Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGAPA The Jakarta Post bisa memberitakan hal-hal yang mengkritik pemerintah dan tidak diapa-apakan di masa Indonesia tanpa kebebasan pers? Itu karena surat kabar tersebut berbahasa Inggris, sehingga Departemen Penerangan tidak memahami beritanya.
Lelucon yang beredar di kalangan wartawan pada 1980-an itu muncul kembali di kepala saya ketika melayat Susanto Pudjomartono, Redaktur Pelaksana Tempo sebelum pindah menjadi Pemimpin Redaksi Jakarta Post selama 1991-2001, pekan lalu. Susanto lahir di Bojonegoro pada 18 Mei 1943 dan wafat di Bogor pada 14 Januari 2015.
Di Tempo, Susanto adalah salah satu wartawan yang tak hanya bisa menulis sesuai dengan kaidah jurnalistik yang khas Tempo, tapi juga secara tak langsung ikut "menyelamatkan" majalah yang sedang Anda baca ini. Tempo berupaya keras menerapkan prinsip jurnalistik yang lazim dan menyajikan berbagai pandangan secara seimbang.
Namun Tempo lebih daripada itu. Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi pada masa itu, selalu mengatakan bahwa seimbang tidak cukup di negara yang keadilannya dipertanyakan, yang hukumnya tak berlaku untuk semua. Singkat kata, Tempo yang saya rasakan adalah membela mereka yang diperlakukan sewenang-wenang, dan itu berarti tulisannya sering kali tidak "mengenakkan" pemerintah. Masalahnya kemudian, bagaimana hal itu tak sampai mengakibatkan majalah dibredel.
Dalam hal inilah Susanto ikut berperan. Sebagai redaktur dan kemudian redaktur pelaksana rubrik nasional, rubrik yang hampir selalu menyajikan peristiwa politik, ia memiliki lobi dengan—yang terpenting—dua pejabat yang dekat dengan Presiden Soeharto, yakni Benny Moerdani, Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 1980-an, dan Moerdiono, Menteri Sekretaris Negara sejak 1988 sampai menjelang Soeharto mengundurkan diri.
Dengan lobi itulah Tempo bisa tidak hanya menyajikan peristiwa versi pemerintah. Dalam peristiwa pembantaian di Tanjung Priok pada 1984, misalnya, Susanto bisa menuliskan juga cerita saksi mata dan menyatakan jumlah korban yang lebih banyak daripada pernyataan pemerintah.
Meski kemudian Tempo dipanggil oleh Kepala Pusat Penerangan ABRI, Wakil Pemimpin Redaksi Fikri Jufri berhasil "melunakkan" pemanggilnya dengan cara "menyalahkan", misalnya, penulis artikel. Saya kira itu bisa terjadi karena sudah ada lobi. Dalam buku tentang Tempo, Wars Within karya Janet Steele, Susanto mengatakan ia berani menulis berita dengan versi yang berbeda dari pemerintah karena ada jaminan dari Benny bahwa Tempo bisa menulis menurut laporan wartawan Tempo sendiri.
Empat tahun kemudian, Susanto sendiri yang dipanggil oleh Kepala Pusat Penerangan ABRI sehubungan dengan laporan Tempo tentang Timor Timur. Dalam laporan itu, ada kutipan dari Gubernur Timor Timur yang mengatakan bahwa rakyatnya tidak bahagia (di bawah pemerintahan Indonesia). Tentu saja pemerintah (militer) Indonesia marah, tapi tak bisa bertindak apa pun terhadap Tempo karena kata-kata itu ucapan gubernur, bukan opini Tempo. Susanto bisa mewawancarai gubernur tersebut karena lobi dengan seorang pejabat intelijen ABRI.
Barangkali kiat seperti itulah yang diterapkan oleh Susanto sebagai Pemimpin Redaksi The Jakarta Post. Menurut Raymond Toruan, Pemimpin Umum Jakarta Post kala itu, pada 1990-an koran ini mengubah kebijakan pemberitaannya agar tak hanya dibaca oleh orang asing, tapi juga oleh orang Indonesia. Karena itu, lebih daripada sebelumnya, koran tersebut menyajikan berita-berita nasional yang tidak ditulis oleh media berbahasa Indonesia karena ingin "menyuarakan akal sehat". Hasilnya, pembaca Indonesia koran itu lebih banyak daripada orang asing.
Sukses lobi Susanto mungkin berkat bacaannya yang luas. Lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 1966 itu masuk Tempo pada 1977 setelah menjadi koresponden koran Jepang, Yomiuri Shimbun. Dia bisa diajak berbicara segala hal: dari cerita silat sampai renovasi Borobudur, dari novel Shogun sampai operasi Iran Contra, dari kebiasaan Bung Karno sampai anekdot-anekdot Gus Dur.
Megawati Soekarnoputri, Presiden RI pada 2001-2004, yang dikenal Susanto sejak ia menjadi wartawan Istana untuk Yomiuri Shimbun, mengusulkannya menjadi duta besar di Australia, tapi Dewan Perwakilan Rakyat menggesernya ke Rusia. Setelah lima tahun di Moskow (2003-2008), Susanto kembali menulis hingga fisiknya tak memungkinkannya. Salah satu tulisan terakhirnya adalah tentang patriotisme dan Pancasila yang dimuat di Kompas pada Maret tahun lalu.
Bambang Bujono, mantan wartawan tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo