Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kunjungan pejabat, beban puri dan rakyat

Penulis : ide anak agung gde agung jakarta: yayasan obor indonesia, 1993 resensi oleh : onghokham.

21 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI adalah buku kenang-kenangan, bukan sejarah. Namun, ia bisa menjadi sumber sejarah. Setiap orang yang mengenal keluarga raja Gianyar, dengan keramahtamahan dan kecermatannya, apalagi dengan kemegahannya ketika melakukan upacara ngaben atau perkawinan, kiranya akan tertarik pada buku ini. Setiap pembaca yang mengenal Bali tentu ingin tahu apa mungkin buku kenangan Anak Agung Gde Agung dari Gianyar ini memberikan wawasan tentang daerah itu pada kita dan perkembangannya dalam abad XX ini. Sejarah kolonialisme Belanda di berbagai bagian Indonesia masih bersifat kontemporer atau masih dialami oleh beberapa orang yang kini masih hidup -- terutama di Indonesia Timur, termasuk di Gianyar, Bali. Di Jawa, kolonialisme Belanda dimitoskan selama 350 tahun lamanya. Padahal, penjajahan itu sebenarnya baru mulai 1830. Dan di Bali, menurut saya, kolonialisme itu baru mulai pada akhir abad ke-19 atau dasawarsa pertama abad ke-20. Kolonialisme, atau bisa juga dikatakan sebagai pendudukan Belanda di Bali, hanya berlangsung dari sekitar 1900 sampai 1942 alias hanya 42 tahun. Kolonialisme Belanda di Kepulauan Indonesia bukan saja memiliki kronologi, tapi juga bentuk yang berbeda-beda. Ada pola eksploitasi sepenuhnya seperti di Jawa. Ada yang eksploitasinya diserahkan pada swasta, misalnya di Sumatera Utara. Dan ada daerah yang diduduki secara militer seperti Aceh atau diserahkan pada kaum misionaris (Katolik) atau zending (Protestan) di Irian Jaya dan sebagian besar Indonesia Timur. Tentu di sana ada satu dua pejabat Belanda yang mengawasinya. Bentuk penjajahan di Bali, setelah pulau itu diduduki, dibawahkan oleh KPM (semacam Pelninya Hindia Belanda). Turis dan seniman asing berdatangan dan menetap di sana. Bali terbuka bagi dunia luar. Begitu pula masyarakatnya. Mereka mulai membuka diri. Salah satu daya tarik Bali adalah Gianyar. Ketika itu, tahun 1900, kata Anak Agung, yang menulis memoar ini, Gianyar sedang terancam oleh raja-raja Bali yang lebih kuat seperti Klungkung dan Badung. Tapi, entah sampai di mana hal itu kemudian mempengaruhi Gianyar menjadi pusat kesenian dan kebudayaan. Purinya termasuk salah satu yang terkaya di Bali. Gianyar sendiri dalam sejarah Bali sampai 1900 sebenarnya tidak merupakan faktor politik yang penting atau memiliki sejarah yang terlalu hebat seperti Karangasem, Klungkung, dan lain-lain. Baru pada zaman kolonial Gianyar muncul. Ini juga terlihat dari pendidikan putra-putri Ngurah Agung (1913-1943), pengganti Dewa Manggis VIII yang mengundang Belanda ke Gianyar. Anak Agung, penulis buku memoar ini dan adiknya, A.A. Muter, dikirim ke sekolah Belanda di Jawa. Tradisi pendidikan modern tentu diteruskan dalam keluarga raja Gianyar sampai masa kini. Sebagai reformis, dalam skala Gianyar, Ngurah Agung, sang ayah, dapat disamakan dengan Kaisar Meiji dari Jepang, atau Chulalongkorn dari Thailand. Sementara itu, keluarga raja Gianyar sendiri dapat menarik garis keturunan ke nenek moyang Dewa Manggis (1640) dan relatif cukup tua sebagai keluarga elite mengingat perang, intrik- intrik, pengkhianatan, dan kekerasan dalam perkembangan politik Bali tradisional. Hubungan antara elite kerajaan dan elite kolonial dalam bentuk hubungan raja dan pejabat Belanda, rupanya, selalu sulit. Buku kenang-kenangan Anak Agung itu penuh dengan hal-hal semacam itu semua. Ada residen Belanda, yang berkantor di Singaraja, yang gila hormat, rewel, dan sok tahu. Ada kunjungan Gubernur Jenderal Belanda ke puri Gianyar yang dijamunya. Bukan hanya biaya tinggi untuk semua kunjungan agung ini yang harus dikeluarkan oleh puri Gianyar atau kegilahormatan seorang residen, tapi ada yang harus dipikul oleh penderitaan rakyat yang dipersoalkan oleh Anak Agung. Adanya penghormatan berlebihan bagi pejabat negara penjajah itu. Singkat kata, kunjungan Gubernur Jenderal atau pejabat negara penjajah itu, menurut Anak Agung, sungguh membebani pihak puri maupun rakyat. Para pejabat seharusnya insaf bahwa kadang kala pejabat setempat terpaksa bertentangan dengan kemauan pejabat pusat demi kesejahteraan rakyatnya. Ini pula imbauan Anak Agung dalam kenang-kenangannya tentang hubungan antar elite pusat dan daerah. Anak Agung, yang menjadi raja atau syucho sejak Agustus 1943, memiliki hubungan agak baik dengan elite Jepang. Ia mengakui, seperti dialami ayahnya, pendudukan Jepang penuh dengan horor atau kekejaman, terutama dalam hubungannya dengan kempeitai. Namun, di balik teror dan horor itu, ada pengalaman manis, yakni hubungannya dengan seorang pejabat sipil Jepang di Gianyar. Harta karun Gianyar yang disembunyikan dan dipendam, yakni gong emas dan lain-lain, kemudian dikembalikan oleh Jepang. Memoar Anak Agung yang terbit kali ini diakhiri dengan proklamasi kemerdekaan. Ia berjanji akan menerbitkan seri berikutnya yang lebih lengkap mengenai karier dan pengalamannya sampai saat ini. Bagaimanapun Anak Agung adalah politikus yang pandai dan sensitif terhadap politik dibandingkan dengan rekan- rekannya dari kalangan pemimpin federal yang lain. Kebanyakan mereka hanya menjadi amtenar. Dan yang lebih penting, menurut saya, Anak Agung adalah "ningrat" modern karena hanya punya satu istri, Vera. Berbeda dengan ayahnya atau raja lain yang beristri banyak. Onghokham

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus