Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Luka-luka jim

Dua pelukis dari bandung, jim supangkat dan pandu sudewo, pamer lukisan di gedung lingkar mitra budaya, jakarta. jim tampil dengan gaya menakutkan. sementara pandu sudewo dengan warna-warna manis. (sr)

24 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LINGKAR Mitra Budaya dan gedungnya di jalan Tanjung 34, Jakarta, mungkin akan bertambah penting artinya bila terus mencoba ikut sumbang tenaga dalam perkembangan senirupa Tanggal 8 - 13 April yang lalu, misalnya mereka telah membiarkan gedungnya diisi oleh karya dua pelukis dari Bandung, Jim Supangkat dan Pandu Sudewo. Kedua anak muda ini, sebagaimana diketahui, dianggap sebagai sebagian dari oknum yang berada dalam garis yang dinamakan "Senirupa dan Indonesia". Jim Supangkat (lahir di Jongaya Sulawesi, 2 Mei 1948) memamerkan 11 buah karyanya dalam sebuah bi]ik dengan format yang cukup besar. Sarjana senirupa ITB yang memperoleh penghargaan "Peringatan Wendy Sorenson" tahun lalu ini, dengan jelas memperlihatkan sebuah penampilan yang lain dalam cara menanggapi kehidupan. Dan sekaligus memperlihatkan sikap yang lain terhadap senirupa itu sendiri. Meskipun ia masih terikat pada sosok-sosok benda yang nyata, tapi realisme yang dipancarkannya lewat kanvas maupun karya patungnya adalah "realisme dalam" Sehingga kalau diukur dari wadahnya saja, maka karya-karyanya menjadi seperti aneh. Atau menurut bahasa mereka yang curiga terhadap seni modern: mengada-ada. Dengan jujur Jim telah menampilkan pengalaman batinnya yang sangat peka terhadap proses buas yang sedang berlangsung di sekitanya. Hasil-hasilnya menjadi pedih, menakutkan, tapi sama sekali tidak dengan maksud memberontak atau mengingkari kenyataan. Seni Siksa Dalam menikmati visualisasi pengembaraan batin yang sangat peka dan melihat ke depan ini, memang sulit sekali disabet hal-hal yang manis yang sifatnya menghibur. Jim telah berusaha memaparkan apa adanya, tanpa berusaha untuk sedikit memaniskannya sehingga orang tertarik dan terlena. Ia telah mengambil sikap sedemikian rupa kerasnya, hingga senirupa di tangan seorang muda seperti ini mungkin sekelebatan seperti menjadi seni untuk siksaan. Tapi ka- lau dikejar lebih jauh, terasa bahwa Jim dengan luka-lukanya benar-benar mempunyai iktikad mengkaitkan senirupa pada kehidupan sesungguhnya, yang berjalan dan bergerak terus, berubah dan ber- proses dari detik ke detik. Ini bukan senirupa dalam gedong yang mati, bukan potret dai wadag-wadag dalam kehidupan yang sudah merupakan bangkai jaman atau bangkai waktu. Ini adalah senirupa seperti ikan yang masih basah, hangat darah yang masih mengalir dan jiwa yang masih gemetaran melawan kehidupan. Apabila kita dapat menerima hal ini barulah akan terasa keindahan macam apa yang bersembunyi di balik luka-luka yang diberi pigura dan kaca ini. Jim tidak hanya membawa ide-ide penampilan yang baru. Hal tersebut sama sekali tidak ditonjolkan. Sudah keluar dengan sendirinya dari karya-karya itu sendiri. Ini yang membedakannya dengan lukisan-lukisan yang dipamerkan di Balai Budaya oleh Muryotohartoyo dan Bambang Budjono dahulu (TEMPO, 17 Agustus 1974), di mana yang menonjol baru ide memberontak senilukis sebelumnya -- di Indonesia tentu saja. Dengan begini Jim jadi hadir sebagai penunggu saja. Karya itu sendiri kemudian melantunkan suaranya sendiri, yang memakai idiom-idiom berbeda dari senilukis sebelumnya -- di Indonesia yang juga sudah atau sedang dikerjakan oleh senilukis pada masa ini di mancanegara. Lukisannya yang bernama "Robekan" memper- lihatkan sebuah bidang hitam yang robek di tengahnya, meskipun sudah diusahakan dipertautkan oleh benang-benang kawat. Karya patungnya yang bernama "Tiang yang hancur" yang berwarna merah muda memperlihatkan sebuah pipa berdiri dalam pegangan besi-besi lainnya -- di tengah-tengah pipa krowok. Mungkin ini simbol yang tepat terhadap kehidupan yang mengeras dan luka-luka dunia -- bagi yang gemar pada bahasa simbol. Sebaliknya juga sebuah media yang kaya untuk asosiasi, bagi yang lebih merasa merdeka dengan dunia asosiasi ketimbang dunia simbol-simbol. Di samping itu juga sebuah komposisi yang baik, bagi mereka yang lebih senang ter- hadap komposisi ketimbang berasosiasi atau bersimbol-simbol. Berbeda dengan pengalaman Jim yang keras dan pedih itu, Pandu Sudewo (lahir 22 September 1950) hadir dalam keadaan lebih manis dan bersedia untuk kompromi. Dengan warna-warna seperti kita jumpai pada lukisan kelompok "Young Artists" di Ubud-Bali yang meriah itu, Pandu melukiskan dengan sederhana benda-benda di sekitarnya: balon, pot, sepeda, helm, pompa bensin, gokart, pistol, boneka, sepatu, telepon, semprotan, seterikaan dan sebagainya. Seakan-akan ia ingin mengutarakan bahwa alam kita bukan lagi rerumputan nyiur melambai, laut dan segala benda-benda alam yang segar akan tetapi segala hasil kerajinan dan mesin yang semuanya mempunyai fungsi memuaskan kehidupan, paling tidak berguna dalam kehidupan. Ini memang menjadi ironis dan cukup menyedihkam bahwa bagaimana kita makin lama makin jauh dari alam dan segala kemurnian. Tetapi sekaligus pula menyadarkan kita pada kenyataan sehari-hari pada kehidupan sebenarnya di sekitar kita di mana kita boleh saja bennimpi tentang segala kemurnian tapi harus tahu diri bahwa kita telah bergelimang dengan segala ketidak murnian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus