Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOLAM (Buku puisi)
Pengarang: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Editum, 2009
Tebal: 120 halaman
BUKU puisi Kolam (Editum, 2009) menghimpun 51 karya baru penyair senior Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Terdiri atas tiga bagian dan tanpa nomor halaman, buku ini membuktikan betapa Sapardi adalah salah satu dari sangat sedikit pujangga sepuh yang masih produktif di negeri ini. Di usianya yang kini menjelang 70 tahun, ia masih memukau pembaca sastra Indonesia dengan taburan puisi yang kian matang dalam hal penguasaan bahasa serta makin berbobot dalam hal isi. Sebuah stamina literer yang—meskipun tidak mengejutkan—jelas mengagumkan dan layak dicemburui oleh generasi penyair yang lebih muda.
Seperti dalam buku-buku puisinya yang terdahulu, Sapardi dalam Kolam tetap menunjukkan kelasnya sebagai ”alkemis kata”: seorang kreator yang piawai mengubah logam kata-kata biasa menjadi emas puitik yang berkilauan. Makna puisi-puisi Sapardi sepenuhnya dibangun dengan, dan melalui, amalgam kata-kata. Sang penyair menggali makna dari dalam kata, yang adalah tanda (sign), dengan menjelajahi jurang tanpa-dasar yang menganga di antara penanda (signifier) dan petanda (signified).
Berbekal pengetahuan dan kepekaan tentang ramuan ajaib kata, suatu alkemi rahasia kata, Sapardi mentransmutasi kata keseharian hingga menjadi energi puitik murni yang vibrasinya menyentuh pengalaman estetik pembaca. Di tangannya, kata seolah mendapatkan tuah. Ungkapan verbal lumrah dalam puisi Sapardi menjelmakan sebuah ”dunia di seberang bahasa” yang enigmatik, tempat segalanya terlihat begitu bening tapi sekaligus tak tertembus, begitu akrab namun selalu tak tertangkap.
Buku puisi Kolam melanjutkan prestasi khas Sapardi sejak dulu sebagai penyair yang sukses mendulang emas puitik dengan khusyuk bertafakur merenungkan hal-ihwal sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Ilham puisinya dipetik dari observasi tajam dan refleksi mendalam terhadap momen-momen kecil, fenomena remeh-temeh, yang kerap dianggap tidak penting dan sering luput dari perhatian orang ramai. Dengan imajinasi puitik tingkat tinggi, sang penyair secara intensif ”membaca” kolam ikan di pekarangan, pohon belimbing, pemulung, burung, hujan, selokan, kabut, asap pabrik, sebilah pisau, secangkir kopi, atau secarik kertas. Dia memilih obyek-obyek yang terkesan banal dan bersahaja justru untuk menyingkapkan potensi kedalaman dan kompleksitas mereka sebagai citra puitik yang menginspirasikan makna.
Dengan tatapan yang menolak berhenti pada kulit realitas, Sapardi menangkap momen-momen revelasi duniawi yang sering luput dari perhatian, tersisih oleh derasnya arus sungai kehidupan kontemporer yang dangkal. Itulah momen pengalaman puitik yang ”mistis”, ketika realitas material tersentuh cahaya imajinasi sang penyair dan kehilangan materialitasnya, menjelma jadi suatu kehadiran puitik yang ilusif tapi sarat makna.
Simaklah puisi ”Kolam di Pekarangan”. Dengan cermat dan terperinci, Sapardi melukiskan peristiwa alami yang terjadi di sebuah kolam ikan. Namun pusat orientasi sang penyair terus bergerak, bergeser dari ”daun yang membusuk di dasar kolam” ke ”ikan” dan akhirnya ke ”air”. Walhasil, relasi dan konfigurasi elemen-elemen yang membangun dunia kolam berubah-ubah dan menciptakan efek puitik yang sublim. Perubahan pusat orientasi, pergeseran sudut pandang, dan peralihan posisi penutur merupakan strategi puitik yang banyak dielaborasi Sapardi dalam buku puisi terbarunya ini.
Nilai puisi-puisi Sapardi tidak terletak pada apa yang dituturkan, melainkan bagaimana menuturkannya. Paralel dengan seni lukis alam benda (still-life), bukan obyek puisi itu sendiri yang penting, melainkan modus kehadiran obyek tersebut: perspektifnya, skalanya, pencahayaannya, teksturnya, gradasi warnanya.
Apa yang disampaikan oleh puisi-puisi itu? Puisi ”Kolam di Pekarangan” dikunci dengan kesadaran tentang eksistensi sebuah semesta: ”Ia kini dunia/Tanpa ibarat.” Kolam menyiratkan, di satu sisi, kepercayaan kuat akan adanya sistem korespondensi universal yang menghubungkan hal-ihwal yang berbeda, atau bahkan bertentangan, menjadi sebuah dunia yang bulat. Kepercayaan inilah yang memungkinkan penyair melihat wajah di cermin sebagai burung, awan, atau pohon rambutan (”Bayangkan Seandainya”), atau tergoda mengusut hubungan antara selokan, bangkai curut, batu, dan batuk (”Batu, Bangkai Curut, Selokan: Suatu Sore”).
Arif Bagus Prasetyo, kritikus sastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo