Rumah Wito, seorang guru sekolah menengah di Batuyang, Lombok Timur, ludes. Sekitar 300 orang merangsek akhir pekan lalu. Sambil memanggul pentungan dan senjata tajam, mereka masuk rumah, mengeluarkan semua perabot dan membakarnya. Tak cukup hanya itu, mereka juga mencoreti tembok rumah dengan hujatan terhadap Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), organisasi yang dianut Wito.
Selain di Batuyang, orang-orang juga menyerbu rumah anggota organisasi itu di Poh Gading dan Aikmel. Sembilan rumah dan sebuah musala milik LDII porak-poranda. Akibatnya, hampir 100 jemaah LDII kehilangan tempat tinggal dan terpaksa harus mengungsi di Markas Kepolisian Resor Lombok Timur.
Pengungsian itu membuat polisi kelabakan. Mereka bahkan belum sempat beristirahat setelah dua pekan lalu menangani para pengungsi jemaah Ahmadiyah, yang juga diusir penduduk di Selong dan Pancor, kawasan lain Lombok Timur. Dalam sebulan terakhir, kabupaten itu memang berubah menjadi tempat yang paling tidak nyaman bagi mereka yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
Seperti juga jemaah Ahmadiyah, anggota LDII dinilai tidak menjalankan agama Islam dengan benar. "Mereka mengaku Islam, tetapi umat Islam lainnya dianggapnya seperti najis," kata Repaah, seorang warga Batuyang. Beberapa kali, kata Repaah, ia memergoki anggota jemaah ini mencuci tangan setelah berjabat tangan dengan muslim lainnya.
Suwarsono, Ketua Dewan Penasihat LDII Lombok Timur, membantah hal itu. Jemaah LDII, kata dia, sama saja seperti umat Islam lainnya yang percaya pada Al-Quran dan hadis Muhammad. Toh, kebencian masyarakat terhadap anggota jemaah itu telanjur menggumpal.
Dan sejatinya itu tidak baru. Pada 1971, atas desakan pemuka Islam, Pemerintah Daerah Lombok Timur telah melarang aktivitas kelompok Islam yang dianggap menyimpang seperti Islam Jamaah, Lemkari, dan LDII itu. Larangan itu kembali ditegaskan dalam pertemuan antara tokoh masyarakat dan agama pada 1996. Hasilnya, mereka sepakat kegiatan LDII tetap dilarang di sana.
Namun, proses reformasi memberi peluang kebebasan. Sejak itu, banyak anggota jemaah Ahmadiyah ataupun LDII kembali memasuki Lombok Timur. Mereka datang sebagai pegawai negeri atau wiraswasta. Repotnya lagi, keadaan ekonomi mereka relatif lebih baik ketimbang penduduk pribumi lokal. Nah, aspek inilah yang umumnya mengundang kecemburuan penduduk asli, yang memang kemudian seperti jerami yang mudah terbakar.
Sekam kebencian itulah yang kembali tersulut pekan silam. Semua diawali oleh Badrun, seorang guru sebuah sekolah menengah di Kecamatan Pringgabaya yang menyebarkan fotokopi artikel di majalah Sabili yang bernada sumbang tentang LDII. Masyarakat bergerak.
M.U. Salmun, Pemimpin Redaksi Sabili, mengatakan artikel itu sebenarnya sudah kedaluwarsa. Tulisan itu terbit pada Mei lalu saat LDII mengadakan pertemuan nasional di Bandung. "Lagi pula, kami tidak menyebutkan bahwa LDII merupakan aliran sesat," katanya, "Kami pun menyajikannya secara cover both sides."
Bagaimanapun, sekam menyala sudah. Bupati Lombok Timur, Syahdan, tidak melihat kasus ini semata kasus agama, tapi juga politik. Dia melihat ada pihak-pihak yang bermain dalam konflik ini, meski tidak mencoba menunjuk hidung. Tujuannya, menurut Syahdan, apa lagi kalau bukan menggoyang kepemimpinannya, yang akan habis akhir tahun ini.
Sang Bupati memang berada dalam posisi dilematis. Sementara ia tak bisa membiarkan sebagian rakyatnya menjadi pengungsi, pemerintah daerah sulit bertindak tegas kepada para penyerang. Dalam kasus Ahmadiyah, penangkapan terhadap pelaku teror malah menimbulkan kerusuhan yang lebih besar. "Kami justru dituduh melindungi Ahmadiyah," kata Kepala Kepolisian Resor Lombok Timur, M.A. Wiguna. Walhasil, polisi membebaskan 12 orang yang diperiksa.
Pembebasan itu makin membuat takut mereka yang terusir. Samino, seorang guru dan anggota jemaah itu, menyatakan tak akan kembali ke rumahnya di Pringgabaya, Lombok Timur. "Suasananya sudah enggak enak," katanya.
Irfan Budiman, Emil Rachyan (Mataram)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini