LINGKAR Mitra Budaya dan gedungnya di jalan Tanjung 34,
Jakarta, mungkin akan bertambah penting artinya bila terus
mencoba ikut sumbang tenaga dalam perkembangan senirupa Tanggal
8 - 13 April yang lalu, misalnya mereka telah membiarkan
gedungnya diisi oleh karya dua pelukis dari Bandung, Jim
Supangkat dan Pandu Sudewo. Kedua anak muda ini, sebagaimana
diketahui, dianggap sebagai sebagian dari oknum yang berada
dalam garis yang dinamakan "Senirupa dan Indonesia".
Jim Supangkat (lahir di Jongaya Sulawesi, 2 Mei 1948) memamerkan
11 buah karyanya dalam sebuah bi]ik dengan format yang cukup
besar. Sarjana senirupa ITB yang memperoleh penghargaan
"Peringatan Wendy Sorenson" tahun lalu ini, dengan jelas
memperlihatkan sebuah penampilan yang lain dalam cara menanggapi
kehidupan. Dan sekaligus memperlihatkan sikap yang lain terhadap
senirupa itu sendiri.
Meskipun ia masih terikat pada sosok-sosok benda yang nyata,
tapi realisme yang dipancarkannya lewat kanvas maupun karya
patungnya adalah "realisme dalam" Sehingga kalau diukur dari
wadahnya saja, maka karya-karyanya menjadi seperti aneh. Atau
menurut bahasa mereka yang curiga terhadap seni modern:
mengada-ada. Dengan jujur Jim telah menampilkan pengalaman
batinnya yang sangat peka terhadap proses buas yang sedang
berlangsung di sekitanya. Hasil-hasilnya menjadi pedih,
menakutkan, tapi sama sekali tidak dengan maksud memberontak
atau mengingkari kenyataan.
Seni Siksa
Dalam menikmati visualisasi pengembaraan batin yang sangat peka
dan melihat ke depan ini, memang sulit sekali disabet hal-hal
yang manis yang sifatnya menghibur. Jim telah berusaha
memaparkan apa adanya, tanpa berusaha untuk sedikit
memaniskannya sehingga orang tertarik dan terlena. Ia telah
mengambil sikap sedemikian rupa kerasnya, hingga senirupa di
tangan seorang muda seperti ini mungkin sekelebatan seperti
menjadi seni untuk siksaan. Tapi ka- lau dikejar lebih jauh,
terasa bahwa Jim dengan luka-lukanya benar-benar mempunyai
iktikad mengkaitkan senirupa pada kehidupan sesungguhnya, yang
berjalan dan bergerak terus, berubah dan ber- proses dari detik
ke detik. Ini bukan senirupa dalam gedong yang mati, bukan
potret dai wadag-wadag dalam kehidupan yang sudah merupakan
bangkai jaman atau bangkai waktu. Ini adalah senirupa seperti
ikan yang masih basah, hangat darah yang masih mengalir dan jiwa
yang masih gemetaran melawan kehidupan. Apabila kita dapat
menerima hal ini barulah akan terasa keindahan macam apa yang
bersembunyi di balik luka-luka yang diberi pigura dan kaca ini.
Jim tidak hanya membawa ide-ide penampilan yang baru. Hal
tersebut sama sekali tidak ditonjolkan. Sudah keluar dengan
sendirinya dari karya-karya itu sendiri. Ini yang membedakannya
dengan lukisan-lukisan yang dipamerkan di Balai Budaya oleh
Muryotohartoyo dan Bambang Budjono dahulu (TEMPO, 17 Agustus
1974), di mana yang menonjol baru ide memberontak senilukis
sebelumnya -- di Indonesia tentu saja.
Dengan begini Jim jadi hadir sebagai penunggu saja. Karya itu
sendiri kemudian melantunkan suaranya sendiri, yang memakai
idiom-idiom berbeda dari senilukis sebelumnya -- di Indonesia
yang juga sudah atau sedang dikerjakan oleh senilukis pada masa
ini di mancanegara. Lukisannya yang bernama "Robekan" memper-
lihatkan sebuah bidang hitam yang robek di tengahnya, meskipun
sudah diusahakan dipertautkan oleh benang-benang kawat. Karya
patungnya yang bernama "Tiang yang hancur" yang berwarna merah
muda memperlihatkan sebuah pipa berdiri dalam pegangan besi-besi
lainnya -- di tengah-tengah pipa krowok. Mungkin ini simbol yang
tepat terhadap kehidupan yang mengeras dan luka-luka dunia --
bagi yang gemar pada bahasa simbol. Sebaliknya juga sebuah media
yang kaya untuk asosiasi, bagi yang lebih merasa merdeka dengan
dunia asosiasi ketimbang dunia simbol-simbol. Di samping itu
juga sebuah komposisi yang baik, bagi mereka yang lebih senang
ter- hadap komposisi ketimbang berasosiasi atau
bersimbol-simbol.
Berbeda dengan pengalaman Jim yang keras dan pedih itu, Pandu
Sudewo (lahir 22 September 1950) hadir dalam keadaan lebih manis
dan bersedia untuk kompromi. Dengan warna-warna seperti kita
jumpai pada lukisan kelompok "Young Artists" di Ubud-Bali yang
meriah itu, Pandu melukiskan dengan sederhana benda-benda di
sekitarnya: balon, pot, sepeda, helm, pompa bensin, gokart,
pistol, boneka, sepatu, telepon, semprotan, seterikaan dan
sebagainya. Seakan-akan ia ingin mengutarakan bahwa alam kita
bukan lagi rerumputan nyiur melambai, laut dan segala
benda-benda alam yang segar akan tetapi segala hasil kerajinan
dan mesin yang semuanya mempunyai fungsi memuaskan kehidupan,
paling tidak berguna dalam kehidupan. Ini memang menjadi ironis
dan cukup menyedihkam bahwa bagaimana kita makin lama makin jauh
dari alam dan segala kemurnian. Tetapi sekaligus pula
menyadarkan kita pada kenyataan sehari-hari pada kehidupan
sebenarnya di sekitar kita di mana kita boleh saja bennimpi
tentang segala kemurnian tapi harus tahu diri bahwa kita telah
bergelimang dengan segala ketidak murnian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini