SURYADI Swabhuana alias Adi Kumis, 27 tahun, tegap melangkah ke ruang sidang. Senin dua pekan lalu Pengadilan Negeri Palembang memeriksa permohonan peninjauan kembali (PK) terpidana mati itu. Pertengahan April 1992 Suryadi dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Palembang. Ia terbukti membunuh Soeripto sekeluarga, karyawan PT Pusri Palembang. Akhir November lalu Suryadi malah sudah mengajukan grasi kepada Presiden. Tapi, ''Grasi itu diajukan LBH tanpa persetujuan saya,'' katanya berkilah. Nyonya Sakurayati, bekas ketua tim penasihat hukum Suryadi, membantah. ''Itu tidak benar. Wong dia sendiri yang menandatangani permohonan grasi itu,'' ujar Ketua LBH Palembang itu sengit. Tapi bukan karena Suryadi mengingkari grasi itu LBH Palembang ''mogok'' mendampinginya dalam upaya PK. ''Soalnya, memang tidak ada fakta baru untuk PK,'' kata Sakurayati kepada Aina Rumiyati Aziz dari TEMPO. Suryadi cuek. Ia menunjuk Dindin Suudin, bekas anggota tim pembela. ''Ia tahu benar perkara saya. Lagi pula dalam persidangan dulu ia paling gencar mencecar jaksa,'' kata Suryadi. Ketika menjatuhkan vonis, hakim berpendapat, ''Pembunuhan itu berencana dan tunggal.'' Suryadi menyangkal melakukannya sendirian, dan banding. Di tingkat banding, vonis hakim diperkuat. Kasasi ke MA pun tak mengubah nasibnya. Hasil grasi belum diketahui ketika dicabut Suryadi. Gantinya, permohonan PK tadi. Peristiwanya terjadi April 1991. Suryadi bersama dua teman indekosnya, Topan dan Alex, berangkat dari Jakarta ke Palembang, katanya, untuk mengambil mobil. Di Palembang Topan dan Alex menginap di hotel, sedangkan Suryadi, yang pernah kuliah di Palembang, menginap di tempat indekosnya dulu, rumah keluarga Soeripto. Soeripto, 54 tahun, dan putra tunggalnya, Bambang Wiryanto, 22 tahun, teman kuliah Suryadi, menyambutnya dengan tangan terbuka. Mereka juga tak curiga melihat Suryadi menjinjing sepasang dambel. Bapak dan anak itu tahu bahwa Suryadi, yang bertubuh atletis, punya hobi angkat besi. Ternyata dambel 5 kg itu menjadi alat pencabut nyawa mereka. Setelah itu Suryadi membawa kabur TV, radio-tape deck, uang Rp 285 ribu, dan mobil Daihatsu Taft milik Soeripto. Ia langsung menuju hotel tempat kedua temannya menginap, lalu kembali ke Jakarta. ''Cerita itu rekayasa polisi,'' kata Suryadi. Dalam PK ia mengatakan disiksa agar mengaku. Jadi, siapa menurut dia yang melakukan pembunuhan? ''Topan dan Alex. Saya dipaksa memegang kaki korban,'' katanya. Bekas pembelanya, Nyonya Sakurayati, mengemukakan bahwa cerita itu sudah diungkapkan di persidangan, tapi ditolak hakim. ''Jadi bukan fakta baru.'' Dindin sependapat dengan Sakurayati, tapi ia menyatakan bahwa banyak fakta yang luput dari perhatian hakim. Misalnya kesaksian Kepala Satuan Serse Poltabes Palembang, Kapten Mathius Salempang, yang menemukan empat gelas minum di atas meja makan di rumah Soeripto. Menurut Salempang, tak satu pun sidik jari Suryadi ditemukan di gelas-gelas itu. Dindin juga melihat visum tidak logis. Dalam visum disebutkan bahwa hantaman dambel seberat 5 kg menimbulkan memar. Padahal besi seberat itu, menurut Dindin, bisa menyebabkan kepala remuk. Ada lagi. Barang bukti TV, yang dalam BAP disebutkan berukuran 12 inci, di persidangan terungkap berukuran 20 inci harus digotong dua orang. Sidang PK Suryadi memang belum selesai. Jaksa T. Asnawi akan memberi jawaban pekan depan. Tapi Suryadi yakin PK-nya akan berhasil. Kalau ditolak? ''Saya pasrah pada takdir,'' jawabnya sambil menunjuk langit. Hasan Syukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini