DI belantara Kalimantan tentu tiap hari ada gemuruh robohnya
pohon-pohon kayu, yang ditebang dengan menggunakan segala
perlengkapan mutakhir. Tak heran. Tapi perkara tebang pohon toh
tak selamanya hanya kerja perusahaan kayu. Sebab di kampung, di
kota, di sekitar rumah atau kantor, niscaya urusan ini ada juga.
Cuma jangan dianggap remeh, untuk menundukkan pohon agar
tebalnnya tidak sampai menimpa bangunan, jelas merupakan satu
pekerjaan yang menuntut keahlian. Itu sebabnya barangkali tak
banyak orang suka mengambil jalan ini untuk mencari nafkah. Tak
kecuali di Kalimantan sendiri. Namun di antara tidak banyak
orang itu tercatat satu nama yang terbilang jempolan. Anang
Padang.
Sudah kakek-kakek ia sekarang. Tapi bawaannya belum pikun. Nama
itu, meski ada embel-embel Padang, tidak berarti ada
sangkut-paut dengan Ibukota Sumatera Barat. Ia tulen putera
Kalimantan. Nama kecilnya adalah Muhammad. Disebut Anang, karena
ia laki-laki. Lalu ada tambahan Padang, lantaran ia selalu punya
rumah di daerah alam terbuka alias padang, seperti di kampungnya
kini: Tanjung Rema, Martapura, Kalimantan Selatan.
Sejak muda ia tak pernah menggantungkan periuk nasinya dari
jenis kerja lain, selain sebagai penebang kayu. Usianya yang
pasti, ia sendiri tak mengetahui. Maklum, orang dulu, tak biasa
menggunakan almanak. Paling banter umur seseorang ditandai
dengan perban- dingan tumbuhnya satu pohon atau bangunan. Yang
diingatnya adalah bahwa ia sempat mengalami masa kanak-kanak
tatkala orang membuat rumah tanpa paku. Karena di zaman itu paku
memang belum dikenal. Persisnya tahun berapa, Anang cuma bisa
tersenyum lebar. Tapi seorang warga sekampungnya, yang kini
mengaku berumur 75 tahun mengatakan, bahwa Anang Padang kini
berusia seabad. "Mungkin lebih, sebab ketika saya kecil, Anang
sudah mencari upah menebang pohon dan sering memetik kelapa ibu
saya", tuturnya.
Yang jelas Anang Padang memang nampak tua. Guratan garis di
wajahnya bisa ditandai. Tarikan nafasnya pun pendek-pendek.
Begitu pula jalannya: agak miring. Tapi jalan miring ini tak
sepenuhnya musabab tua di jalan umur. Itu lebih dibawa
kebiasaan, karena sering mengikuti condong badannya waktu
menebang pohon. Sejauh mana kebolehan Anang dalam membenahi
pohon, bisa diikuti dari cerita ini.
"Menyingkirlah!"
Pada suatu hari pemerintah kabupaten Martapura ada kesulitan
untuk memperlebar jalan. Sebab ada sebuah pohon jangan meng-
ganjel. Ruwetnya, pohon itu sempat didongengkan sebagai ber-
penghuni. Bahkan bila pohon itu rebah, kata sas-sus itu, akan
membawa akibat si penebang plus bupatinya juga, akan ikut rubuh.
Walhasil tak seorangpun sanggup mengambil pekerjaan yang berbau
adu nyawa itu. Tapi toh perlu pelebaran jalan. Apa akal? Orang
lalu berpaling pada Anang Padang. Dengan mengenakan seragamnya
berupa celana kolor dan kaos oblong, sebilah golok menyisip di
pinggang, dan tak lupa kopiah, pohon itu dirabanya. Anang lalu
tafakur sejenak sambil komat-kamit seadanya. Gedebag-gedebug,
lalu pohon itu pun tumbang. Jalan bisa diperlebar. Sementara ia
tetap segar-bugar -- alhamdulillah. Pak bupati pun tiada kurang
apa-apa, malah gembira. "Masa ada hantunya?", komentar Anang,
"kalau memang ada makhluk halus di situ, kita bujuk saja dengan
mengucapkan assalamu'alaikum. Menyingkirlah, saya disuruh orang,
saya cuma cari makan". Dengan keyakinan begitu rupanya Anang
menjinakkan kaum dedemit penghuni pohon yang dianggap angker
itu.
Memang masih ada orang lain yang bisa ditugaskan menebang pohon.
Penduduk Martapura tentu belum lupa satu kejadian beberapa tahun
silam. Ketika itu ada seorang narapidana yang dipekerjakan
menebang beringin di kompleks bioskop Berliam Sial tak bisa
dielakkan, tahu-tahu ia kejepit dahan yang sudah rebah, tapi
belum putus. Sakitnya bukan kepalang. Malahan sampai terlepas
ucapannya supaya ditembak mati saja ketimbang mengidapkan
derita semacam itu. Ke mana lagi orang lari, kalau bukan mencari
Anang Padang. Dengan bekal seutas tali dan parang, kakek Anang
me- manjat. Ia berpikir sejenak, atau mungkin juga membaca
sesuatu, Satu ujung tali itu diikatkannya di dahan tadi, lalu
ujung yang lain dilemparkannya ke bawah. Tak, tek, tok, parang
diayunkan. Hati-hati sekali. Akhirnya: bum. Dahan nakal itu pun
melepas jepitannya. Sang korban selamat, meski sempat pingsan
juga.
Anang Padang sendiri bukan tak pernah mengalami hari naas.
Diingat-ingatnya, paling sedikit ada 10 kali ia terpental jatuh.
Tiga kali tergolong berat. Pernah ia menggelinding dari
ketinggian 30 meter, ketika menebang beringin dekat mesjid jami'
Martapura. Menyaksikan kejadiannya, tidak sak lagi orang ramai
sampai menahan nafas. Tentu tamatlah riwayat Anang, pikir
mereka. Dan Anang memang berlumuran darah, serta tangannya patah
tulang. Tapi setelah 40 hari terbaring di rumah sakit ia sembuh
kembali. Memanjat pohon kembali, tanpa tanda-tanda gamang. Tidak
jera. "Hidup saya memang menebang pohon", katanya, "dari situ
saya makan. Lagi pula orang perlu bantuan supaya terhindar dari
bahaya pohon tumbang".
Di lain kesempatan ia menerima upah untuk menebang pohon pinang.
Pohon lurus ini bercokol di antara dua bangunan: rumah dan
kantor. Boleh jadi ia alpa menjepitkan kaki, seperti lazimnya ia
menebang kelapa, sesampainya di pertengahan tubuh Anang ikut
melayang berbarengan dengan rebahnya pokok bagian atas. Kali ini
8 hari ia meringkuk di rumah sakit. Kulit muka di bagian pelipis
terpaksa dijahit. Sudah beberapa kali ia mengalami cedera
lantaran menolong menebang kayu ini. "Tak sekalipun orang yang
mengupah saya datang menjenguk", tuturnya tanpa nada keluhan,
malah untuk jahit di pelipisnya itu Anang menunjuk dengan
lucu: "Ini beslitku", ujarnya.
Mungkin berkat sikapnya yang bersahabat dengan manusia ini,
Anang juga tak banyak kesulitan menghadapi apa yang dijuluki
hantu maupun makhluk lain, seperti ular pohon. Pernah ia
berpapasan dengan sekawanan ular tedung di sebuah pohon rimbun.
Dengan caranya, Anang mengajak ular ganas itu untuk damai saja.
Ada yang mau diajak berbaik-baik, tapi adakalanya juga yang
lantas menyerang. Apa boleh buat, pada saat gawat ini parang
Anang perlu biara. Selain itu memang ada binatang yang
membuatnya was-was: kelabang dan kalajengking. Sebab binatang
berbisa ini mudah menghilangkan keseimbangan, bila salah-salah
tindak.
Jelas begitu banyak bahaya menghadangnya. Tapi ia tak pernah
berniat melirik mata pencaharian lain. Maklum, kemampuannya
yang lain pang banter mengaji. "Waktu saja anak-anak, belum
ada SD", katanya, "tapi sesudah ada sekolah, saya terlanjur
besar. Sehingga mau tak mau mengandalkan tenaga untuk hidup". Ia
anak tertua dari 5 bersaudara. Ayahnya pernah menjadi kuli
pelabuhan, sementara kakeknya dikenal sebagai bilal di
kampungnya. Sepanjang umurnya, Anang pernah punya 7 anak, tapi 5
meninggal dan sempat meninggalkan 3 cucu. Isterinya juga telah
mendahuluinya semua. Dari 5 kali berumah tangga kini yang
tertinggal dua anak yang masih gadis.
Ia kini berdiam di sebuah pondok ditemani anak gadisnya dan se-
orang cucunya. Kebiasaan Anang bila berangkat cari kerja, ber-
tanya dulu pada cucunya: "Bagaimana beras?". Si cucu pun menya-
hut: "Cukup sampai makan tengah hari". Berarti bila hari itu
Anang luput beroleh pekerjaan, silakan membayangkan bagaimana
mereka menyambut sore dan esoknya. Memang bila dilihat
sepintas nampak upah yang diterimanya lumayan. Misalnya, untuk
satu jam kerja membenahi pohon kelapa, ia beroleh Rp 3.000. Atau
untuk merambah pohon mangga dengan kerja sehari, ia bisa
mengantongi Rp 25.000. atau untuk pohon kwini yang ruwet
cabang-cabangnya, ia, memungut Rp 50. 000. Untuk kerja yang
terbilang besar ini ia membawa serta dua tenaga bantuan, satu di
antaranya adalah cucunya sendiri, yang gagal menamatkan SD dan
kini berusia 15 tahun. Tapi kesempatan beroleh uang sebanyak itu
belum tentu datang sekali dalam 3 bulan. Bahkan kerja menebang
pohon biasa saja pun suka sepi selama 2 bulan.
Empang Ikan
Lalu bagaimana Anang menghadapi kenyataan bahwa menebang kayu
ini hasilnya bukan bagai lebatnya daun beringin?
Pernah dicobanya membuka empang ikan. Namun kini empang itu cuma
tinggal kenangan, mungkin karena sukar merawatnya. Selebihnya,
bila sampai meng- alami paceklik, maka pelan-pelan isi tabungan
pun jadi tumpuan. Sementara Anang Padang tak henti-hentinya
berkelana. Sebab di samping tenar di kampungnya sendiri,
seantero Martapura, namanya cukup beken puta di Banjarmasin,
bahkan hingga Hulu Sungai Utara. Syukurlah.
Dari sepanjang cerita tadi, tentu boleh diraba bahwa Anang
Padang tentu ada "isi" apa-apanya. "Tak apa-apa, selain telur
ayam dan madu", tangkisnya. Tapi perkara ia berkali-kali
terpelanting, terbanting tak sampai remuk, Anang toh
menyingkapkan memang ada lampahan alias ajiannya. Begini. Di
musim orang membakar ilalang, ia menjilat abu yang beterbangan
di udara. Pintar juga ia mengambil manfaat pembakaran padang
lalang yang sering dikeluhkan membahayakan jalannya penerbangan
itu. Lalu pada setiap Senin-Kemis, sebanyak 3 kali ia mereguk
air kelapa yang menetes di pohonnya bekas digirik tupai. Sambil
berdoa kepada Tuhan plus salawat pada Nabi, "hakekatnya,
seringan abu lalang dan seringan tupai jatuh, begitu bila
tubuhku jatuh", begitu manteranya.
Tentunya ini bukan ilmu yang mudah diambil sembarang orang,
sebab selebihnya Anang tidak bersedia mengungkapkan. Kecuali
katanya: "Berniatlah menolong, tentu kita akan ditolongNya".
Kini kebo- lehannya mulai diwariskan kepada cucunya tadi. Tapi
menurut penilaian si kakek, "masih lama cucu saya ini belum
mantap hatinya".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini