Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Penebang pohon, pak tua anang

Anang padang, ahli penebang pohon dari martapura, kalimantan selatan. ia menceritakan kecelakaan yang pernah dialaminya waktu menebang pohon. menjadi mata pencaharian hidupnya. (sd)

24 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI belantara Kalimantan tentu tiap hari ada gemuruh robohnya pohon-pohon kayu, yang ditebang dengan menggunakan segala perlengkapan mutakhir. Tak heran. Tapi perkara tebang pohon toh tak selamanya hanya kerja perusahaan kayu. Sebab di kampung, di kota, di sekitar rumah atau kantor, niscaya urusan ini ada juga. Cuma jangan dianggap remeh, untuk menundukkan pohon agar tebalnnya tidak sampai menimpa bangunan, jelas merupakan satu pekerjaan yang menuntut keahlian. Itu sebabnya barangkali tak banyak orang suka mengambil jalan ini untuk mencari nafkah. Tak kecuali di Kalimantan sendiri. Namun di antara tidak banyak orang itu tercatat satu nama yang terbilang jempolan. Anang Padang. Sudah kakek-kakek ia sekarang. Tapi bawaannya belum pikun. Nama itu, meski ada embel-embel Padang, tidak berarti ada sangkut-paut dengan Ibukota Sumatera Barat. Ia tulen putera Kalimantan. Nama kecilnya adalah Muhammad. Disebut Anang, karena ia laki-laki. Lalu ada tambahan Padang, lantaran ia selalu punya rumah di daerah alam terbuka alias padang, seperti di kampungnya kini: Tanjung Rema, Martapura, Kalimantan Selatan. Sejak muda ia tak pernah menggantungkan periuk nasinya dari jenis kerja lain, selain sebagai penebang kayu. Usianya yang pasti, ia sendiri tak mengetahui. Maklum, orang dulu, tak biasa menggunakan almanak. Paling banter umur seseorang ditandai dengan perban- dingan tumbuhnya satu pohon atau bangunan. Yang diingatnya adalah bahwa ia sempat mengalami masa kanak-kanak tatkala orang membuat rumah tanpa paku. Karena di zaman itu paku memang belum dikenal. Persisnya tahun berapa, Anang cuma bisa tersenyum lebar. Tapi seorang warga sekampungnya, yang kini mengaku berumur 75 tahun mengatakan, bahwa Anang Padang kini berusia seabad. "Mungkin lebih, sebab ketika saya kecil, Anang sudah mencari upah menebang pohon dan sering memetik kelapa ibu saya", tuturnya. Yang jelas Anang Padang memang nampak tua. Guratan garis di wajahnya bisa ditandai. Tarikan nafasnya pun pendek-pendek. Begitu pula jalannya: agak miring. Tapi jalan miring ini tak sepenuhnya musabab tua di jalan umur. Itu lebih dibawa kebiasaan, karena sering mengikuti condong badannya waktu menebang pohon. Sejauh mana kebolehan Anang dalam membenahi pohon, bisa diikuti dari cerita ini. "Menyingkirlah!" Pada suatu hari pemerintah kabupaten Martapura ada kesulitan untuk memperlebar jalan. Sebab ada sebuah pohon jangan meng- ganjel. Ruwetnya, pohon itu sempat didongengkan sebagai ber- penghuni. Bahkan bila pohon itu rebah, kata sas-sus itu, akan membawa akibat si penebang plus bupatinya juga, akan ikut rubuh. Walhasil tak seorangpun sanggup mengambil pekerjaan yang berbau adu nyawa itu. Tapi toh perlu pelebaran jalan. Apa akal? Orang lalu berpaling pada Anang Padang. Dengan mengenakan seragamnya berupa celana kolor dan kaos oblong, sebilah golok menyisip di pinggang, dan tak lupa kopiah, pohon itu dirabanya. Anang lalu tafakur sejenak sambil komat-kamit seadanya. Gedebag-gedebug, lalu pohon itu pun tumbang. Jalan bisa diperlebar. Sementara ia tetap segar-bugar -- alhamdulillah. Pak bupati pun tiada kurang apa-apa, malah gembira. "Masa ada hantunya?", komentar Anang, "kalau memang ada makhluk halus di situ, kita bujuk saja dengan mengucapkan assalamu'alaikum. Menyingkirlah, saya disuruh orang, saya cuma cari makan". Dengan keyakinan begitu rupanya Anang menjinakkan kaum dedemit penghuni pohon yang dianggap angker itu. Memang masih ada orang lain yang bisa ditugaskan menebang pohon. Penduduk Martapura tentu belum lupa satu kejadian beberapa tahun silam. Ketika itu ada seorang narapidana yang dipekerjakan menebang beringin di kompleks bioskop Berliam Sial tak bisa dielakkan, tahu-tahu ia kejepit dahan yang sudah rebah, tapi belum putus. Sakitnya bukan kepalang. Malahan sampai terlepas ucapannya supaya ditembak mati saja ketimbang mengidapkan derita semacam itu. Ke mana lagi orang lari, kalau bukan mencari Anang Padang. Dengan bekal seutas tali dan parang, kakek Anang me- manjat. Ia berpikir sejenak, atau mungkin juga membaca sesuatu, Satu ujung tali itu diikatkannya di dahan tadi, lalu ujung yang lain dilemparkannya ke bawah. Tak, tek, tok, parang diayunkan. Hati-hati sekali. Akhirnya: bum. Dahan nakal itu pun melepas jepitannya. Sang korban selamat, meski sempat pingsan juga. Anang Padang sendiri bukan tak pernah mengalami hari naas. Diingat-ingatnya, paling sedikit ada 10 kali ia terpental jatuh. Tiga kali tergolong berat. Pernah ia menggelinding dari ketinggian 30 meter, ketika menebang beringin dekat mesjid jami' Martapura. Menyaksikan kejadiannya, tidak sak lagi orang ramai sampai menahan nafas. Tentu tamatlah riwayat Anang, pikir mereka. Dan Anang memang berlumuran darah, serta tangannya patah tulang. Tapi setelah 40 hari terbaring di rumah sakit ia sembuh kembali. Memanjat pohon kembali, tanpa tanda-tanda gamang. Tidak jera. "Hidup saya memang menebang pohon", katanya, "dari situ saya makan. Lagi pula orang perlu bantuan supaya terhindar dari bahaya pohon tumbang". Di lain kesempatan ia menerima upah untuk menebang pohon pinang. Pohon lurus ini bercokol di antara dua bangunan: rumah dan kantor. Boleh jadi ia alpa menjepitkan kaki, seperti lazimnya ia menebang kelapa, sesampainya di pertengahan tubuh Anang ikut melayang berbarengan dengan rebahnya pokok bagian atas. Kali ini 8 hari ia meringkuk di rumah sakit. Kulit muka di bagian pelipis terpaksa dijahit. Sudah beberapa kali ia mengalami cedera lantaran menolong menebang kayu ini. "Tak sekalipun orang yang mengupah saya datang menjenguk", tuturnya tanpa nada keluhan, malah untuk jahit di pelipisnya itu Anang menunjuk dengan lucu: "Ini beslitku", ujarnya. Mungkin berkat sikapnya yang bersahabat dengan manusia ini, Anang juga tak banyak kesulitan menghadapi apa yang dijuluki hantu maupun makhluk lain, seperti ular pohon. Pernah ia berpapasan dengan sekawanan ular tedung di sebuah pohon rimbun. Dengan caranya, Anang mengajak ular ganas itu untuk damai saja. Ada yang mau diajak berbaik-baik, tapi adakalanya juga yang lantas menyerang. Apa boleh buat, pada saat gawat ini parang Anang perlu biara. Selain itu memang ada binatang yang membuatnya was-was: kelabang dan kalajengking. Sebab binatang berbisa ini mudah menghilangkan keseimbangan, bila salah-salah tindak. Jelas begitu banyak bahaya menghadangnya. Tapi ia tak pernah berniat melirik mata pencaharian lain. Maklum, kemampuannya yang lain pang banter mengaji. "Waktu saja anak-anak, belum ada SD", katanya, "tapi sesudah ada sekolah, saya terlanjur besar. Sehingga mau tak mau mengandalkan tenaga untuk hidup". Ia anak tertua dari 5 bersaudara. Ayahnya pernah menjadi kuli pelabuhan, sementara kakeknya dikenal sebagai bilal di kampungnya. Sepanjang umurnya, Anang pernah punya 7 anak, tapi 5 meninggal dan sempat meninggalkan 3 cucu. Isterinya juga telah mendahuluinya semua. Dari 5 kali berumah tangga kini yang tertinggal dua anak yang masih gadis. Ia kini berdiam di sebuah pondok ditemani anak gadisnya dan se- orang cucunya. Kebiasaan Anang bila berangkat cari kerja, ber- tanya dulu pada cucunya: "Bagaimana beras?". Si cucu pun menya- hut: "Cukup sampai makan tengah hari". Berarti bila hari itu Anang luput beroleh pekerjaan, silakan membayangkan bagaimana mereka menyambut sore dan esoknya. Memang bila dilihat sepintas nampak upah yang diterimanya lumayan. Misalnya, untuk satu jam kerja membenahi pohon kelapa, ia beroleh Rp 3.000. Atau untuk merambah pohon mangga dengan kerja sehari, ia bisa mengantongi Rp 25.000. atau untuk pohon kwini yang ruwet cabang-cabangnya, ia, memungut Rp 50. 000. Untuk kerja yang terbilang besar ini ia membawa serta dua tenaga bantuan, satu di antaranya adalah cucunya sendiri, yang gagal menamatkan SD dan kini berusia 15 tahun. Tapi kesempatan beroleh uang sebanyak itu belum tentu datang sekali dalam 3 bulan. Bahkan kerja menebang pohon biasa saja pun suka sepi selama 2 bulan. Empang Ikan Lalu bagaimana Anang menghadapi kenyataan bahwa menebang kayu ini hasilnya bukan bagai lebatnya daun beringin? Pernah dicobanya membuka empang ikan. Namun kini empang itu cuma tinggal kenangan, mungkin karena sukar merawatnya. Selebihnya, bila sampai meng- alami paceklik, maka pelan-pelan isi tabungan pun jadi tumpuan. Sementara Anang Padang tak henti-hentinya berkelana. Sebab di samping tenar di kampungnya sendiri, seantero Martapura, namanya cukup beken puta di Banjarmasin, bahkan hingga Hulu Sungai Utara. Syukurlah. Dari sepanjang cerita tadi, tentu boleh diraba bahwa Anang Padang tentu ada "isi" apa-apanya. "Tak apa-apa, selain telur ayam dan madu", tangkisnya. Tapi perkara ia berkali-kali terpelanting, terbanting tak sampai remuk, Anang toh menyingkapkan memang ada lampahan alias ajiannya. Begini. Di musim orang membakar ilalang, ia menjilat abu yang beterbangan di udara. Pintar juga ia mengambil manfaat pembakaran padang lalang yang sering dikeluhkan membahayakan jalannya penerbangan itu. Lalu pada setiap Senin-Kemis, sebanyak 3 kali ia mereguk air kelapa yang menetes di pohonnya bekas digirik tupai. Sambil berdoa kepada Tuhan plus salawat pada Nabi, "hakekatnya, seringan abu lalang dan seringan tupai jatuh, begitu bila tubuhku jatuh", begitu manteranya. Tentunya ini bukan ilmu yang mudah diambil sembarang orang, sebab selebihnya Anang tidak bersedia mengungkapkan. Kecuali katanya: "Berniatlah menolong, tentu kita akan ditolongNya". Kini kebo- lehannya mulai diwariskan kepada cucunya tadi. Tapi menurut penilaian si kakek, "masih lama cucu saya ini belum mantap hatinya".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus