Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Lima Mahasiswa Jerman di Ujung Indonesia

Proyek pertukaran sineas Jerman dan Indonesia yang mendokumentasikan pulau atau desa terpencil dengan spontan.

27 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima mahasiswa Jerman dikirim ke lima pulau terpencil di Indonesia timur. Mereka "dibuang" begitu saja selama sekitar dua pekan dan dengan spontan harus membuat film dokumenter di pulau-pulau tersebut. Tak ada kesempatan riset mendalam lebih dulu. Hasilnya menarik walau tak semua mampu menyajikan materi matang.

Para sutradara tersebut adalah mahasiswa film di Hochschule für Bildenden Künste (HFBK), sekolah tinggi seni di Hamburg. Mereka terpilih mengikuti proyek film dokumenter 5 Islands/5 Villages yang diinisiasi Goethe-Institut Indonesia. Pada Maret 2016, kelima sutradara itu melaksanakan pengambilan gambar dan hasilnya diputar di Goethe-Institut, Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu. Ini adalah fase pertama dari proyek dokumenter tersebut.

Setelah ini, giliran sineas muda Indonesia yang akan dikirim ke lima desa di Jerman untuk melakukan hal serupa pada April mendatang. "Ini adalah proyek pertama yang bertujuan agar sineas Jerman dan Indonesia saling mengenal, baik secara artistik maupun persoalan manusianya," kata Pepe Danquart, mentor dalam proyek ini. Selain Danquart, mentor lain adalah Bernd Schoch, sineas dan mantan asisten artistik di HFBK Hamburg.

Melempar para sineas muda ke daerah asing dengan bahasa berbeda tanpa riset sebelumnya memang konsep yang disengaja Danquart. Sutradara Black Rider (1994) yang menyabet Oscar kategori Best Short Film (Live Action) ini menyebut konsep tersebut sebagai inventing documentary. Para sutradara dibebaskan menggali apa saja dengan teknik dokumentasi mana saja. "Mereka harus menyelam ke dalam tanpa memahami bahasanya sekalipun, lalu temukan cerita paling menarik," ujar Danquart.

Pada fase pertama ini, topik yang diangkat rata-rata tak jauh dari tradisi lokal yang eksotis, seperti upacara pemakaman di kubur batu atau pengobatan oleh dukun. Tak ada yang mengangkat persoalan sosial atau konflik di timur Indonesia seperti yang pernah dilakukan Asrida Elisabeth dalam Tanah Mama (2015) atau Hafiz Rancajale dalam Marah di Bumi Lambu (2009). Dua sutradara Indonesia itu bercerita tentang sengketa tanah di Papua dan Nusa Tenggara Barat.

Satu hal yang layak dipuji, meski lokasi syuting adalah pulau-pulau yang terkenal dengan keindahan alamnya, seperti Pulau Wangi-Wangi Wakatobi atau Pulau Rote, tak ada sutradara yang menonjolkan pemandangan indah dalam karya mereka. Semua menyoroti manusia-manusia yang menghuni pulau tersebut.

Anna Walkstein barangkali yang paling beruntung di antara empat rekannya. Ia membuat Bobanehena, yang direkam di Halmahera, Maluku Utara. Hari terakhirnya di sana bertepatan dengan gerhana matahari 9 Maret tahun lalu. Walkstein merekam dengan sangat dekat tradisi masyarakat setempat saat bayangan bulan menutupi matahari. Dimulai dari salat gerhana; berkumpul di luar rumah dengan kacamata hitam, potongan film, atau baskom berisi air; hingga ramai-ramai memukul tiang dan panci saat kegelapan perlahan-lahan menyelimuti.

Lima sutradara ini juga menggunakan teknik dokumentasi berbeda-beda. Pada Bobanehena, sutradara berlaku sebagai observer. Walkstein tak masuk ke kerangka film, juga tak memberi narasi tentang apa pun yang terjadi di layar. Semua dibiarkan terjadi secara alami dan obyek sorotannya tampak tak sadar atas kehadiran kamera yang merekam tindak-tanduk mereka. Menonton dokumenter ini seolah-olah menempatkan diri di tengah-tengah keriuhan menonton gerhana dan menjadi bagian darinya.

Sebaliknya, Marko Mijatovic menggunakan pendekatan dokumenter paling umum, yaitu expository. Dalam Selarus Dream, ia mewawancarai beberapa dukun dan penyembuh tradisional di Pulau Selaru, Maluku. Mijatovic juga merekam saat seorang dukun mengobati pasien dengan menyembur-nyemburkan ludahnya.

Pendekatan serupa muncul lagi dalam Reda Mata karya Max Sänger. Dia menampilkan serangkaian proses pemakaman dalam tradisi Marapu, salah satu kebudayaan megalitik yang masih tersisa di Sumba. Lewat teks di layar, sutradara menjelaskan perihal Marapu dan tahap-tahap dalam prosesi tersebut.

Sänger juga termasuk yang beruntung karena prosesi pemakaman lengkap dengan potong kerbau itu terjadi tepat saat ia berada di Sumba. Sebelumnya, selama berhari-hari, ia terus merekam hal berbeda-beda karena belum tahu apa yang harus ia filmkan. "Saya beruntung bisa merekam pemakaman itu. Semua langsung beres dalam satu hari," ujar Sänger.

Barangkali karena waktu yang singkat dan kekurangan riset, jalan cerita dalam proyek dokumenter ini terasa setengah matang. Misalnya wawancara Mijatovic dengan para penyembuh hanya sporadis dan tak dapat memberi gambaran memadai tentang praktek pengobatan tradisional di Selaru. Begitu pula Walkstein, yang setengah filmnya hanya menyoroti aktivitas sehari-hari warga Halmahera, seperti memetik pinang atau mengupas kelapa, sebelum masuk ke bagian seru saat menonton gerhana.

Untuk mengakali keterbatasan cerita, dua sutradara memilih menyajikan dokumenter artistik. Dalam Boats, Yannick Kaftan mengambil gambar dari satu sudut saja, yaitu ujung sebuah perahu yang sedang terombang-ambing di tengah lautan Wakatobi. Dari satu sudut itu, penonton kemudian melihat berbagai hal terjadi, seperti datangnya perahu lain dan percakapan para nelayan. "Saya memang ingin membuat dokumenter yang sederhana. Ambil gambar dari satu perahu lalu lihat saja apa yang terjadi," ujar Kaftan.

Teknik lebih menarik dilakukan Samuel J. Heinrichs dalam Rote Malam. Sesuai dengan judulnya, Heinrichs hanya mengambil gambar pada malam hari. Ia menyoroti sumber cahaya alami di tengah kegelapan, seperti lampu kapal nelayan di kejauhan, sinar senter yang dibawa penduduk saat berjalan di tengah malam, lampu sorot motor, dan lampu mercusuar. Wajah-wajah tak jelas tapi suara mereka dibiarkan muncul. Di tengah kegelapan, penonton dapat mendengar debur ombak, deru mesin kapal, atau percakapan warga. Puitis, walau tak mengandung cerita.

Moyang Kasih Dewimerdeka


Satu hal yang layak dipuji, meski lokasi syuting adalah pulau-pulau yang terkenal dengan keindahan alamnya, seperti Pulau Wangi-Wangi Wakatobi atau Pulau Rote, tak ada sutradara yang menonjolkan pemandangan indah dalam karya mereka. Semua menyoroti manusia-manusia yang menghuni pulau tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus