Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang perempuan menggandeng buah hatinya yang berumur 8-10 tahun. Mereka berkeliling melihat-lihat karya seni di booth galeri di Ballroom The Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta, Sabtu, 27 Agustus 2016. Di ujung lorong di dekat Galeri Gudang Gambar, mereka berhenti. ”Bebeknya lucu, Ma,” bocah perempuan itu menunjuk gambar sepasang bebek karya Wenas Heriyanto dengan stroke yang timbul dan warna mencolok, merah.
Masing-masing dijual Rp 800 ribu. Karya para seniman, terutama seniman muda, seperti diobral di Bazaar Art Jakarta, yang ditutup pada Ahad malam, 28 Agustus 2016. Dari karya cetak di kaus, poster, sepatu, papan seluncur, helm, hingga potongan kanvas, laku dijual dan dilelang. ”Hampir semua senang. Setidaknya kami melihat pasar menggeliat,” ujar Edwin Rahardjo, pemilik Galeri Edwin.
Pada awal Agustus lalu, untuk pertama kalinya Art Stage Jakarta, yang diusung oleh pendiri Art Stage Singapore, Lorenzo Rudolf, digelar di Sheraton Grand, Gandaria City, Jakarta. Perhelatan ini menyedot lebih dari 15 ribu pengunjung. Tiga pekan kemudian, grup PT Mugi Rekso Abadi (MRA) menyelenggarakan Bazaar Art Jakarta ke-8. Art Stage Jakarta mengusung 50 galeri, sedangkan Bazaar Art pun tak mau kalah, menggandeng 49 galeri dari dalam dan luar negeri.
Dari data yang disodorkan oleh Vivi Yip, Direktur Art Fair Bazaar Art, acara empat hari itu telah menyedot 43 ribu pengunjung dan mencatatkan omzet Rp 104 miliar. Padahal situasi ekonomi boleh dikatakan sedang turun. Pergelaran ini juga mencetak harga tertinggi patung labu kuning raksasa berdiameter sekitar satu meter dengan khas totol-totol karya Yayoi Kusama di Galeri Ota Fine Jepang, yang terjual US$ 580 ribu (setara dengan Rp 7,69 miliar). Lukisan karya Agung Mangu Putra di Galeri Paskal disebut laku Rp 1 miliar, tiga lukisan Richard Winkler di Galeri Zola Zolu juga ditandai laku masing-masing Rp 1,1 miliar.
”Hebat, kolektor Indonesia, dari yang mahal sampai yang murah, dari senior ke junior, klasik sampai kontemporer, semua laku,” ujar Vivi. Dalam Art Stage Jakarta lalu, Lorenzo menggandeng sejumlah galeri jaringannya dan para kolektor kondang dalam negeri. Dia bahkan menyajikan dua ruang khusus yang menggelar koleksi para kolektor yang selama ini tak pernah dilihat publik—koleksi karya Affandi (disponsori Sotheby's) dan karya kontemporer.
Namun Edwin, yang juga Ketua Asosiasi Galeri Senirupa Indonesia, melihat dua pasar seni yang digelar dalam waktu berdekatan itu kurang menguntungkan. ”Capek. Yang kasihan senimannya juga. Mending jaraknya agak jauh atau menempel sekalian.” Pemilik Galeri Artsphere, Maya Sujatmiko, sependapat. ”Tidak jadi masalah pasar banyak, asalkan tidak berdekatan. Harus diantisipasi adanya kejenuhan dan orang jadi merasa tidak aneh lagi dengan karya,” ujarnya.
Adapun bagi Martha Gunawan, Direktur Art: 1, berjualan karya di Art Stage Jakarta dan Bazaar Art memberi pengalaman yang berbeda. Art Stage yang dikelola oleh pelaku internasional dan jaringan kolektor asing yang kuat, harga mapan tapi terbatas di koleksi karya yang berkelas. Sedangkan Bazaar Art, kata dia, dengan jaringan media, jaringan komunitas sosialita, serta konsumen baru yang baru tumbuh dan belajar seni. ”Dua-duanya bagus, yang satu untuk harga seniman yang mapan, yang satunya lagi untuk pangsa lain,” ujarnya.
Menurut Martha, kondisi ekonomi, seperti adanya pengampunan pajak dan ekonomi yang melambat, memang cukup mempengaruhi. Tak mengherankan jika banyak galeri yang menawarkan harga di bawah Rp 100 juta dan cepat terjual. Yang menggembirakan, banyak pembeli baru merupakan orang muda. Potensi pasar boleh jadi mulai menggeliat lagi. Tapi dua galeri dari luar negeri, Art Exchange (Singapura) dan Art Center PPlus (Korea Selatan), yang jualannya laku, mengeluh soal pajak. ”Urusan pajak di Indonesia cukup merepotkan,” ujar Helena Sunyoung Jeun dari Art Center PPlus dan Benny Oentoro, pemilik Art Exchange. DIAN YULIASTUTI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo