Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KUMPULAN potret itu nyaris tanpa nama—kecuali sang fotografer dan tahun pembuatan. Tak banyak informasi tentang siapa yang tertera pada gambar itu. Sang juru foto adalah Leonard Freed (1929-2006), fotografer kantor berita Magnum. Kalender menunjukkan tahun 1958-1964.
Pada 1962, Sukarno mengeluarkan pengumuman penting. Menjelang Penentuan Pendapat Rakyat 1963, jajak pendapat untuk memastikan status Irian Barat, ia mempersilakan sisa-sisa warga Belanda yang masih bermukim di Indonesia untuk angkat kaki. Yang kemudian hengkang umumnya warga blasteran. Mereka datang dari Ambon dan beberapa kawasan lain. Freed mengabadikan migrasi itu sejak 1958.
Selayaknya peristiwa migrasi, para imigran membawa persoalan hakiki anak manusia: identitas. Sebagian warga Indo, ”Tak tahu hendak ke mana di Belanda,” kata Pim Westerkamp, kurator Tropenmuseum, museum yang memamerkan foto-foto Freed sejak Juni hingga awal Oktober lalu. Di tanah jajahan, mereka tak diakui sebagai ”orang asli”. Di tempat yang baru, warna kulit mereka berbeda dengan warga setempat.
Yang tak punya keluarga diinapkan di tempat penampungan. Yang lain meninggal dalam perjalanan. Beberapa ada yang beruntung: sanak yang lebih dulu bermigrasi membukakan pintu.
Freed menangkap detail cerita manusia dua identitas tersebut. Pada sebuah foto, tampak lelaki tua meninggalkan dek kapal dengan wajah cemas. Kostumnya menunjukkan ia bukan inlander 1960-an. Ia mengenakan topi, sweater, dan sarung tangan. Foto lain menunjukkan perempuan bersarung tradisional dengan baju hangat melintas di sebuah jalan. Sarung dan baju hangat: perpaduan Barat dan Timur. Juga keinginan untuk tak kehilangan salah satu ciri. Mungkin kebingungan menempatkan diri. Atau semacam kecemasan.
Foto yang lain menunjukkan serombongan anak muda Indo mengenakan blus ”modern” ala Barat tengah bercengkerama dengan perempuan Belanda berpakaian tradisional. Yang tiba dari Timur ”modern” dan bergaya Barat, yang asli Barat tak meninggalkan ciri tradisionalnya. Freed mengacaukan arti modern dan tradisional. Ia ingin mengatakan bahwa perubahan dari ”tak modern menjadi modern” bukanlah perjalanan searah dengan karcis satu jurusan.
Pim bercerita. Awalnya, pada 2007, koleksi Freed itu dipublikasikan dalam bentuk buku. Terkesan oleh kitab itu, Tropenmuseum menggelar pameran. Tapi informasi tentang foto itu serba sedikit. Karena itu, sebelum dipamerkan, potret-potret tersebut disebar melalui pelbagai situs jaringan sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Flickr. Pelbagai komunitas Indo di Belanda dihubungi. Mereka diminta mengidentifikasi foto-foto yang tertera.
Ajaib: hanya perlu beberapa pekan untuk mengumpulkan informasi. Seorang ibu tua, misalnya, mengidentifikasi lelaki tua di atas dek kapal itu sebagai kakeknya. Di depan foto hitam-putih itu ia menangis. Pim menghadiahkan repro foto itu kepada sang ibu. ”Di rumah potret itu dipajang di kamar,” kata Pim. Tak puas, ia mengunjungi pameran. Beberapa kali. ”Setiap kali datang ke sini, ia selalu menangis.”
Beberapa foto lain bahkan mengetengahkan tokoh yang hingga kini masih hidup. ”Anak lelaki ini sekarang sudah tua. Juga ibunya,” kata Pim menunjuk sebuah potret. ”Mereka datang saat pembukaan pameran.”
Setengah abad setelah para imigran datang, kenangan lama itu dijejer pada dinding museum. Ini September 2010. Di luar museum, angin berembus. Musim gugur baru berumur beberapa hari. Daun tak jatuh meski klorofil pelan-pelan pupus meninggalkan warna kuning pada helai itu. Amsterdam belum beku. Tak ada yang berubah pada kota itu. Dinding bata ratusan tahun. Batu jalan yang dirampat berabad silam. Di Tropenmuseum, kisah lama itu diungkap kembali.
Arif Zulkifli (Amsterdam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo