Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Siapa Becus Mengurus TIM?

Pengelolaan Taman Ismail Marzuki oleh Pusat Kesenian Jakarta diambil alih Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Seniman terbelah, antara menyetujui dan melawan.

19 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petisi Cikini 2015 itu dibacakan di plaza depan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM), Selasa malam pekan lalu, oleh empat seniman muda: Bambang Prihadi, Abdullah Wong, Amien Kamil, dan Aidil Usman. Puluhan seniman yang sudah lima hari melakukan orasi di situ mendengarkan khidmat.

"Kami menolak dengan tegas pengaturan baru yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Ibu Kota Jakarta yang menempatkan PKJ TIM di bawah satu unit pelaksana teknis." Mereka khawatir, birokrasi yang masuk TIM akan menghambat kebebasan berkreasi para seniman.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, yang datang kemudian, didaulat naik panggung. Djarot meyakinkan Radhar Panca Dahana, penggerak orasi, dan para seniman lain bahwa perubahan di TIM tidak akan mengerdilkan seniman. Seterusnya, Djarot berdiskusi di Galeri Cipta II. Di sana, ia menyebutkan pembentukan Unit Pengelola Teknis (UPT) dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan sangat diperlukan lantaran berkaitan dengan persoalan pendanaan.

Menurut Djarot, PKJ TIM selama ini mendapat dana dari pemerintah DKI Jakarta dalam bentuk hibah. Berdasarkan peraturan, hibah tak bisa diberikan selamanya. "Kalau dikelola oleh UPT, anggaran untuk TIM akan sah. Kalau hibah, kan, enggak bisa dipertanggungjawabkan secara rigid," ujarnya.

Sejak akhir tahun lalu, suhu di Taman Ismail Marzuki meninggi lantaran muncul Peraturan Gubernur Nomor 109 Tahun 2014 tentang pembentukan UPT. Badan ini dibentuk untuk menggantikan Badan Pengelola PKJ TIM, yang telah difungsikan sejak awal berdirinya TIM pada 1968 untuk mengurus infrastruktur TIM. Kritikus seni Bambang Bujono menyebutkan awal munculnya peraturan gubernur itu adalah pertanyaan Badan Pemeriksa Keuangan atas dana hibah yang dikeluarkan pemerintah DKI Jakarta kepada Institut Kesenian Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, dan Pusat Kesenian Jakarta. "Hibah tak boleh diberikan secara terus-menerus," ujarnya.

Akhir Desember tahun lalu, diadakan pertemuan antara seniman dan pemerintah DKI, yang diwakili Sylviana Murni, Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Pariwisata dan Budaya. Hasil dari pertemuan itu adalah masukan tertulis dari seniman tentang UPT, juga janji akan ada dialog lanjutan yang membahas masalah ini. Tiba-tiba, pada 2 Januari lalu, Isti Hendrati dilantik sebagai Kepala UPT. Kalangan seniman, terutama yang sering nongkrong di TIM, merasa "dilecehkan".

"Ali Sadikin dulu memberi kepercayaan terhadap seniman untuk mengurus diri sendiri. Penghormatan terhadap seniman ini yang penting. Kami otonom. Kami dianggap mitra Gubernur. Sekarang kepercayaan itu dihilangkan," kata penyair Leon Agusta.

Isti Hendrati menyebutkan tidak akan terpengaruh oleh kekisruhan ini. "Saya akan tetap menjalankan tugas yang diamanatkan Pergub 109," ujarnya. Sebelum menjabat Kepala UPT, ia adalah Kepala Unit Pengelola Graha Wisata, hotel bersubsidi milik pemda di Taman Mini dan Ragunan. Ini yang membuat beberapa kalangan seniman ragu apakah ia memiliki kapasitas memahami dunia kesenian. "Saya sementara ini masih berkantor di Dinas, mematangkan program dan anggaran ke depannya," ujar Isti. Ia menyebutkan, di bulan-bulan awal, masih akan dibantu Bambang Subekti, yang sebelumnya menjabat Kepala Badan Pengelola PKJ TIM. "Program yang harus dilakukan paling awal adalah penguatan internal di masa transisi," katanya.

Bambang Subekti menyebutkan selama ini sangat sulit mengelola TIM. Salah satu kesulitan adalah pemda mensyaratkan retribusi yang tinggi pada seniman yang hendak tampil di TIM. Untuk menyewa Graha Bhakti Budaya dan Teater Kecil, pemda meminta sekitar Rp 10 juta. "Untuk Teater Jakarta mencapai Rp 60 juta di hari biasa, dan di akhir minggu Rp 70 juta," ujarnya. Ini masih ditambah dengan sewa gedung dan kru panggung sekitar Rp 20 juta. Wakil Gubernur Djarot sendiri membantah anggapan bahwa pemda hanya menjadikan TIM sebagai ladang pengeruk duit dari retribusi ini. "Salah besar kalau DKI orientasinya duit, karena DKI ini sudah cukup kaya," katanya. "Kalau misalnya ada pertunjukan yang betul-betul bagus dan harus digratiskan, kenapa tidak?"

Bambang Subekti menyebutkan, dalam dua tahun terakhir, hibah yang diterima PKJ TIM hanya Rp 5 miliar. "Ini baru menutupi sekitar 30 persen kebutuhan. Sisanya kami cari sendiri, seperti dari penyewaan gedung dan pemanfaatan infrastruktur lain di TIM," ujarnya. Menurut Bambang, saat ini pegawai yang bekerja di Badan Pengelola PKJ TIM berjumlah 96 orang dan semuanya berstatus nonpegawai negeri. Latar belakang pendidikannya, kata Bambang, dari tingkat sekolah menengah atas hingga sarjana. "Setelah berbentuk UPT, tidak semua bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil," katanya. Bambang mengatakan UPT harus menyadari kesukaran-kesukaran pengelolaan ini.

Untuk segala kesulitan itu, penari Nungki Kusumastuti menyatakan dukungan terhadap langkah pemda. "Saya percaya pemerintah enggak punya maksud apa-apa, seperti menekan seniman," ujarnya. Ia melihat kedudukan PKJ TIM memang perlu dikaji ulang. "Yang diperlukan sekarang adalah dialog yang lebih mendalam tentang detail-detail peraturan gubernur ini, untuk mempertemukan dua persepsi yang berbeda."

Adapun koreografer Sardono W. Kusumo berpendapat, "Idealnya, UPT adalah pemelihara infrastruktur saja, sebagai pengendali agar aset pemda tak jatuh ke tangan swasta." Ia menyebutkan selayaknya ada tiga badan yang berkoordinasi mengelola TIM. Selain UPT yang memelihara infrastruktur, ia mengatakan, seharusnya ada dewan kurator yang mengurus program kesenian TIM dan badan manajerial yang mengelola operasionalisasi TIM.

Khusus untuk badan manajerial yang mengelola TIM, ia menyebutkan, di zaman Ali Sadikin, pengelola PKJ TIM memiliki visi manajerial yang tangguh. Sardono melihat saat itu mereka sukses memperkenalkan kesenian kepada masyarakat. "Pada awalnya kepala PKJ adalah manajer-manajer profesional," katanya.

Bambang Bujono juga ingat bagaimana pada 1970-an TIM mampu menjadi pusat kesenian yang menjadi rujukan masyarakat seni. Baik pameran seni rupa maupun pentas tari atau teater terbaik di Indonesia selalu ingin tampil di TIM. "Saya ingat general manager-nya bernama Surihandono. Selain mengelola dana dari hibah, dia mencari uang untuk melaksanakan program Dewan." Bambang Bujono berpendapat harus ada reformasi menyeluruh di TIM. "Dibanding dulu, pameran seni rupa yang ditampilkan di TIM, misalnya, sekarang sangat melorot. TIM kurang menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman."

Di tengah silang pendapat ini, Isti Hendrati, Kepala UPT, tetap siap akan memasuki TIM. "Minggu-minggu ini saya masih bolak-balik TIM-Dinas. Tapi, untuk fix-nya, saya mulai ngantor di sana pada minggu depan," ujarnya.

Abdullah Wong, seniman yang ikut menggagas aksi, menyebutkan akan mengamati operasionalisasi UPT. "Pendirian UPT memberikan posisi yang aman pada pemda. Harus dilihat apakah nantinya akan memberikan kemudahan bagi seniman," ujarnya. Bila UPT dirasa merugikan seniman, ia menyebutkan mereka akan kembali mengadakan aksi.

Ratnaning Asih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus