Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu tolok ukur dari bobot seorang seniman adalah bagaimana integritasnya di dunia yang ia geluti dan aspirasinya melalui karya-karyanya. Dunia musik pop yang bertumpu pada "sistem bintang"(star system) industri hiburan biasanya jarang memiliki penyanyi/pengarang lagu yang integritas dalam karya-karyanya sangat kental. Dorongan komersial kerap membuat para pelaku musik pop mainstream mengikuti selera pasar yang menentukan popularitas mereka.
Akibatnya, para pelaku musik pop sering tidak memiliki konsistensi dalam berkarya. Lagu buat mereka hanya komoditas yang tidak harus menjadi representasi kritis atas dunia atau lingkungan tempat mereka hidup, apalagi menyuarakan perjuangan hidup kelompok masyarakat tertindas.
Pada pertengahan 1970-an, tiba-tiba muncul seorang penyanyi/pengarang lagu Indonesia yang mampu membuat kita tercengang karena ia berhasil mengangkat suara kaum marginal dalam bentuk ekspresi musik yang sangat orisinal. Dialah Leo Kristi, seorang jenius yang berhasil membuat musik menjadi kendaraan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat perdesaan, pekerja, dan tradisional secara kreatif, sejuk, elok, dan brilian!
Saat itu, secara tegas, Leo memisahkan diri dari dunia musik pop mainstream dan menamakan musik/pertunjukannya "Konser Rakyat". Karena pilihannya ini, kehadiran Leo berada di luar konteks dunia industri musik yang sangat dominan pada 1970-1990. Tema lirik dan gaya musiknya berbeda dengan yang beredar di pasar musik Indonesia.
Leo Kristi lahir dengan nama Leo Imam Soekarno pada 8 Agustus 1949 di Surabaya, yang pada masa kolonial menjadi pusat musik di Indonesia. Sejak kecil, ia terbiasa mendengarkan musik yang dimainkan ayahnya. Menginjak remaja, ia mulai serius belajar musik dari pelbagai guru vokal dan gitar. Seperti banyak pemusik lain, ia juga mengawali karier sebagai pemusik rock di Surabaya. Namun panggilan hatinya membuatnya berpihak kepada masyarakat marginal. Sejak itu Leo menjadi seniman jalanan.
Ia hidup mengembara di tengah masyarakat. Dengan kata lain, ia etnografer yang mencoba melihat kehidupan masyarakat nelayan, petani, pekerja, atau masyarakat tradisional dari dalam. Dari penghayatan dan pengalaman hidupnya ini, lahir lirik-lirik sangat kuat dan alamiah.
Selama hayatnya, Leo mencipta tak kurang dari 93 lagu dengan lirik tentang kehidupan masyarakat Indonesia. Lagu-lagunya tertuang dalam 13 album, yakni Nyanyian Fajar (1975), Nyanyian Malam (1976), Nyanyian Tanah Merdeka (1977), Nyanyian Cinta (1978), Nyanyian Tambur Jalan (1980), Lintasan Hijau Hitam (1984), Biru Emas Bintang Tani (1985), Deretan Rel Rel Salam Dari Desa (1985), Ada pula (Diapenta) Anak Merdeka (1991), Catur Paramita (1993), Tembang Lestari (1995), Warm, Fresh and Healthy (2010), dan Hitam Putih Orche (2015). Kecuali Biru Emas Bintang Tani, album yang lain dijual di pasar musik, banyak dia antaranya masih dalam bentuk kaset.
Dari lagu-lagunya, bisa dilihat Leo secara brilian menemukan gaya musik yang pas dengan karakter kehidupan kelompok masyarakat tadi, yaitu bersahaja, spontan, indah, dan selalu kreatif. Integritas Leo dan kemampuannya menciptakan gaya musik yang sangat khas, dan merupakan refleksi dari kehidupan seni rakyat, belum ada bandingannya di dunia musik pop Indonesia.
Semangat dan totalitasnya untuk lepas dari dominasi musik industri dan mencari jalannya sendiri pada masa itu mirip dengan semangat para pemusik indie Indonesia di masa ini. Namun, dari segi estetika dan orisinalitas, masih belum ada grup musik indie era sekarang yang mampu menyamainya. Semangat dan akar kerakyatan ala Leo tak tampak pada grup-grup indie, yang orientasinya musik-musik urban. Dengan kata lain, kebanyakan dari mereka tak berakar pada budaya Indonesia seperti Leo, yang mempertaruhkan hidupnya untuk itu.
Pada 1970-an, ada beberapa penyanyi/pengarang lagu lain yang juga mencoba mengambil inspirasi dari kelompok masyarakat marginal ini, seperti Gombloh, Franky & Jane, dan Iwan Fals. Namun karakter musik mereka jauh dari karakter kehidupan masyarakat yang hendak mereka wakili.
Di sinilah kelebihan Leo. Ia berhasil menangkap esensi dari kesenian rakyat yang ia tuangkan dalam bentuk estetika musiknya. Estetika kesenian rakyat ini muncul juga dalam setiap pertunjukannya. Maka nama "Konser Rakyat" terasa sangat pas. Leo berhasil menjelmakan kembali seni rakyat atau folklor ke dalam konteks kehidupan modern.
Ini yang kerap sulit dipahami masyarakat karena apa yang tampak di mata umum hanya wujud luar dari bentuk kehidupan para seniman tadi. Di mata orang awam, seniman penuh integritas seperti Leo sering hanya dianggap sosok eksentrik dengan konotasi yang mungkin negatif. Padahal yang ia lakukan tak lebih dari pendekatan dalam berkesenian. Namun, untuk melakukannya, diperlukan totalitas sehingga ia harus berbaur dengan subyeknya. Tanpa itu, pendekatan seperti ini hanya akan terasa sebagai romantisisme seorang seniman. Leo, dalam hal ini, bukanlah seorang seniman romantik, melainkan seorang jenius yang tahu betul apa yang ia butuhkan dan bagaimana mewujudkannya.
Hal itu tampak pada komposisi musiknya yang selalu bersahaja tapi penuh spontanitas dan elok. Aransemen lagu-lagunya hampir tak pernah menggunakan alat musik yang sama seperti musik pop mainstream. Ia selalu membuat kita terperangah dengan penggunaan aneka ragam alat musik, tapi karakter musiknya tak pernah berubah.
Salah satu ciri yang paling kuat dari aransemen ataupun pertunjukan Leo adalah unsur "bermain" (playful) yang kuat. Di sinilah kita melihat bagaimana Leo berhasil mentransformasikan karakter kesenian rakyat ke dalam komposisi musik dan bentuk pertunjukannya. Karena itu, untuk memahami dan menikmati karya-karyanya, tidak lengkap jika kita tidak menonton pertunjukannya.
Ini pula yang membuat Leo terasa sangat orisinal. Pada 1970-1980-an, dunia musik Indonesia entah mengapa tiba-tiba sangat dipengaruhi musik country Amerika Serikat yang menjelma menjadi bermacam-macam grup vokal dengan gaya musik itu. Iwan Fals adalah salah satu produknya.
Inspirasi Leo untuk menjadi seniman rakyat bisa jadi datang dari seniman Amerika seperti Woody Guthrie dan Bob Dylan, tapi otentisitas materi keseniannya sangat berbeda dengan mereka. Leo sama sekali tak meniru mereka, tapi hanya melakukan pendekatan yang sama. Tentu saja, berbicara tentang karakter kehidupan rakyat, Indonesia jauh lebih kaya dan menarik daripada Amerika. Dari sinilah Leo mendapatkan kekuatan musik dan pertunjukan "Konser Rakyat".
Sayang, Leo pada 21 Mei lalu telah meninggalkan kita selama-lamanya. Ia sebenarnya hidup di masa yang terlalu dini. Kita butuh Leo hadir sekarang dan mungkin untuk seterusnya! Ia dapat menjadi guru atau panutan yang luar biasa bagi pemusik muda, terutama pemusik indie. Tengoklah karya-karyanya dan bagaimana ia menjalankan eksistensinya sebagai seniman musik.
Ketika pada masa Orde Baru banyak seniman mencari sensasi dengan tema-tema politik melawan rezim Soeharto dengan militan, Leo malah menyuarakan masyarakat grassroot dengan musik ceria, lembut, dan indah. Ini yang membuat ia tak muncul secara sensasional pada masa itu seperti halnya Gombloh, Iwan Fals, atau Kantata Takwa.
Leo sangat cinta pada bangsanya. Walaupun semangat nasionalisme cukup kuat dalam lagu-lagunya, yang ia lontarkan bukanlah nasionalisme bombastis, melainkan nasionalisme pinggiran (fringe nationalism). Leo menyuarakan kelompok masyarakat yang tak terjangkau suara para nasionalis militan yang selalu menggebu-gebu. Nasionalismenya tumbuh dari kecintaannya kepada masyarakat marginal, bukan tumbuh dari sebuah ideologi. Karena itu, medium yang ia pilih musik, bukan politik.
Melihat situasi politik kita dewasa ini yang sangat menyedihkan, suara Leo yang menyejukkan dan mencerahkan terasa menjadi relevan kembali. Kita memerlukan seniman yang dapat mengajak melihat realitas kehidupan masyarakat tradisional yang bersahaja, penuh daya hidup, spontan, kreatif, indah, bijak, dan damai seperti para nelayan dan petani. Kita juga perlu melihat bagaimana Leo mengajarkan kita memiliki integritas dalam kehidupan berbangsa. Dalam konteks inilah kepergian Leo tiba-tiba membuat kita kehilangan. Selamat jalan, kawan.
Franki Raden (Pengamat musik)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo