LEWAT mimpi seorang bocah, Djaduk Ferianto menjalin potret sosial dalam musik eksperimental. Itulah yang dilakukan oleh musikus yang banyak membuat ilustrasi musik untuk film (antara lain Badut-Badut Kota-nya Ucik Supra, dan Arak-arakan-nya Teguh Karya), Selasa pekan lalu di Purna Budaya, Yogyakarta. Judul eksperimen itu Ngeng I dan Ngeng II. Pada mulanya adalah suara tembang Jawa dari seorang bapak yang duduk bersila membelakangi panggung hitam kelam. Ia menembang sambil membelai bocah kecil yang tiduran di pangkuannya. Si buyung mengelus-elus senapan mainan, sambil sesekali ikut bernyanyi, sebelum ia pulas. Sang bapak mematikan lampu minyak yang disandingnya, membopong si buyung. Panggung gelap total. Muncul suara malam, cengkerik, kelelawar, dari instrumen musik elektronik, dipadu dengan lengkingan suara serigala dari gesekan selo. Perpaduan idiom musik elektronik, akustik, dan perkusi membangun suasana yang mencekam. Sedikit demi sedikit cahaya menerangi panggung. Gelegar suara keras terdengar, seonggok benda dari kaleng-kaleng yang tergantung di atas panggung dijatuhkan, disusul suara asing, bergulung, berdesing liar, dari puluhan perkusi. Teriakan histeris terdengar dari bagian belakang panggung, "Tulang, tulang!" Ada bencana menimpa si buyung. Seterusnya gesekan selo mengalunkan melodi mirip lagu Tudung Periuk yang melankolis, dipadu pukulan perkusi dan gema suara tambur dalam tempo lamban. Gesekan rebab dan alunan melodi gambang yang lirih, yang disisipi suara seruling, melukiskan luka. Suasana pilu itu merayap magis ketika 12 pemusik yang menyajikan Ngeng I melantunkan kor mantra-mantra Dayak yang menggetarkan. Tempo merayap naik. Suasana ingar-bingar dibangun lewat berbagai jenis dan warna musik: Sunda, Jawa, Minang, Dayak, dan Sumba. Si Buyung terjaga lalu bangkit memegangi senapan mainannya dan menembakkan ke segala arah. Pemusik juga menembakkan senapannya, sambil berteriak dor... dor..., disambut dentuman meriam, bom, dan suara gemuruh menderu. Bocah jatuh terkapar, cahaya meredup, dan Ngeng I berakhir. Ngeng I, bagaimanapun campur-aduknya, tetap didominasi warna gamelan Jawa, hingga agak terasa unsur-unsur musik yang lain itu sedikit mubazir. Tapi, maklum, Djaduk, 30 tahun, anak ketujuh koreografer Bagong Kussudiardjo ini, sejak umur 5 tahun boleh dikata hidup dengan gamelan Jawa di pedepokan seni orang tuanya. Malah di usia delapan tahun ia sudah menggarap ilustrasi musik untuk tari yang diciptakan bapaknya. Tahun 1978 ia mendirikan kelompok Rheze yang dinobatkan sebagai juara I Musik Humor tingkat nasional. Kemudian ia mendirikan Kelompok Musik Kreatif Wathathitha dan mementaskan karya musiknya yang berjudul Unen-Unen (1982). Repertoar lainnya, Gema Nusantara (1984), Tugu Ngejaman dan Kampanye (1987), Voice of Borneo, Pojian, Lorong, dan Getar Olah Bebaya (1990), 1.000 Hari Affandi di Awang-Awang (1993). Musikus yang otodidak ini (pendidikan formalnya di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia) lebih berhasil menyuguhkan musik tanpa instrumen. Lihatlah, enam lelaki berjajar berdiri di depan enam kursi yang dibalut gombal. Dengan mulut menganga dan sorot lampu dari atas (ditangani oleh Wardono dan Dwijo), mereka langsung membangun suasana menekan. Berbeda dengan Ngeng I yang mengeksplorasi bunyi dari instrumen benda mati, Ngeng II ini lebih mengeksplorasi vokal dan gerak tubuh teaterikal yang ekspresif. Emha Ainun Nadjib pada nomor ini bertindak sebagai penyelia. Melalui kekuatan vokal masing- masing keenam lelaki menciptakan nuansa hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Mereka mendesah, berbisik, menjerit ketakutan, berkelojotan, mulut menganga tapi tak bersuara. "Setiap keberanian untuk berbicara dan bersuara berarti kematian. Yang ada adalah ketaatan, keteraturan di bawah satu komando," kata Djaduk yang menerjemahkan Ngeng II sebagai "kematian suara". Enam pria yang berpakaian serbahitam itu kemudian berdiri lalu satu per satu roboh bersama kursinya. Seseorang yang berperan sebagai Si Berkuasa berkacak pinggang, mata melotot menyelidik ke kiri-kanan. Ia berusaha membungkam suara yang muncul. Tapi, yang jatuh tetap saling bersahutan, "neng... nang... nang...". Terdengar teriakan, "Turun. Sudah terlalu lama. Turun." Salah seorang bangkit berdiri mengucap kalimat yang tak jelas maksudnya: "Mo turun, Mo. Mo turun, Mo." Si Berkuasa, dengan ekspresi wajah geram, mengitari kelima orang lainnya dan memberangus mereka satu per satu dengan kain putih. Tapi mereka tetap bersuara, maka satu per satu didor. Ngeng II berakhir dengan kematian suara, kematian yang sangat dipahami oleh 300-an penonton pada malam itu. Sebagai pengganti, muncul kor bebek dari dua pengeras suara yang biasa dipakai tukang obat, "Satu. Satu, satu, satu... Dua. Dua, dua, dua...," dan seterusnya. Bersama Harry Roesli, tampaknya Djaduk bisa disebut musikus yang mencoba memadukan musik dan masalah sosial, dengan gaya masing-masing. Heddy Lugito dan Rustam F. Mandayun (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini