SEWINDU DEKAT BUNG KARNO Oleh: Bambang Widjanarko Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1988, 212 halaman KITA mengetahui bahwa dalam diri Bung Karno (BK) terdapat sedikit-sedikitnya tiga Soekarno. BK sebagai ideoloog, BK sebagai politikus, dan BK sebagai manusia. BK sebagai ideolog terkenal dengan hasil renungan dan pikiran filsafati yang diberi nama Pancasila. BK sebagai politikus terkenal dengan adagium bahwa politik adalah penghimpunan kekuasaan (machtsvorming) dan penggunaan kekuasaan (machtsaanwending), dalam arti menghimpun kekuatan rakyat untuk dihantamkan kepada belenggu kolonialisme. Tentang BK sebagai ideolog dan sebagai politikus sudah banyak yang ditulis. Namun, tentang BK sebagai manusia belum banyak ditulis. Di sana-sini, dalam otobiografi BK seperti yang diceritakan kepada Cindy Adams, terungkap manusia Soekarno itu. Demikian juga dalam buku Guntur (Bapakku, Kawanku, Guruku), Rachmawati (Bapakku-Ibuku), dan Ibu Fatmawati (Catatan Kecil bersama Bung Karno). Kini Bambang Widjanarko, ajudan Presiden Soekarno selama kurun waktu 1960-1967, yang mendapat julukan dari BK sebagai "anakku", menulis pula beberapa segi tentang manusia Soekarno itu. Manusia Soekarno, yang berdarah seniman mencintai alam dan kecantikan. Yang berdarah kerakyatan, selalu mendekatkan diri dengan rakyat Marhaen, sekalipun posisi presiden sering melemparkan BK ke tengah-tengah glamour internasional. Dan manusia Soekarno, yang berdarah religiusitas berbudaya, selalu berusaha menggali dan mempraktekkan etika dan moral dari bumi sejarah religi dan budaya bangsa. Semua segi manusia Soekarno itu terungkap dalam tulisan Bambang Widjanarko tersebut. Cerita-cerita pendek dalam bahasa bersahaja, tapi tidak dangkal, sekalipun kadang-kadang agak naif, dituturkan oleh seorang petugas yang setia kepada negara dan presidennya secara jujur dan sekadarnya. Sebagai ajudan presiden, Bambang Widjanarko memang ditempatkan dalam posisi untuk mengetahui beberapa segi manusia Soekarno. Tetapi tanpa hati nurani yang jujur dan mata telinga yang tajam, tak mungkin seorang yang bagaimanapun dekatnya dengan BK dapat menulis rangkaian cerita yang menarik seperti dalam buku ini. Banyak latar belakang kehidupan manusia Soekarno terungkap di sini, sekalipun secara singkat saja. Umpama usaha-usaha pembunuhan terhadap BK selaku presiden yang sah. Banyak orang sekarang melupakan hal ini, dan tidak merenungkan apa pengaruh psikologisnya terhadap jiwa BK. Penulis menyebut antara lain peristiwa Cikini pada tahun 1957, sewaktu Konstituante ramai-ramainya memperdebatkan ideologi Pancasila. BK yang terkenal sebagai penggali dan pembela Pancasila dijadikan sasaran utama untuk dibunuh oleh oknum-oknum fanatisi Islam yang anti-Pancasila. Disebut pula usaha Maukar yang memberondong istana dengan mitralyur dari udara, di tengah-tengah penumpasan gerakan separatisme PRRI/Permesta. Juga peristiwa penggranatan terhadap Presiden di Makassar, di tengah hebatnya perjuangan pembebasan Irian Barat. Dalam tiga peristiwa itu saya kebetulan berada di situ. Dan yang diceritakan Bambang Widjanarko tentang reaksi BK memang dapat saya garis bawahi. Tidak sedikit pun ada rasa bimbang di hati BK dalam kebenaran garis perjuangannya membela Pancasila, melawan gerakan separatisme yang didukung oleh kekuatan-kekuatan luar negeri, dan dalam membebaskan Irian Barat sebagai suatu amanat keramat Proklamasi dan Konstitusi. Apa yang tertulis dalam buku ini (halaman 113) memang dikemukakan oleh BK kepada kawan-kawan terdekatnya. Hidup-mati di tangan Tuhan. Hanya Tuhan yang menetapkan kapan dan bagaimana seseorang itu meninggal. Perjuangan kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan memang ada risikonya. Antara lain dibunuh oleh lawan-lawan politik. Risiko itu disadari oleh BK dan ia berani mengambilnya dengan penuh tanggung jawab sebagai pemimpin rakyat dan negara. Memang demikianlah manusia BK, yang manusia-pribadinya itu tidak dapat dilepaskan dari BK sebagai manusia-ideolog dan sebagai manusia-politikus. Tidak ada suatu jabatan yan beat dan meminta energi sebesar-besarnya dibanding jabatan presiden. Apalagi presiden dari suatu negara yang begitu luas, yang sejak 1945 terus-menerus bergolak dalam kancah revolusi dan transisi, dengan segala ancaman dan bahaya. BK tidak pernah absen dalam kancah perjuangan itu. Energinya yang terkuras oleh pergolakan itu diisi kembali dengan sifatnya sebagai manusia biasa, yang dapat berkelakar, berhumor, berlenso, berkeroncongan dengan seniman-seniman rakyat, berdialog dengan dalang, bercinta-cintaan seperti Arjuna penuh dengan vivere pericoloso (istilah Bambang Widjanarko), bertirakat, merebahkan diri kepada Tuhan, mencucurkan air mata karena kesepian, kesedihan, dan penderitaan. Itulah manusia Soekarno yang menjadi salah satu sisi dari jiwa BK, dan yang dengan mengharukan diungkapkan oleh Bambang Widjanarko. Sudah tentu belum/tidak semua. Manusia Soekarno yang dapat mengatasi dan menundukkan BK selaku presiden dan selaku negarawan yang hidupnya penuh dengan ketegangan, kesibukan dan pengorbanan. Seperti ditulis sebelumnya oleh penulis Amerika Louis Fischer, biograf Mahatma Gandhi, dalam bukunya The Story of Indonesia terbitan 1959, bahwa "the Man Sukarno conquers the Statesman". Manusia Soekarno menundukkan Negarawan BK. Ungkapan Louis Fischer ini didasarkan atas kontak dan dialognya dengan Bung Karno selama beberapa bulan lamanya, dalam perjalanan BK ke daerah-daerah maupun dalam ramah-tamah kekeluargaan. Pengamatan Bambang Widjanarko sesudah tahun 1960 sejalan dengan pengamatan Louis Fischer sebelumnya. H. Ruslan Abdulgani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini