DUNIA seni rupa di Bali memasuki era baru. Era sadar hukum. Seorang pematung yang lugu, dan hampir tak suka menonjol- nonjolkan diri, membuat sebuah terobosan: mendaftarkan patungnya ke Departemen Kehakiman untuk memperoleh hak cipta. Dan Menteri Kehakiman Ismail Saleh selaku Ketua Dewan Hak Cipta memberikan hak cipta itu dalam suatu upacara di Hotel Sahid Jakarta, Kamis pekan lalu. ''Ini untuk pertama kalinya orang Bali mengajukan permohonan pendaftaran ciptaannya ke Direktorat Jenderal Hak Cipta. Biasanya, seniman Bali bangga karyanya dibajak,'' ujar Ismail Saleh. Pematung itu, Made Sama, 47 tahun, bukannya tidak bangga kalau karyanya ditiru orang, walau ia sangat yakin tak akan ada yang bisa meniru patungnya. Yang ia lakukan adalah menciptakan sejarah baru dalam kesenian Bali, yakni setiap gaya, setiap karya, jelas asal-usul penciptanya dan mendapat penghargaan. ''Sekarang banyak karya yang tak jelas siapa penciptanya, karena tak terdaftar. Siapa yang pertama kali menciptakan patung garuda? Siapa yang pertama kali menciptakan barong? Jarang orang tahu, padahal karya itu sekarang dibuat oleh puluhan orang,'' kata Made. Patung Made Sama memang bukan jenis patung garuda atau patung yang bertebaran di toko kesenian. ''Saya bukan perajin, saya seniman. Kalau perajin banyak di Bali, kalau seniman sedikit,'' katanya. Patung Made Sama adalah patung yang abstrak. Unik dan kadang lucu. Seperti pematung lainnya, Made Sama juga berangkat dari bahan yang ada: akar-akar pohon yang umurnya puluhan tahun. Dari bahan itulah ia memainkan ekspresinya. Ia menyebut karyanya merupakan sebuah rangkaian yang saling mempengaruhi dan sambung-menyambung. Karena itu Made Sama menyebutkan karya patungnya adalah ''sebuah aliran''. Ia memberi nama aliran itu hasya bhawa. Artinya, unik dan lucu. Hasya bhawa inilah yang ia daftarkan ke Departemen Kehakiman. Namun, menurut Direktur Jenderal Hak Cipta, Nico Kansil, walau yang didaftarkan itu ''sekelompok patung'' dalam satu gaya, hak cipta yang diberikan tetap untuk setiap patung. ''Yang diberi hak cipta bukan gayanya, tetapi masing-masing karya, walaupun Made Sama mengajukannya dalam satu paket. Jika Made Sama mencipta lagi, ya, harus didaftarkan lagi,'' kata Nico Kansil. ''Ini berlaku untuk semua cabang seni dan penemuan ilmu pengetahuan.'' Kansil ikut mengimbau agar setiap karya seni didaftarkan. Dan prosedurnya tidak sulit. ''Cukup mengisi formulir dan membayar biaya administrasi. Setelah kami cek, tak sampai empat bulan hak cipta diberikan,'' katanya. Untuk benda besar seperti patung hanya menyerahkan fotonya, tapi jika itu karya sastra atau musik, diserahkan salinannya. ''Memang, pada dasarnya semua ciptaan dilindungi secara hukum, sekalipun tidak didaftarkan. Tetapi jika ada sengketa, yang didaftarkan itu pembuktiannya lebih mudah,'' kata Kansil. Dalam UU Hak Cipta (yang baru) penjiplakan bukan lagi tergolong delik aduan, tetapi delik biasa. Ismail Saleh memang pejabat yang paling gencar memasyarakatkan hak cipta. Ketika upacara memberikan hak cipta untuk karya patung Made Sama itu, ia menyebut kemajuan yang sudah dilakukan para pencipta lagu dengan adanya Yayasan Hak Cipta yang dipimpin Chandra Darusman. Di bidang seni yang lain, belum ada yayasan atau lembaga yang mengurus hak cipta, sehingga para pekerja seni di luar pencipta lagu mengurus hak ciptanya sendiri-sendiri. ''Saudara Chandra Darusman itu sedang berjuang melawan pembajakan. Para pembajak itu menikmati keuntungan di atas penderitaan orang. Mari kita tingkatkan kesadaran hak cipta,'' kata Ismail Saleh. Beberapa pengamat seni dan kolektor menyambut baik adanya karya patung yang diberi hak cipta ini. Harga patung Made Sama pun menjadi tinggi. Patung berjudul Memadu Kasih, berbentuk dua kijang berciuman, dibeli seharga Rp 140 juta oleh seorang kolektor. Patung lainnya, yang tinggi atau panjangnya di bawah satu meter, rata-rata berharga Rp 50 juta. Dan laku. ''Itu wajar, karena kolektor yakin bahwa yang dibeli karya asli dan satu-satunya. Jika ada dua, berarti satunya jiplakan,'' kata Ir. Made G. Putrawan, pengusaha Jakarta yang menjadi Ketua Panitia Pameran Expresi '93. Pameran inilah (di Hotel Sahid Jakarta, 11-13 Februari lalu) yang memajang 35 patung Made Sama yang semuanya memperoleh hak cipta. Dalam pameran ini juga dipajang 35 lukisan ekspresionis Made Sama. Lukisan-lukisan itu, yang tak lebih dari kelanjutan ekspresi patungnya, tidak didaftarkan ke Ditjen Hak Cipta. ''Tidak sempat. Tapi untuk setiap lukisan dikeluarkan sertifikat,'' kata Made Sama, seniman otodidak yang juga penari ini. Putu Setia dan Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini