CAKAR-CAKAR IRVING
Penulis: Art Buchwald
Penerjemah: H. Mahbub Djunaidi
Penerbit: Iqra, Bandung, September 1982, 102 halaman
DALAM Cakar-Cakar Irving, Irving tidak mencakar-cakar.
Setidaknya, tidak secara langsung dan harfiah. Tapi dengan
cakar-cakarnya sebagai biang kerok, Irving memang sempat
mencabik-cabik. Yang dibikinnya compang-camping bukan bantalan
kursi atau serat karpet seperti laiknya kucing-kucing normal.
Melainkan tak lain dari masyarakat borjuasi pasca-industri
negara yang power-nya super itu sendiri, ialah Amerika Serikat.
Bayangkan, bangsa yang mengaku paling maju di dunia ini, sempat
dibuat kalang kabut gara-gara cakar-cakar seekor kucing. Bukan
karena Irving suka menggarut-garut, tetapi sebab cakar-cakarnya
itu digunakannya untuk menyuap makanannya langsung ke mulut.
"Tak secuil pun makanan yang runtuh ke ubin," tutur yang empunya
cerita terkagum-kagum.
Irving memang kucing ajaib, seajaib benak mencong sang
penciptanya, Art Buchwald, jenakawan mahaproduktif ari Amerika.
Pangkal riwayatnya ialah ketika Edgar Allen McGruder, 29 tahun,
kepala bagian iklan perusahaan makanan kucing Pussyfoot mulai
pasang adpertensi cari kucing yang aktingnya baik buat tampil
di- siaran komersial tv.
Respons terhadap iklan lowongan kerja itu tentu saja bak antrean
pemuda Indonesia di halaman kantor penerimaan tenaga kerja.
Pilihan akhirnya jatuh ke si Irving, kucing kesayangan Nona
Nenek Lila Summersby yang datang membawa Irving ke sana hanya
sebagai mampir-lewat, karena mengira ada semacam pameran kucing
di situ.
Irving langsung terpilih, ketika tampak ia menyendok dengan
cakarnya makanan kucing dari kaleng dan langsung menyuapkannya
ke mulut. Ini memang tak masuk akal, fantastis, dan ya Rabbi,
seperti seru McGruder.
Ringkas cerita, lewat penampilan tvnya yang direkam saban Rabu,
dengan honorarium awal 50 dollar seminggu plus "semua makanan
kaleng", Irving belhasil membuat dirinya hewan piaraan paling
ngetop di seantero Amerika, seekor kucing di kucing di antara
semua kucing. Dan berhasil perusahaan Pussyfoot melesat ke
langit, dengan penjualan dua kali lipat perusahaan Brand X. Dah
melipatnaikkan honor McGruder.
Tapi suatu hari terjadilah bencana. justru pada saat akan
diambil rekaman acara 'Mangkuk Besar' yang akan dipirsa oleh tak
kurang dari 90 juta penonton tv. Irving hilang. Bersamaan dengan
diangkutnya Nona Summersby ke rumah sakit akibat serangan
jantung. Diasumsikan Irving diculik orang. Dunia gempar.
Detektif termasyhur dari Prancis, Inspektur Alain Pierre
Bernheim, disewa. Walter Croukite dan Eric Sevareid unjuk
komentar. Russel Baker dari New York Tmes mengendus-endus
berita sensasional ini. (Ini humor konyol dari Buchwald--Russel
Baker adalah nama seorang kolumnis-humoris betulan yang dikenal
sebagai saingan sekaligus sahabat Buchwald yang sama-sama
tenarnya di sana).
Uang tebusan dituntut. Pencarian diintensifkan. Siasat dipasang,
siasat ditukar. Lika, lewat liku, kembali ke lika, dan ke liku
lagi, Irving akhirnya ketemu. Beres? Belum. Ini baru Happy End,
Part 1.
Irving ternyata betina, dan sedang hamil pada waktu diketemukan.
Dan celakanya, pas pada saat pengambilan acara mahapenting itu
ada telepon dari dokter yang merawat Nona Summersby, bahwa nenek
ini tidak punya kans menyambung nyawanya lebih panjang kalau ia
tidak seketika itu juga bertemu Irving. McGruder ambil keputusan
sangat tegas. Ia, bersama Maria Drake, sekretaris sambil
kekasihnya, membopong Irving minggat dari situ, mendatangi Nona
Summersby di rumah sakit untuk menyelamatkannya.
Untuk itu McGruder dipecat, tapi lantas Happy End yang final.
Nona Summersby sembuh, McGruder kawin dengan Maria Drake, mereka
berbulan madu ke Hawaii. Dan Irving (beserta McGruder) yang kini
sudah punya "lima anak lucu-lucu dan kesemuanya makan makanan
kucing dengan cakar", dimohon kembali ke Pussyfoot dengan gaji
1.500 dollar seminggu.
Buchwald memang sangat terkenal gemar membikin bulan-bulanan
segala apa yang terjadi dalam masyarakat. Satirenya sangat kena
namun entah bagaimana tidak terasa terlalu pedas atau sengit.
Tidak pahit. Barangkali agak lain dengan Will Rogers, apalagi
Lenny Bruce, keduanya juga kritisi sosial yang menggunakan humor
sebagai wahananya. Agak lain dari tulisan Buchwald yang biasanya
singkat-singkat, dan mengomenuri suatu peristiwa aktual di
dunia, Irving merupakan tulisan panjang, dan lebih menyindir
fenomena umum masyarakat komunikasi massal Barat ketimbang satu
kejadian yang kongkrit. Tapi warna tulisannya masih tetap terasa
sama--bahkan pun dalam teremahan .
DAN perihal terjemahannya kebahasa Indonesia di sini perlu
kiranya diberi juga komcntar, bahkan pujian. Tulisan bahasa
Indonesia yang berasal dari Inggris di sini sama sckali tidak
terasa kagok-kagoknya, seperti yang biasanya terjumpa pada
terjemahan bukubuku serius lain. Padahal, orang yang sudah
mengalaminya tentu tidak bisa menghindari pendapat bahwa
menerjemahkan humor sering lebih alot dari menerjemahkan tulisan
yang "lempeng". Hampir sama dengan terjemahan fiksi dan puisi
yang membutuhkan poetic license, menerjemahkan humor juga
membutuhkan semacam comedic license.
Mahbub Djunaidi trampil sekali menggunakan itu. "Sampeyan",
"gombal", "sontoloyo" dan semacamnya, merupakan bukti. Sayang
saya tidak berkesempatan membaca buku aslinya, Irving's Delight
(terjemahan judulnya saja sudah cukup kreatif dan luwes). Sebab
saya sebenarnya ingin tahu bagaimana bahasa Inggrisnya
ungkapan-ungkapan seperti "Sompret betul! Samber geledek ! Biar
jongkok tak bangun-bangun lagi perusahaan itu!" Atau, "Tujuh
turunan martabatnya merosot menjadi cacing. " Sesudah dengan
beberapa nomor dini dari komik Tintin, jarang saya bisa
menikmati terjemahan yang begitu kreatif dari kosa-kata umpatan
asing.
Arwab Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini