ALKISAH tersebutlah Panglima Perang Kerajaan Pharaoh bermain cinta dengan putri kerajaan musuh yang dikalahkan. Gosip percintaan antara dua insan kalangan atas ini terdengar pula oleh Amneris, putri Pharaoh, yang sebenarnya juga menaruh hati kepada sang Panglima Perang Kerajaan. Seorang pendeta telah mengingatkan agar Pak Panglima berhati-hati. Soalnya, di Kerajaan Mesir, saat itu hal seperti itu bisa gawat. Panglima Perang Kerajaan adalah seorang yang sangat dipercaya oleh raja, dan kebetulan, negara sedang dalam keadaan sangat berbahaya. Tapi, apa boleh buat, cinta telanjur bicara. Kisah tragis percintaan mirip "Pronocitro dan Roro Mendut", atau "Jayaprana dan Layonsari", ini dua pekan lalu disuguhkan dalam bentuk opera di Grand Ballroom, Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Grup London Opera Concert Company telah berkeliling dua bulan membawakan opera tersebut di berbagai negara, sebelum mampir di Jakarta. Ini hal yang menarik, mengingat opera boleh dibilang jarang digelarkan di Jakarta, apalagi yang mengambil karya seorang komponis besar. Kisah Aida di Kerajaan Mesir itu berkembang bertambah ruwet, dan bukannya sebaliknya. Soalnya, Aida yang menjadi budak Amneris ini sebenarnya adalah putri raja Etiopia yang sangat dibenci oleh ayah Amneris. Etiopia adalah lawan perang Mesir yang paling ditakuti. Akhirnya, Amneris, yang cemburu, dapat membuktikan bahwa Aida memang bersekongkol dengan Radames, Panglima Perang itu. Murkalah raja Mesir, Sang Pharaoh. Radames dijatuhi hukuman mati, dikubur hidup-hidup dalam lorong gelap di bawah tanah. Aida dan ayahnya, Amonarso, sebenarnya bisa melarikan diri, kembali ke Etiopia. Tapi itu tak mereka laksanakan. Aida memilih mati terkubur bersama Radames, kekasihnya. Kisah yang ditarik dari libreto penyair Antonio Ghislanzoni untuk opera kolosal Aida yang ditulis oleh komponis besar opera Italia, Giuseppe Verdi (1813-1901), lahir atas pesanan Firaun. Opera pesanan itu dimaksudkan untuk meramaikan pembukaan Terusan Suez dan peresmian gedung Grand Opera Kairo, tanggal 24 Desember 1871. Dan sampai hari ini Aida menjadi repertoar standar gedung-gedung opera bergengsi dan idaman setiap penyanyi. Sayang, di Grand Hyatt yang disuguhkan bukanlah pakem aslinya. London Opera Concert Company hanya menyuguhkan fragmennya. Karena itu, unsur dramatik dari teater musik yang menjadi dasar kekuatan seni opera raib begitu saja. Dalam versi aslinya, opera ini melibatkan ratusan pemain musik dan penyanyi, ribuan kilowatt listrik, berton-ton peralatan teater, serta lusinan pekerja teater (desainer, pelukis, pematung, pemrogram, dan lain-lain). Seperti pada karya Wagner, karena tuntutan visualisasi musikal dramatiknya, opera Verdi menuntut ruang pentas yang besar. Bagi para pencandu opera, podium Grand Hyatt yang menampung Aida itu terasa begitu sumpek, bisa membuat perut sakit. Grup dari London ini hanya menampilkan enam penyanyi dan seorang pianis. Terkesan mereka adalah penyanyi-penyanyi yang terlatih dan banyak belajar. Barbara Segal, pemeran Aida, bersuara lantang dan tekniknya lumayan. Tapi sering ia tampak kecapekan, hingga panjatan-panjatan interval suaranya sering meleset, seperti kursor yang salah pencet. Sonya Nerdrum, pemeran Amneris, lebih stabil penampilannya, tapi terasa masih seperti mahasiswa sekolah tinggi musik yang datar-datar saja. James Anderson dan Nigel Fair, yang memerankan Pharaoh dan Ramphis, lumayan saja. Hanya Mark Glanvile, sebagai Amonarso, benar-benar terdengar bagaikan penyanyi bariton khas pemain opera. Kekuatan suara dan artikulasi-artikulasi pembawaannya menampakkan hal itu. Bila ada yang berharga ditonton dari Aida ini, mungkin karena hadirnya Glanvile itu. Memang, akan lebih asyik menikmati Aida dalam pertunjukan yang utuh. Mungkin nanti, jika Jakarta sudah mempunyai gedung yang layak seperti di Singapura, kita baru bisa menikmati Aida yang sesungguhnya. Suka Hardjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini