Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Luka cinta dalam ketawa

Pemain : salim bungsu, otong lenon, dll sutradara : nano riantiarno resensi oleh : putu wijaya.

3 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPEK ENGTAY Pemain: Salim Bungsu, Otong Lenon, Didi Petet, Bories Pulungan, San Manumpil, Ratna Riantiarno dan lain-lain. PAGAR Gedung Kesenian Jakarta dihiasi umbul-umbul. Di pintu depan berbaring seekor naga. Di dalam gedung, Nano Riantiarno mengesahkan kelahiran versi baru Sampek Engtay, yang di tanah Cina dikenal sebagai kisah opera Liang Shanbo yu Yungtai. Operet Teater Koma ini dibuka dengan set yang terbagi dalam tiga kotak. Di kanan menjadi rumah Engtay. Di tengah, lantai putar yang menjadi interior asrama sekolah Sampek dan Engtay di Betawi. Di sebelah kiri ada dinding yang pada akhir pertunjukan menjadi kuburan Sampek. Sementara itu, di latar belakang ada sosok besar yang mengesankan suasana Cina, serta para pemusik di kiri panggung yang tak disembunyikan. Setelah suara nyanyian pembuka, muncul pemain andal Salim Bungsu memakai pakaian Cina yang gemerlapan dengan topi besar. Ia, sebagai dalang, memperkenalkan lakon pada penonton, mengajak berseloroh dengan fasih, menyanyi, menari, dan lucu. Seterusnya ia memaklumkan bahwa cerita yang sudah dijinakkan ke daerah Banten dan Jakarta itu akan dimainkan dengan busana Cina. Sekitar tiga jam, dengan sekali masa istirahat, dipenuhi nyanyian, tari-tarian, dan lawakan, percintaan dituturkan. Tersebutlah Engtay, putri seorang juragan kaya, ingin menuntut ilmu. Namun, karena wanita pada masa itu hanya dekorasi rumah yang sebaiknya bodoh dan tukang mengangguk, ia ditentang orangtuanya. Engtay (dimainkan dengan baik oleh Sari Manumpil), yang cantik serta cerdas, tak putus asa. Ia berhasil memaksa orangtuanya berkat kepintarannya menyamar sebagai lelaki. Maka, dengan memakai busana pria, berangkatlah Engtay ke Betawi. Di perjalanan ia bertemu dengan Sampek, yang juga ingin menuntut ilmu di tempat yang sama. Keduanya lalu menjadi sahabat, sekaligus saling menyebut saudara. Mereka tinggal dalam satu kamar, bahkan juga satu tempat tidur. Selama dalam asrama, Engtay terpesona pada keluguan Sampek (dimainkan oleh Bories Pulungan dengan lancar). Ia jatuh cinta. Setelah satu tahun, karena tak mampu lagi menutupi dirinya, Engtay lalu mengakui bahwa ia seorang perempuan. Sampek terkejut, juga bergembira, dan langsung jatuh cinta. Mereka berjanji sehidup semati. Dan seperti kata dalang dalam cerita itu, kisah cinta kurang menarik kalau tak diakhiri derita. Tersebutlah Engtay yang pulang karena panggilan mendadak orangtuanya. Tak tahunya ia dipanggil untuk dikawinkan. Sampek, yang juga menyusul untuk meminang, jadi orang ketinggalan kereta. Lelaki ganteng yang tampak bego itu amat terpukul. Ia tersuruk-suruk pulang ke rumahnya. Sampek kemudian sakit. Ia mengigau menyebut-nyebut Engtay. Tak lama ia pun mati. Engtay sembahyang di depan kuburannya. Ia memanggil roh Sampek sambil mengatakan, bila benar Sampek mati untuk dia, mestinya pintu kubur dibuka menyambut kedatangannya. Betul. Bleduk, pintu kuburan terbuka. Asap mengepul. Engtay masuk ke dalam pusara. Suami Engtay basah-kuyup mencari, sia-sia. Lalu dua kupu-kupu terbang di atas kuburan. Kemudian sepasang lagi, sepasang lagi. Bagian atas panggung penuh kupu-kupu. Di daerah penonton bahkan tak urung ditetesi jatuhan kupu-kupu. Kisah cinta yang sedih itu tiba-tiba berakhir dalam keriangan. Dua sejoli yang tidak mampu memadu cinta bertemu di akhirat. Cinta menang, meskipun membuat orang mati. Para penonton bergembira sepanjang pertunjukan. Namun, bukan berarti semua hanya obrolan kosong yang hanya digeluti dagelan. Naskah yang ditulis Riantiarno itu juga menyerakkan beberapa sentilan, yang meski sudah biasa terdengar tetapi masih membuat orang senang. Di antaranya, seperti dikatakan dalang, rokok memang mengandung racun, tapi toh pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa, karena pajak yang digaetnya berlimpah. Riantiarno juga tak lupa membela wanita. Kisah ini menunjukkan tidak seharusnya wanita dibiarkan menjadi alas lelaki, tempat menumpahkan syahwat. Wanita berhak menuntut ilmu, sebagaimana sudah dikumandangkan Raden Ajeng Kartini. Wanita berhak sebagai subyek dalam kehidupan. Pertunjukan ini mulai 27 Agustus s/d 10 September. Sebagai sutradara, Riantiarno tak mau kejeblos formalitas interior Gedung Kesenian yang terbilang mentereng untuk ukuran Jakarta itu. Sebagaimana biasa dilakukan para sutradara kalau main di Taman Ismail Marzuki, ia berusaha juga menembus jarak. Dalang dimunculkan dari arah penonton. Ia berdialog di tangga, di bibir panggung, atau sambil ngumpet di lubang depan layang. Iring-iringan pengantin pun masuk dan kedua sisi auditorium. Sampek Engtay merupakan hiburan yang pas di tengah kebisingan dan keruwetan Ibu Kota. Segar, ringan, dan manis. Riantiarno sebagai pemimpin kelompok telah memilih satu sudut penggalian yang menyebabkan teater akhirnya jadi bagian penting dari kesibukan masyarakat Jakarta. Riantiarno sudah menambah keragaman versi cerita yang tersohor ini. Dan versi ini agaknya dibuat untuk dicantelkan pada pemain seperti Didi Petet, yang bermain baik, sebagai bapak Engtay -- dan Salim Bungsu -- untuk mengambil dua misal Apa versi ini juga menawarkan interpretasi, ternyata tidak terlalu penting. Teater Koma, khususnya Riantiarno, dengan pertunjukan ini tampaknya lebih menekankan pada segi tontonannya. Seperti pertunjukannya di masa-masa lalu, sebenarnya ia juga menawarkan petualangan artistik. Dan seberapa jauh Teater Koma meneruskan format yang dipilihnya sekarang, yang juga seberapa jauh akan mengabaikan potensinya yang lain, itu soal waktu. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus