Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Relief-relief karya seniman di era Presiden Sukarno dipamerkan selama hampir sebulan di Salihara.
Relief di berbagai tempat itu merupakan karya para seniman yang tergabung dalam Seniman Indonesia Muda.
Relief-relief ini terancam hilang seiring dengan waktu. Kepedulian untuk menjaga dan menyelamatkannya terus dipertanyakan.
SUKARNO tidak hanya peduli pada ruang publik di bawah langit. Ruang publik di dalam ruang juga ia perhatikan, yakni dengan menghadirkan karya seni rupa. Maka ada patung Dirgantara di tengah persimpangan jalan di depan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara di Pancoran, Jakarta Selatan, yang sekarang telah dipindahkan. Di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, satu figur penuh otot tegak berdiri dengan kaki dan tangan terentang membentuk komposisi silang, meretas rantai yang membelenggu di pergelangan kaki dan tangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dulu ada pula relief di ruang tunggu naratama atau VIP di Bandar Udara Kemayoran, Jakarta Pusat—bandara yang dilikuidasi setelah Bandara Cengkareng (sekarang Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten) siap dibuka. Perihal Bung Karno dan seni rupa publik ini dikemas dalam pameran bertajuk “Relief Era Bung Karno” di Galeri Salihara, Jakarta Selatan, selama 11 Mei-9 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pameran itu, tentu saja relief-relief tersebut—antara lain relief di Bandara Kemayoran yang sudah disebutkan; relief di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta; relief di Royal Ambarukmo Hotel, Yogyakarta; dan relief di Grand Inna Samudra Beach, Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat—hanya ditampilkan fotonya. Ada pula relief masa lampau yang dihadirkan untuk perbandingan, yaitu relief Yeh Pulu di Bali dari abad ke-14 dan relief di Candi Prambanan dari abad ke-9. Tiruan relief di pusat belanja Sarinah, Jakarta, juga ditampilkan dalam skala 1 : 8.
Relief di Sarinah adalah relief yang baru diketahui sekitar tiga tahun lalu di lantai dasar pusat belanja tersebut. Pembangunan Sarinah sendiri adalah gagasan Bung Karno, yang menidirikannya untuk mempromosikan produk-produk Indonesia. Bung Karno juga yang meresmikan pembukaannya pada 15 Agustus 1966. Karena itu, ketika relief ditemukan dan ramai dikabarkan media massa, publik menduga bahwa Bung Karno yang punya gagasan tentang relief itu. Dugaan itu benar. Setidaknya, konfirmasi tentang hal itu dinyatakan Abdul Latief, menteri di tahun-tahun akhir Orde Baru, saat diwawancarai majalah ini. Ia adalah pegawai Sarinah angkatan pertama pada pertengahan 1960-an.
Replika relief Sarinah di pameran "Relief Era Bung Karno" di Galeri Salihara, Jakarta, 4 Juni 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Apa pun ceritanya, kita beruntung relief itu bisa ditemukan dan diselamatkan. Meskipun “ada bagian patung yang patah, gompal, penuh bercak, dan sekujur tubuh berlumur cat putih”,tulis Asikin Hasan dalam catatannya tentang relief ini. Asikin adalah kurator seni rupa anggota tim “penyelamat” relief Sarinah. Menteri Badan Usaha Milik Negara membentuk tim tersebut karena Sarinah merupakan perusahaan BUMN. Tim tersebut terdiri atas orang-orang dengan berbagai profesi, dari sejarawan, pematung, arsitek, fotografer, sampai ahli perangkat lunak yang dilibatkan untuk membuat patung digital.
Di Galeri Salihara, perbedaan perlakuan terhadap satu relief dengan relief yang lain tersaji secara visual, antara relief Sarinah dan relief Kemayoran. Relief Sarinah dibuatkan replikanya dan dikerjakan oleh perupa Nus Salomo. Tersaji dengan rapi, mungkin karena diperkecil, replika ini kurang menampakkan bidang-bidang tatahan yang rata dengan tepi tajam. Hal ini memberikan kesan agak kubistis pada figur-figur lelaki. Baik pada relief asli maupun replikanya, figur-figur petani tidak terasa seperti penggambaran sehari-hari. Relief itu memvisualkan orang yang membawa padi hasil panen serta memikul keranjang tempat membawa hasil bumi dan lain-lain. Ada pula perempuan-perempuan yang membawa tembikar dan dua lelaki yang duduk, entah sedang beristirahat entah menunggui hasil bumi yang dijual. Mereka seperti sedang nampang.
Sedangkan relief Kemayoran ditampilkan dengan foto-foto per bagian yang menampakkan detail bentuk dan ekspresi wajah yang terasa wajar. Suatu gambaran keseharian dalam komposisi jukstaposisi—penjajaran peristiwa-peristiwa tidak berkaitan yang membentuk suatu tuturan. Relief-relief yang ada menggambarkan kesibukan orang-orang (Manusia Indonesia karya S. Sudjojono), hewan dan tetumbuhan Indonesia (Flora dan Fauna karya Harijadi S.), serta figur-figur yang tampaknya berasal dari dongeng (Sangkuriang karya Soerono Hendronoto).
Komposisi tiga relief, sebagaimana umumnya relief yang bercerita, merupakan komposisi yang direncanakan, bukan lahir dari dorongan emosi. Sketsa Sudjojono, misalnya, menunjukkan adanya rencana itu. Bila ternyata antara relief dan sketsa rencananya tidak persis sama, hal ini biasanya terjadi karena bidang serta ruang nyata tempat relief dibuat “menuntut” perubahan sketsa rencana. Nasibnya berbeda dibanding relief Sarinah. Yang terburuk terutama menimpa relief Manusia Indonesia. Sepetak bidang di tengah relief, yang kira-kira sepanjang 30 meter, itu “hilang”.
Tampaknya ini berawal ketika Bandara Kemayoran ditutup pada 1985. Lantaran tidak ada rencana bangunan tiga lantai ini hendak digunakan untuk apa, bekas bandara tersebut pun terbiarkan, tentu saja termasuk tiga relief itu. Tatkala ada pembenahan ruang di bekas bandara ini, rupanya ada kebutuhan menghubungkan dua ruangan yang dipisahkan oleh Manusia Indonesia. Maka dibobollah relief itu di bagian yang dibutuhkan untuk dijadikan jalan penghubung kedua ruangan tersebut.
Apa pun sebabnya, relief telanjur tidak utuh. Dalam hal ini, sketsa rencana bisa membantu seandainya konservasi Manusia Indonesia memang diniatkan. Teknologi sculpting digital konon bisa memulihkan bagian relief yang dibobol berdasarkan sketsa rencana yang ada.
Pengunjung pameran "Relief Era Bung Karno" di Galeri Salihara, Jakarta, 4 Juni 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Namun ini baru satu hal. Pada kenyataannya, bangunan bekas bandara itu sampai tahun ini masih tetap dibiarkan. Akibatnya, tembok belakang relief-relief tersebut dirambati akar beringin, pohon yang tumbuh tak jauh dari ruangan tersebut.
Pameran ini menghidupkan harapan Manusia Indonesia, Flora dan Fauna, serta Sangkuriang bisa diselamatkan. Tiga relief yang dikerjakan oleh Seniman Muda Indonesia pada 1957 ini adalah bagian dari sejarah seni rupa Indonesia. Relief ini sedikit-banyak menghubungkan seni rupa modern kita dengan masa lampau, antara lain relief-relief di Candi Prambanan dan stupa Borobudur.
Selain itu, karya seni rupa di ruang publik bukankah menampilkan hal yang berbeda ketika kita dikelilingi oleh benda-benda fungsional? Karya seni rupa itu setidaknya mengingatkan kita bahwa hidup tidak melulu berkaitan dengan hal-hal fungsional. Kesenian berfungsi karena justru tidak fungsional. Mungkin itulah alasan pameran relief yang dikuratori oleh Asikin Hasan dan asisten kurator Ibrahim Soetomo dari Salihara ini layak dicatat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Bambang Bujono adalah pengamat seni dan wartawan senior. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Menyelamatkan Manusia Indonesia di Kemayoran".