Pemusik-pemusik klasik "ngamen" di klub malam dan hotel-hotel untuk hidup. Suka Hardjana ingin menghidupkan lagi Ansamble Jakarta. PEMUSIK Saryono mungkin tak pernah menyangka akan terdampar di klub malam ketika bergabung dengan Orkes Simfoni Jakarta (OSJ) 24 tahun silam. Kenyataannya: kini hampir setiap malam ia melengkingkan terompetnya mengiringi pengunjung klub malam Blue Ocean melantai. Seandainya Saryono, 50 tahun, bukan anggota orkes musik klasik yang melantunkan karya-karya komponis dunia, seperti Johann Sebastian Bach, Antonio Vivaldi, dan Wolfgang Amadeuz Mozart, agaknya orang tak begitu ambil pusing. Kebiasaannya melengkingkan lagu-lagu pop setiap malam tidak mustahil akan mempengaruhi penampilannya sebagai pemusik klasik. Apa yang menggiring Saryono meniup terompet di klub malam? Gaji. Ayah enam anak itu merasa penghasilannya sebagai pegawai negeri sudah tak sebanding dengan penyeluarannya untuk keluarga, biaya hidup sehari-hari delapan jiwa, serta transpor untuk mengikuti latihan di studio RRI. Tanpa honor Rp 600.000 setiap bulan dari Blue Ocean, Saryono memang bisa kapiran di Jakarta. Ternyata, Saryono tak sendiri. Sejumlah pemusik lain OSJ juga mencari tambahan di tempat hiburan. Dirigen OSJ, Yudianto Hinupurwadi, tampak prihatin dengan nasib pemusik-pemusik orkes klasik itu, tapi tak bisa menolong. Pada zaman Gubernur Ali Sadikin, kata Yudianto, perkembangan musik klasik sangat didukung. Subsidi mengalir dari pemda dan swasta. Belakangan beleid Pemda DKI Jakarta berubah. Swasta tak lagi menyubsidi, dan uang insentif dari pemda, yang jumlahnya dari dahulu tak pernah berubah, Rp 20.000 per bulan, baru bisa diterima 3-4 bulan kemudian. Keadaan OSJ tambah runyam sejak Studio V RRI Jakarta terbakar: pemusik-pemusik klasik itu tak punya tempat lagi untuk pentas. Di tengah kesulitan itu muncul tawaran dari klub malam dan hotel. Namun, di sana mereka tak diminta membuat pertunjukan musik klasik. Mereka hanya diminta melantunkan musik-musik pop pengiring melantai atau untuk membuat suasana santap pagi, siang, atau malam seronok. Di samping itu, mereka, tampil dengan formasi kecil, tak jarang pula melayani lagu permintaan penonton. "Kami memang ngamen di hotel," kata Bambang Suardi, lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), terus terang. Ia semula bangga bisa ikut OSJ. Tapi, begitu OSJ kembang kempis, Bambang, 34 tahun, membentuk Mandarin String Quintet. Setiap sore (pukul 16.00-19.00), Bambang ngamen bersama keempat temannya di Clipper Lounge Hotel Mandarin. Honor mereka setiap bulan sebanyak Rp 600.000 per orang. Tawaran main di luar -entah di Hotel Sahid Jaya, Hyatt, atau Hilton -- memang menggiurkan. Di hotel, sekali muncul mereka dibayar Rp 50.000. Kalau ditanggap untuk pesta perkawinan, mereka mengantongi Rp 1,5 juta. Kalau untuk rekaman kaset atau film, honornya Rp 25.000-100.000 per jam. Belum lagi honor merangkap mengajar di sekolah-sekolah musik. "Mau bersolo career di dunia musik tidak mungkin. Bagaimana mungkin menjual sesuatu yang belum laku di pasaran? Jadi, kalau mau hidup, unsur klasik mesti dihilangkan. Apalagi yang main di klub-klub malam atau bar," komentar Victor Ganap, dosen Jurusan Musik Fakultas Kesenian ISI, Yogya, kepada wartawati TEMPO Sri Wahyuni. Namun, di tengah kelesuan pergelaran musik klasik, ternyata, ada Orkes Simfoni Nusantara (OSN), yang ajek mengadakan pertunjukan sekali sebulan di Grand Ball Room Hotel Hilton. "Pop ada. Rock ada. Masa klasik nggak ada. Penggemar musik klasik juga berhak menikmati pertunjukannya," kata pimpinan OSN, Mochtar Kusuma-Atmadja. OSN dibentuk bekas menlu itu pada 1988. Tujuannya, kata Mochtar, memberi kesempatan lulusan sekolah musik meningkatkan keterampilan artistik dalam orkes kecil (chamber) yang baik, sebelum masuk ke orkes yang lebih besar. Para pemain OSN, umumnya berusia 20-an, memang mahasiswa dan dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogya. Di Hilton, OSN mengadakan pertunjukan secara cuma-cuma. Tapi biaya yang dikeluarkan Hilton untuk sekali pergelaran mulai dari mendatangkan pemusik sampai mencetak undangannya, cukup besar: Rp 15-20 juta. Untung, ada sponsor. "Bagi sponsor, ini cara terbaik untuk promosi karena produknya tak hanya dicetak di undangan, tapi juga tampil di latar pentas," kata Mochtar. Sedangkan imbalan bagi Hilton, usai pertunjukan biasanya tamu-tamu makan atau minum-minum dulu di restoran sebelum pulang. Itu sebabnya Hotel Indonesia sejak bulan lalu mengundang OSN pentas di sana. Juga gratis. Bagaimana OSN menghidupi 31 pemusiknya? "Dana dari sponsor," kata Mochtar. Ia tak merinci jumlah pemasukan OSN, tapi OSN bisa memberi honor tetap Rp 100.000 per bulan, honor pertunjukan antara Rp 75.000 dan 125.000, tiket kereta api YogyaJakarta (p.p.), hotel, uang makan, dan uang saku selama 16 kali latihan di Jakarta setiap bulannya. "Dengan dukungan dana memadai, pemain bisa konsentrasi berlatih," kata Mochtar bangga. Kini Suka Hardjana, pemimpin Ansamble Jakarta, juga merencanakan bermain tetap di Gedung Kesenian Jakarta, mulai Agustus. Ansamble itu, yang sejak 1986 tak mengadakan pergelaran, akan didukung oleh sejumlah musikus muda dari ISI serta mahasiswa UI dan ITB. "Saya berharap, lewat Ansamble Jakarta, penggemar musik klasik bisa dibangun kembali," ujar lulusan Nordwest Deutsche Musik Akademie Detmold, Jerman Barat, itu. Kini Suka sedang gencar membenahi manajemen Ansamble Jakarta dan mencari sponsor karena dana yang diperlukan minimal Rp 100 juta setahun. Sri Pudyastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini