Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Mahar Pergi Membawa Misteri

"Rektor Malari" dan dokter kepresidenan Bung Karno itu telah tiada.

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNCUL desas-desus ketika Bung Karno meninggal pada 21 Juni 1970. Laporan resmi pemerintah Orde Baru menyebut alasan wajar kematian presiden pertama Indonesia itu. Tapi sebagian orang meragukannya. Salah satu janda Sukarno, Ratna Sari Dewi, meyakini hingga sekarang bahwa Sukarno telah diracun. Mana yang benar masih menjadi misteri. Dan misteri itu mungkin akan terkubur selamanya bersama pemakaman Mahar Mardjono pekan lalu. Bekas dokter kepresidenan itu, yang merawat Bung Karno sejak 1968 hingga saat-saat terakhir hidupnya, meninggal karena gagal ginjal. Ketika tanah menguruk lubang kubur secangkul demi secangkul di makam Tanah Kusir pekan lalu, benarkah tak ada lagi sisa rahasia yang dibawa almarhum? Situasi politik setelah 1965 dan perlakuan negatif terhadap Bung Karno memang mudah memicu syak wasangka. Tapi Mahar selalu menolak mengungkapkan penyakit yang merenggut nyawa proklamator itu dengan alasan etika kedokteran. "Tulis saja seperti yang sudah diketahui umum bahwa Bung Karno sakit ginjal dan darah tinggi," katanya kepada TEMPO bertahun lalu. Bagaimanapun, Mahar sebenarnya sama sekali bukan orang yang tertutup. Selama masa jabatannya sebagai Rektor Universitas Indonesia, 1973-1982, justru ia menunjukkan pribadi yang terbuka dan demokratis. Bukan hanya kepada sesama koleganya di kampus, tapi lebih-lebih kepada mahasiswanya. Mahar setidaknya mengalami dua peristiwa penting yang berhubungan dengan gerakan mahasiswa—dua batu ujian yang kemudian membuat harum namanya. Yang pertama adalah Malapetaka 15 Januari 1974 atau yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Malari. Kala itu, menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakue Tanaka, mahasiswa berdemonstrasi menentang masuknya modal asing, khususnya dari Jepang. Demonstrasi itu berubah menjadi huru-hara besar yang kini diyakini sebagai ulah intelijen militer. Tapi, pada waktu itu, kerusuhan dipakai sebagai dalih untuk membungkam gerakan mahasiswa dan menangkapi tokohnya. Sebagai rektor, Mahar membela mahasiswanya. "Ketika pemerintah menekan Universitas Indonesia, Profesor Mahar tidak mundur," kata Hariman Siregar, salah satu aktivis mahasiswa yang ditangkap dan dipenjarakan kemudian, "Dia justru seolah ingin mengesankan demonstrasi itu sebagai gerakan universitas." Ketika Hariman dan kawan-kawan diadili, Mahar segera membuat surat resmi menunjuk Suardi Tasrif sebagai pengacara para mahasiswanya. Ujian kedua adalah ketika sang Rektor dipaksa penguasa berhadapan dengan mahasiswanya sendiri pada 1978. Saat itu, Menteri Pendidikan Daoed Joesoef memberlakukan peraturan Normalisasi Kehidupan Kampus, yang ditentang luas oleh mahasiswa. Demonstrasi dan pembangkangan berlangsung. Kampus Universitas Indonesia nyaris saja diserang aparat militer. Tapi Mahar lagi-lagi membela mahasiswanya. "Beliau mengancam mundur dari jabatan Rektor UI kalau militer memaksa masuk," kata Hariman. Efektif. Pasukan militer pun urung menerjang mahasiswa di kampusnya sendiri. Sikap Mahar yang lugas itu, menurut Hariman, karena tiadanya pamrih akan jabatan. Itulah yang membuat banyak kalangan, bahkan orang yang berseberangan dengannya, menaruh hormat. "Soeharto saja respek kepadanya," kata Hariman. Kartono Mohamad, wakil Mahar ketika menjadi Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, mengatakan, "Keberanian beliau menentang arus mungkin karena beliau tak pernah takut kehilangan jabatan." Lahir di Semarang, Jawa Tengah, 8 Januari 1923, Mahar memang memperoleh tempaan keras sejak muda. Perjalanan hidupnya berliku. Pendidikan kedokteran yang dimulainya di Geneeskundige Hogeschool (sekolah dokter zaman Belanda) terhenti pada 1942 karena invasi Jepang. Ia baru melanjutkan pendidikan pada saat Jepang menduduki Indonesia, sambil mengikuti latihan militer Pembela Tanah Air (Peta). Inilah bekal baginya untuk ikut bergerilya selama agresi Belanda setelah kemerdekaan, yang membuatnya sempat merasakan penjara militer Belanda di Kalisosok, Malang. Berkat pengalaman militer itu, Mahar bahkan kemudian bergabung dengan TNI Angkatan Laut dan sempat menjadi Komandan Pangkalan Angkatan Laut di Situbondo, Jawa Timur. Namun dinas militer dia tinggalkan untuk kembali menekuni dunia kedokteran, dunia yang mengantarkannya menjadi dokter kepresidenan dan mengharumkan namanya sebagai rektor. Sang Rektor kini telah pergi. Benarkah tak ada lagi sisa rahasia yang dibawa almarhum? Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus