HUJAN lebat sekali sore 6 April yang lalu. Tetapi mobil-mobil
yang bagus dengan banyak pemuda-pemudi masa kini di dalamnya
terus mengalir ke Teater Besar TIM -- di mana menunggu Carl
Tangjong dengan gitarnya. Akhir-akhir ini gitar mendapat pasaran
yang nomplok, sehingga rupa-rupanya pihak penyusun acara di TIM
merasa perlu untuk sedikit bersikap realistis, lantas menggan-
drungkan penampilan-penampilan gitar. Demikianlah malam yang
basah itu menjadi milik banyak orang yang dengan padatnya meme-
nuhi perut Teater Besar. Dan seorang pemuda simpatik yang
memakai jas kuning melantunkan remasan gitarnya untuk beberapa
karya Luis de Marvais, Scarlatti, Bach, Lobos.
Carl belum lama ini digunjingkan orang perkara gelar Maestronya.
Kita tidak akan mengusut nilai apa yang sebenarnya bersembunyi
dalam gelar itu -- apa artinya sama dengan penghargaan
kwalitas atau hanya sampai pada sebutan semacam "doktorandus"
-- yang di Itali bisa dikenakan oleh siapa saja tanpa ada maksud
untuk melekatkan predikat akademis di belakangnya. Carl sendiri
tampaknya mempunyai temperamen yang lebih mengutamakan kerja
daripada coba-coba. Dengan sederhana resital itu dilangsungkan.
Dalam kekosongan panggung yang diselimuti oleh layar-layar hitam
itu, Carl dengan tekun menindih gitarnya, seakan-akan sudah
menjadi bagian dari anggota badannya sendiri. Temperamen suara
yang keluar dari instrumen itu jelas memperlihatkan tampang
batin anak muda ini sendiri. Sementara teknik tidak lagi menjadi
problim baginya, ia pun main dengan santai saja sambil
sekali-kali melihat daftar urutan lagu yang harus dimainkan
sementara lagu-lagu itu sendiri sudah melekat di luar kepalanya.
Kurang Bersih
Ada yang merasa bahwa permainan Carl untuk jenis klasik malam
itu kurang bersih. Terutama tatkala ia memainkan Praeludium,
Gavotte en Rondeau dari Johann Sebastian Bach. Dianggap
permainannya untuk jenis Latin lebih rancak. Tapi musikus
seperti Sukahardjana misalnya menganggap resital anak muda yang
berusia 22 tahun itu dapat digolongkan bagus. Carl sendiri yang
mengaku mempersiapkan dirinya selama 2 bulan. Itupun bagi dia
sudah terlalu lama, lantaran ia hanya tinggal mengulangi saja.
Barangkali ini sebab- nya ia kelihatan santai-santai saja,
meskipun tetap tekun. Para penyaksi malam itu memang tidak
merasa tertekan oleh sikapnya yang los -- tidak sebagaimana
ngototnya pemain-pemain bule kalau lagi menggelarkan sesuatu
yang mereka anggap serius dan berbobot. Mungkin ini pula salah
satu daya tarik dari Carl sehingga resitalnya banyak dilongok.
Walaupun penonton tidak begitu ribut keplok minta tambah tatkala
malam pertunjukan itu berakhir, toh Carl memang merasa perlu
juga untuk memenuhi keinginan semua orang untuk tombok satu lagu
lagi. Sikap penonton yang cukup entusias (tetapi tidak terlalu
bergelora) ini mungkin disebabkan karena nomor-nomor yang
dipilih oleh Carl tidak begitu dikenal banyak orang. Juga
permainannya tidak begitu ekspresif. Untuk terus memupuk
kesetiaan penonton di masa yang akan datang memang baik
diperhatikan juga penyusunan nomor-nomor yang ditampilkan.
Nantinya setelah lewat masa ingin tahu orang tentang siapa Carl.
tentunya Carl pantas juga untuk menyelidiki apa-apa yang lebih
komunikatif dengan penonton. Di samping menyuguhkan sesuatu yang
berbobot -- sampai batas-batas tertentu misalnya.
Setidak-tidaknya sedikit nomor yang agak dikenal oleh kebanyakan
orang, yang anggap saja sebagai variasi Carl sendiri tampaknya
masih tetap optimis terhadap publiknya. Ia bertekad untuk
memperbanyak penampilan resital gitar, untuk mengumpulkan terus
masyarakat pendengar gitar. Tidak lama lagi misalnya dia sudah
punya rencana untuk tampil di Surabaya. Tapi di balik itu da
juga memang kecemasannya terhadap kesetiaan pendengar gitar
klasik yang kini tampak lagi musimnya. "Barangkali dalam 10
tahun mendatang saya akan berfikir-fikir untuk bermain gitar
pop, kalau perkembangan publik gitar klasik mencemaskan", ujar
Carl pada TEMPO. Sementara Sukarhardjana peniup klarinet yang
juga sedang getol mengumpulkan masyarakat pendengar klarinet
malahan menganjurkan agar Carl terus saja di klasik. Malahan
katanya: "Kalau anak muda itu disekolahkan lagi, wah
permainannya akan lebih matang. Bayangkan anak muda seusia dia,
sudah bisa menyantol publik begitu banyak. Paling tidak saya
mendapat teman untuk menyantol publik klasik lebih banyak lagi".
Sebagaimana biasanya, penampilan Carl malam itu terbagi dalam
dua babak. Dalam babak periama ia telah memilih menyuguhkan:
karya anonimi dari abad ke-16 (Se Lo M'accorgo, Conzonnen und
Tanze, Capricio. Canzone, Mascherada), kemudian beberapa karya
dari Luis De Narvaez, Alesandro Scarlatti, Bach, Maura Giuliani,
Caspar Sanz. Kemudian sesudah masa jedah, ia meneruskan
membawakan Etude no.1 dan Prelude no.1 dan 3 dari H. Villa
Lobos, diteruskan dengan Murmullo de la la guna (Eduardo Falu)
dan kemudian Sona- tina no.1, Madronas dari F. Moreno Torroba.
Semuanya dibawakan Carl dengan lancar. Barangkali sedemikian
lancarnya sehingga kadangkala ia menjadi otomatis. Beberapa saat
kita menjadi agak kehilangan unsur ekspresi dalam resitalnya
itu. Tempeamen Carl sendiri banyak mempengaruhi permainannya.
Ini untuk sedikit membantah kesan beberapa orang yang menganggap
untuk jenis klasik malam itu mungkin Carl agak kurang latihan.
Sebab ternyata justru kebalikannya. Penguasaan di luar kepala
yang terlalu tok-cer bisa membuat penampilan menjadi mekanis,
sehingga mempunyai akibat yang sama dengan kurang latihan.
Dengan istilah yang bombastis: pucat tak berdarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini