambi, dan Gunung Padang yang terancam rusak oleh orang yang semestinya justru dapat menjaga kelestariannya. Rasa sedih, marah, dan gundah bercampur-baur. Pak Otti menyaksikan sendiri kejadian yang memilukan itu.
Menurut dia, seorang arkeolog harus mampu menjaga etika dan moral. Jangan karena tuntutan uang dan pengaruh politik, etika dan moral arkeologi itu tergadaikan. Kecuali di Muarojambi, Pak Otti melibatkan saya sebagai salah satu anggota "tim penyelamat" situs yang rusak tersebut. Penyakit asma bawaan Pak Otti beberapa kali kumat di lapangan. Saya pernah mendorong Pak Otti di kursi roda di Bandar Udara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, karena fisik dan pikirannya lelah. Bahkan sempat terlontar ucapan ketika sedang berdiskusi di kotak gali ekskavasi di Trowulan bahwa dia akan mati di kotak gali, sama seperti gurunya di Yunani.
R. CECEP EKA PERMANA (GURU BESAR TETAP ILMU ARKEOLOGI DI FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo