Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

KPK Bukan Dewa

19 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA Presiden Joko Widodo menunda pelantikan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Presiden memang memberhentikan Kepala Polri Jenderal Sutarman, tapi dia tidak langsung mengangkat Budi sebagai pengganti. Penundaan ini adalah kompromi atas keinginan dari dua kubu: para politikus, termasuk Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, yang menginginkan Budi menjadi Kepala Polri; dan para pendukung Jokowi di akar rumput yang tak ingin Budi dilantik karena sudah menjadi tersangka gratifikasi.

Keputusan ini keluar setelah banyak kalangan mempermasalahkan keputusan Jokowi sebelumnya, menjadikan Budi sebagai calon tunggal Kepala Polri. Padahal sudah lama Budi diduga memiliki rekening tidak wajar, berisi Rp 54 miliar. Karena itu, pencalonan Budi oleh Presiden mengundang kritik keras. Presiden dianggap telah menyalahi janji untuk memberantas korupsi. Berbeda saat memilih menteri, dalam menyeleksi Kepala Polri, Presiden tidak meminta pertimbangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Nama Budi Gunawan muncul dari rekomendasi Komisi Kepolisian Nasional—yang memberikan sembilan nama polisi bintang tiga yang dianggap memenuhi syarat menjadi Kepala Polri. Tedjo Edhy Purdijatno, Ketua Komisi Kepolisian Nasional yang juga Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, mengaku, sebelum mengajukan sembilan nama itu, pihaknya telah meminta pendapat dari kepolisian, terutama Badan Reserse Kriminal. "Dari bukti tertulis, mereka bersih. Termasuk Budi Gunawan," katanya.

Berjarak sekitar dua meter dari Qaris Tajudin, Heru Triyono, Tika Pramandari, dan fotografer Frannoto, Tedjo duduk dengan tegap, memakai kemeja batik ungu tua dengan rambut klimis disisir ­belah pinggir. Di kantornya di Jalan Merdeka Barat Nomor 15, Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu, ia mencoba menjelaskan mengapa pemerintah berkukuh menginginkan Budi menjadi Kepala Polri serta kenapa mereka tidak meminta pertimbangan KPK dan PPATK.

Apa pertimbangan Komisi Kepolisian Nasional merekomendasikan pemberhentian Jenderal Sutarman sebelum masa pensiun?

Regenerasi. Sebagai Kepala Staf Angkatan Laut dulu, saya juga diberhentikan saat sisa masa jabatan saya masih satu tahun. Tidak ada masalah. Da'i Bachtiar (Kepala Polri 2001-2005) bahkan sisa jabatannya mencapai tiga tahun. Jangan hanya karena Jenderal Sutarman memiliki sisa waktu jabatan sembilan bulan, lalu dipermasalahkan. Bicara soal TNI dan Polri adalah bicara soal loyalitas.

Omong-omong soal loyalitas, apakah penunjukan Budi Gunawan oleh Presiden juga karena kedekatan dengan Megawati, lantaran Budi pernah menjadi ajudannya?

Itu mungkin salah satunya. Dan memang manusiawi. Misalnya Anda pemimpin perusahaan, lalu ada dua kandidat untuk dipilih sebagai wakil. Kemampuan dua kandidat itu sama, tapi ada satu yang lebih dekat dengan Anda. Tentunya kita memilih orang yang dekat itu karena merasa lebih kenal. Orang yang baru dikenal itu kan belum tentu kita tahu karakternya.

Apa pertimbangan Komisi Kepolisian memilih sembilan orang sebagai pengganti Sutarman?

Yang pasti kami memberikan data orang-orang yang memenuhi syarat—setelah ditelusuri rekam jejaknya. Setelah ditelusuri melalui Badan Reserse Kriminal dan jajaran polisi lainnya, dinyatakan riwayat calon-calon ini dalam batas kewajaran.

Anda tahu alasan Presiden Joko Widodo memilih satu nama saja?

Tidak. Yang penting kami sudah menawarkan sembilan calon. Silakan pilih. Itu hak Presiden memilih berapa. Jika melihat jawaban saat uji kepatutan di Dewan Perwakilan Rakyat, Budi Gunawan cukup baik dan pantas jadi Kepala Polri.

Apakah ada penolakan dari para anggota Komisi Kepolisian kepada salah satu calon yang bermasalah?

Tidak. Kami selalu berdiskusi, mempertimbangkan dan pilah-pilah. Kemudian ketemu sembilan nama itu. Sudah kami check dan recheck juga. Yang punya informasi lebih diinformasikan dan dibahas. Yang pasti tidak menyimpang dari kewenangan Komisi Kepolisian.

Tidak ada tekanan harus memilih salah satu calon?

Tidak. Bahkan Budi berada di urutan ketujuh dari sembilan nama itu. Kami mengurutnya sesuai dengan angkatan dan usia. Jadi, misalnya, Suhardi Alius (Kepala Badan Reserse Kriminal) berada di urutan terakhir karena paling muda.

Ada kabar Surya Paloh menjagokan ­Badrodin Haiti (Wakil Kepala Kepolisian yang kini menjadi Pelaksana Tugas Kepala Kepolisian).

Pernah menonton tinju? Tidak terlalu kenal kan dengan petinjunya? Tapi kadang dalam hati ingin membela salah satunya. Sepak bola begitu juga. Misalnya Persib melawan Persebaya, pasti saya jagokan Persebaya karena saya pernah lama tinggal di Surabaya. Normal menjagokan sesuatu yang kita kenal.

Dari sembilan nama itu, memangnya Anda menjagokan yang mana?

Tidak ada. Biarpun saya menjagokan salah satu, bukan hak saya juga untuk memilih.

Sebenarnya sejauh apa Anda tahu tentang rekening gendut milik Budi Gunawan?

Kepolisian menyatakan rekeningnya wajar. Kami harus percaya itu. Kalau tidak kita percaya, lembaga mana lagi yang dipercaya? Lembaga apa yang kredibel, yang berhak menilai?

Mengapa Komisi Kepolisian tidak melibatkan KPK dan PPATK untuk menelusuri riwayat calon-calon Kepala Kepolisian?

Tidak ada hak Kompolnas masuk ke sana.

Untuk sekadar meminta saran kan boleh?

Kompolnas tidak berada di jalur ke sana. Presiden pun tidak wajib melibatkan mereka (PPATK dan KPK).

Betul, tak ada kewajiban itu. Tapi, bukankah dari rekomendasi dua lembaga tersebut, Kompolnas memiliki masukan yang berbeda?

Selama kami tidak melihat adanya kejanggalan, ya, sudah. Kami memiliki bukti tertulis dari kepolisian bahwa calon-calon itu bersih. Ini lembaga kredibel.

Selama ini KPK dinilai lembaga yang kredibel menangani kasus korupsi. Karena itu, ketika memilih menteri, Presiden bertanya kepada KPK.

Memang iya. Tapi apakah polisi menggeledah KPK jika ditemukan ada kasus di sana? Tidak juga, kan? Sebaliknya, kalau polisi yang terkena kasus, KPK bisa masuk secara bebas.

Tapi, dibanding "jeruk makan jeruk" (polisi memeriksa polisi), bukankah pengecekan calon Kepala Polri sebaiknya dilakukan lembaga di luar kepolisian, seperti KPK?

Tidak bisa begitu. KPK itu lembaga ad hoc (tidak permanen). Kalau polisi dan jaksa sudah baik, KPK semestinya bubar. Jangan terus merendahkan polisi dan kejaksaan sehingga KPK akan terus-menerus ada. KPK seharusnya bersama polisi bersinergi, bukan saling menyerang.

Dari hasil temuan PPATK pada 2008, Budi tercatat bersama anaknya pernah membuka rekening serta menyetor uang Rp 29 miliar dan Rp 25 miliar. Ini kan transaksi tidak wajar?

Dari mana saya tahu itu?

Anda tidak berusaha mencari tahu ke PPATK?

Buat apa? Saya katakan tadi, saya sudah pegang bukti tertulis dari kepolisian dan Badan Reserse Kriminal bahwa Budi dinyatakan bersih. Sebagai Ketua Kompolnas, saya katakan lagi, tidak punya jalur ke PPATK dan KPK. Kalau saya menanyakan ke mereka, nanti Presiden bisa tersinggung. Kalau kita tidak percaya polisi, bubarkan saja polisi. Kalau begitu caranya, rusaklah negara ini.

Kompolnas pernah membahas tentang rekening tidak wajar milik Budi dengan Presiden?

Kami sudah membahasnya, dan dinyatakan wajar oleh Badan Reserse Kriminal. Masak, saya harus mengecek rekening Budi Gunawan ke bank? Ya, tidaklah.

Anda tidak harus memeriksa sendiri ke bank karena negara kan memiliki PPATK, yang bisa diminta memeriksa rekening Budi?

Nah, itu. PPATK dan KPK punya kewajiban juga melapor ke Presiden. Jangan diam-diam saja kalau punya data. Ini menjebak namanya. Sebagai warga negara yang baik, ya, laporkan kepada Presiden. Inisiatif. Jangan Presiden dipermalukan. Ini tidak benar.

PPATK dan KPK belum melapor ke Presiden sebelum nama Budi diumumkan?

Nyatanya begitu. Saya yakin, jika temuan mereka dilaporkan, Presiden akan mendengar dan memikirkannya. Tapi, dari pengakuan Budi sendiri, ia mengatakan tidak pernah dipanggil KPK. Juga tidak ada saksi yang mendukung temuan KPK. Kalau kasusnya gratifikasi, buka saja, dia menerima dari siapa, siapa itu yang memberi. Tidak mungkin uang datang sendiri. Opini KPK serba benar sudah terbentuk. Padahal lihat saja kasus Bibit dan Chandra, mereka manusia juga (Komisioner KPK Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto dituduh menerima suap pada 2008, dan kemudian tidak terbukti).

Kejaksaan Agung sudah memberhentikan kasus Bibit dan Chandra pada 2009.

Sama. Budi Gunawan juga dinyatakan clear dan tidak terbukti memiliki rekening tidak wajar merujuk pada bukti tertulis Badan Reserse.

Tidak sama, kan kasus Bibit-Chandra direkayasa. Selain itu, yang menanganinya kan bukan KPK sendiri. Sedangkan dugaan rekening gendut polisi ini yang memeriksa polisi sendiri.

Begini, sudah saya bilang, masak kita tidak percaya polisi? Apakah KPK selalu benar? Belum tentu benar.

Tapi KPK juga belum tentu salah.

Saya tidak mengatakan KPK salah. Kapan saya menyatakan itu? Etika mereka dalam mengadili sesuatu itu yang saya pertanyakan. Suryadharma Ali, yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi, lolos-lolos saja dilantik jadi anggota Dewan. Kemudian Boediono (Wakil Presiden Indonesia ke-11), yang katanya terkait dengan kasus Bank Century, tetap saja dilantik jadi wakil presiden. Tidak ada yang ribut juga. KPK harus menegakkan asas keadilan. Ini aneh. Kenapa status tersangka ditetapkan pada saat dia (Budi) dicalonkan menjadi Kepala Polri? Padahal sudah lama kejadiannya, ketika dia bintang satu, pada 2004.

Penetapan status tersangka yang turun belakangan itu merepotkan?

Kami ini dilema. DPR sudah menyatakan secara politis dia layak jadi Kepala Polri, tapi pihak lain mempermasalahkan secara hukum. Pemerintah menghargai proses politik. Kalau di DPR sudah lolos, kalau tidak dilantik, Presiden bisa tidak dipercaya.

Jadi, menurut Anda, KPK tidak beretika dalam menetapkan Budi sebagai tersangka?

Apakah bisa polisi diam-diam ambil alih kasus Suryadharma Ali atau Jero Wacik dari KPK? Boleh begitu? Makanya saling menghargai, dong. KPK itu bukan lembaga yang tidak tersentuh. Seperti dewa saja. Berikan informasi yang benar. Jangan tertutup. Kita tidak tahu juga apa kerjaan mereka (pimpinan KPK) dulu-dulunya. Apakah dulu mereka tidak pernah membuat kesalahan? Nanti takutnya orang akan cari-cari kesalahan mereka. KPK bukan dewa.

Seandainya Budi Gunawan bersih, apa perlu dia dicalonkan? Apa prestasi dia yang membuat Budi layak jadi Kepala Polri?

Sekarang kita lihat, dari beberapa kali uji kepatutan, dia (Budi) bagus. Pemikirannya visioner. Sewaktu di Lembaga Ketahanan Nasional, saya tahu dia yang terbaik.

Tapi apa prestasinya?

Ya, tidak bisa begitu juga. Saya beri tahu ya, di kesatuan TNI dan Kepolisian RI, kemampuan anggota setiap angkatan itu plus-minus. Kalau membandingkan pejabat di lembaga pendidikan dan yang di reserse kriminal, ya pasti seolah-olah di reserse tampak lebih baik. Padahal di pendidikan juga ada prestasinya, tapi tidak pernah dipublikasikan dan tidak kelihatan.

Menurut Anda, penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK itu politis?

Saya tidak bilang itu politis. Kalau ada kasus terkait dengan Budi Gunawan, semestinya KPK memberi masukan lebih dulu kepada Presiden. Jangan tunggu diminta. Katakan saja kepada Presiden kalau memang berniat baik. Kami sendiri tetap menggunakan asas praduga tak bersalah terhadap Budi. Selama belum ada bukti, belum bisa dikatakan bersalah. Yang mengatakan bersalah itu pengadilan. Kami tidak pernah mendapat laporan dari KPK. Selama ini sifatnya hanya dengar-dengar dan katanya-katanya saja. Jangan sampai karena ini kredibilitas Presiden turun.

Kalau Presiden mengangkat orang yang bermasalah, apa itu bukan menjatuhkan kredibilitasnya sendiri?

Begini. Keinginan beliau meminta KPK dan PPATK menyeleksi menteri waktu itu adalah iktikad baik. Apakah pernah dilakukan presiden sebelumnya? Belum pernah. Dulu main angkat saja, kan? Tapi melibatkan KPK dan PPATK dalam pengangkatan pejabat jangan dijadikan keharusan. Kalau Anda berbaik hati menyemirkan sepatu teman, misalnya, lalu Anda semir lagi besoknya. Kalau di hari lain dia keenakan dan mewajibkan Anda menyemirkan sepatunya, ini kan jadi janggal.

Apa benar terjadi persaingan alias "perang bintang" di lingkup internal polisi untuk menjadi Kepala Polri?

Ha-ha-ha.... Orang boleh berasumsi macam-macam. Itu hak. Tapi saya tidak tahu kebenarannya. Jangan berasumsi. Tidak ada bukti persaingan itu. l

Tedjo Edhy Purdijatno
Tempat dan tanggal lahir: Magelang, Jawa Tengah, 20 September 1952 Pendidikan: Pendidikan Kursus Reguler Angkatan 34 Lembaga Pertahanan Nasional (2001), Pendidikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Angkatan 25 (1998), Sekolah Penerbang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (1978), Kursus Perwira Remaja (1976), Akademi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut ( 1975) Karier: Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (2014), Kepala Staf TNI Angkatan Laut (2008-2009), Kepala Staf Umum TNI (2007), Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI (2007), Direktorat Jenderal Perencanaan Pertahanan Departemen Pertahanan (2007), Panglima Armada ABRI Kawasan Barat (2005-2006), Asisten Perencanaan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (2005), Staf Ahli Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Bidang Manajemen Nasional (2005), Wakil Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (2004), Staf Ahli Panglima TNI Bidang Hubungan Internasional (2004), Kepala Staf Komando Armada RI Kawasan Timur (2003), Komandan Gugus Keamanan Laut TNI Angkatan Laut Wilayah Barat (2002), Staf Ahli Bidang Wilayah Nasional (2001), Asisten Perencanaan dan Anggaran Komando Armada RI Kawasan Timur (2000), Komandan Satuan Kapal Amfibi Komando Armada RI Kawasan Timur (1998)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus