Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

'Pak Ketipak Ketipung': Musik Etnik Jazz Indonesian National Orchestra di Den Haag

Penampilan Indonesian National Orchestra dengan instrumen Nusantara membuat warga Belanda terpesona.

9 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMBUTAN tepuk tangan penonton di gedung teater Amare, Den Haag, Belanda, Kamis, 23 Mei 2024, terdengar begitu lama bergemuruh ketika Franki Raden bersama Indonesian National Orchestra mengakhiri pentasnya. Tepuk tangan itu mereda ketika Franki Raden dan para pemusiknya memainkan repertoar “Rentak 106”. Musik berakar Melayu itu dimainkan dengan instrumen musik dari berbagai penjuru Nusantara.

Pak ketipak ketipung, suara gendang bertalu-talu....” demikian lirik musik Melayu yang dikomposisi ulang oleh Franki dan diberi judul “Rentak 106” itu. Satya Ciptapenyanyi tamu dalam pertunjukan itumelantunkan lirik tersebut dengan riang diiringi kendang Sunda, tataganing, sarune, didjeridu, kolintang, gitar dan bas elektrik, serta gong dengan berbagai ukuran. Hampir semua penonton ikut bergoyang di tempat duduk, seperti tergelitik untuk menari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah “Rentak 106” dimainkan, tanpa dikomando, penonton serempak berdiri lagi sambil bertepuk tangan. Ini adalah standing ovation, tradisi penonton pertunjukan di Barat, bentuk penghargaan spontan dari penonton selepas menyaksikan pertunjukan yang mereka nilai sangat bagus dan luar biasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski pertunjukan sudah selesai, penonton enggan beranjak. Mereka terus bertepuk tangan. Gemuruhnya baru mereda ketika lampu auditorium menyala. Ratusan penonton itu pun tidak langsung keluar. Mereka berbincang-bincang di lobi gedung, mengomentari pertunjukan yang baru saja mereka saksikan. “Itu tadi adalah musik etnik boogie-woogie,” ujar seorang penonton. “Bukan, itu seperti musik etnik jazz, tapi ini lain. Ada unsur magis. Ini musik spiritual,” ucap penonton lain. 

Penampilan Indonesian National Orchestra di gedung teater Amare, Den Haag, Belanda, 23 Mei 2024. Franki Raden

Selain memukau, pertunjukan Franki bersama Indonesian National Orchestra itu terasa akrab dan edukatif. “Kolintang dari Sulawesi, kendang dan rebab dari tanah Sunda, tataganing dan sarune dari tanah Batak. Sedangkan gong yang saya mainkan ini, yang di atas itu dari Lombok, yang itu dari Bali, dan ini dari Jawa,” tutur Franki kepada penonton sambil menunjuk ke arah alat-alat musik yang dia maksud. Selain memperkenalkan alat-alat musik itu, Franki memperkenalkan para pemain musiknya satu per satu dan menjelaskan bahwa mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Malam itu, Franki Raden memainkan tujuh komposisi musik karyanya: “Blues for You”, “Gayatri”, “Dialogue”, “Rentak 106”, “Homage for my Ancestor”, “Pohaci”, dan “Nusantara Concerto”. “Serangkaian komposisi itu pada mulanya sengaja saya persiapkan untuk festival-festival di panggung terbuka. Itu kenapa ada unsur blues, jazz, dan boogie-woogie. Itu untuk melibatkan penonton,” ujar Franki saat ditanyai tentang berbagai unsur musik yang terdapat dalam komposisinya, Sabtu, 25 Mei 2024. 

“Kami ingin menunjukkan berbagai genre musik bisa dimainkan dengan alat-alat musik yang kita miliki,” dia menambahkan. Selanjutnya, Franki menjelaskan, ia tidak menyelaraskan nada-nada instrumen dari berbagai daerah itu dengan tuning standar Barat. “Itu adalah kesalahan fatal abad ke-18 di dunia musik Barat. Sebelum masa itu, setiap negara memiliki tuning sendiri. Kami tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama,” ucap pria 71 tahun yang menyelesaikan studi etnomusikologi di University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat, pada 2001 ini. 

Saat ditanyai bagaimana kelompok musiknya bermain tanpa partitur ketat, Franki menjelaskan, dalam komposisi musiknya, setiap pemain bebas mengembangkan permainan musik masing-masing dalam kerangka yang telah dia buat. Hal ini juga berlaku bagi Satya Cipta sebagai penyanyi tamu. “Bunyi berbagai alat musik tradisi itu seperti menyatu dengan diri saya. Saya berkomunikasi dengan alat-alat musik itu. Nyanyian itu keluar begitu saja,” kata Satya ketika ditanyai bagaimana ia menyelaraskan suaranya dengan komposisi musik. “Saya diberi kebebasan kapan akan melantunkan suara dan kapan berhenti,” tutur perempuan 38 tahun asal Bali ini.

Alunan suara Satya dalam komposisi musik Franki memberi kesan magis. Satya seperti melantunkan mantra-mantra, membawa penontonnya mengembara menjelajahi alam spiritual. “Sejak masa kanak-kanak, saya sudah belajar menari dan nembang di desa saya di Batuan,” ujar alumnus teater Institut Kesenian Jakarta yang juga menekuni dunia seni rupa ini. 

Musik etnik dikenal sebagai jenis musik yang dimiliki budaya suatu masyarakat dan daerah tertentu. Berbeda dengan genre lain, genre ini berkontribusi pada kehidupan budaya etnis pendukungnya melalui instrumen, ritme, melodi, dan lirik yang dikandungnya. “Sejak 2010, konsep saya dalam bermusik mengalami perubahan. Sebelumnya, saya membuat komposisi musik untuk kepuasan pribadi. Tapi kemudian saya menyadari leluhur kita sebenarnya sudah berbuat banyak dalam memajukan kebudayaan,” kata Franki.

Penampilan Indonesian National Orchestra dalam Garden of Sounds Festival di Katowice, Polandia, 17 Mei 2024. Franki Raden

Amare adalah salah satu gedung pertunjukan terbesar di Belanda. Meski baru tiga tahun berdiri, di tempat itu sudah digelar bermacam-macam pertunjukan dengan melibatkan seniman-seniman internasional. Sejak berdiri, gedung ini sudah mencatatkan kunjungan 300 ribu orang dalam 1.311 kegiatan.

“Sebuah keberuntungan kami bisa bermain di tempat ini. Pada awalnya kami hanya diagendakan bermain di Festival Tong Tong. Tapi event itu batal karena kekurangan biaya. Lalu Indonesian National Orchestra dipindah kemari,” ucap Franki. Standing ovation dari publik Amare bergema untuk Franki. Sebuah bentuk pengakuan spontan dari penonton terhadap kualitas pertunjukan budaya yang dia sajikan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Azuzan adalah pengamat seni pertunjukan. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Tempik Sorak untuk Indonesian National Orchestra".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus