SEBUTIR manik-manik terakota Majapahit abad ke-13 koleksi Celi. Molano berharga Rp 60.000. Padahal, itu terbuat dari lempung merah yang diolesi minyak mineral. Seuntai kalung terakota berisi 20 butir manik, harganya Rp 1,2 juta. Itu belum termasuk harga bandul yang terbuat dari emas atau perak. Ada pula seuntai manik-manik Cina, tahun 500 SM, seharga US$ 2.000, selain yang Rp 100.000. Dan itu paling murah di antara 80 untai manik-manik yang dipamerkan di Esquire Room Mandarin Oriental Hotel, Jakarta, 13, 14, dan 15 November. Celia Molano pertama kali berpameran di Luz Gallery, Manila, Agustus lalu. Katanya, sambutan sangat menggembirakan, meski tak banyak yang membeli. Pameran di Jakarta kali ini adalah yang kedua, atas sponsor kedutaan Filipina dan Hotel Mandarin. "Saya berharap akan banyak pengunjung yang datang untuk menyaksikannya Barang sederhana ternyata bisa dibuat lebih menarik daripada emas," katanya. Telah 15 tahun istri Jose Molano, Direktur ad interim ILO untuk Indonesia, ini mengumpulkan manik-manik dari Afrika, Amerika Selatan, Eropa, dan Amerika. Kemudian, ia menyulapnya jadi untaian kalung. Sejumlah besar garapannya merupakan kombinasi manik dari suatu daerah dengan hiasan dari daerah lain, hingga tercipta corak khas versi Celia. Misalnya, dengan berani ia menggabungkan manik-manik terakota asal Jawa Tengah dengan hiasan mamuli dari Sumba. Atau antara anting-anting emas Batak dan "manik-manik mata cokelat" dari Syria. Bahwa harganya tinggi, itu bukan perkara baru. Ratusan tahun silam, kata Virginia S. Saunders, wartawati Travelnews Asia, manik-manik bisa digunakan untuk membeli sapi, menebus kebebasan, membeli budak, melunasi utang, bahkan dijadikan mahar. Di Indonesia, selain sebagai hiasan dan pelengkap upacara keagamaan, manik-manik juga pernah berfungsi sebagai alat tukar dalam dunia perdagangan. Kehadiran manik-manik antik India, Tiongkok, Afrika, Timur Tengah membuktikan adanya lalu lintas jual-beli dengan manik-manik sebagai alat tukar. Pernah terjadi, pada 1900, sebutir manik lukut sekala dari Serawak, laku 100 gulden. Malah, beberapa abad sebelumnya, sebutir lukut bisa ditukar dengan seorang budak. Koleksi Celia cukup banyak dan beraneka. Ia bercita-cita membuka butik sambil berpameran ke berbagai negara. Manik-manik tanah liat bercorak burung dan bunga, yang ditemukan di Indonesia, kini sedang dipamerkan di Museum Bead, Los Angeles. Ia sering membeli manik-manik dari berbagai penjuru dunia. Dan, menurut dia, paling enak membeli di Kalimantan. "Di sana masih murah," ujarnya. Jual-beli manik, ternyata, bukan hak paten Celia. Di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat, sejumlah toko acap kali didatangi orang Jepang yang memborong manik-manik. Di Jakarta, juga bukan cuma dia yang boleh menyandang gelar koleksi manik. Ada Chiki Arifin, Prapanca Art Interior Shop, dan V. Ady Wiyogo, semua sobat Celia. Sayang, mereka tak ikut pameran. Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini