Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gaji Diambil, Bersidang Malas

Sidang-sidang paripurna DPR kini sulit mencapai kuorum. Kinerja parlemen sangat memalukan.

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar cuek saja ketika memimpin rapat paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Anak, akhir September lalu. Saat keputusan diambil, hanya ada 105 anggota DPR di dalam ruang rapat paripurna. Darul Siska Said dari Fraksi Partai Golkar sudah melayangkan interupsi. "Apakah sidang ini layak untuk mengambil keputusan?" protes Darul. Tapi Muhaimin enggan menanggapi. "Dengan ini, rancangan undang-undang kita nyatakan sah," katanya, sembari mengetukkan palu tiga kali. Kejadian seperti ini sudah berkali-kali berlangsung. Sepekan sebelumnya, Wakil Ketua DPR dari PPP, Tosari Wijaya, juga mengesahkan undang-undang tentang perubahan APBN 2002 di hadapan kursi kosong. Menurut hitungan staf sekretariat DPR, jumlah anggota DPR yang duduk di ruang sidang hanya 123 orang, dan itu belum memenuhi kuorum pengambilan keputusan. Tapi Tosari tetap mengetukkan palu. Anggota DPR hanya datang mengisi absen pada rapat paripurna, lalu "meloloskan diri" saat ada pandangan fraksi-fraksi. Alasannya, bosan mendengarkan pendapat fraksi, meskipun mereka tak pernah bosan mengambil gaji—dan mungkin amplop jika ada rapat-rapat khusus. Mereka berpendapat, sikap fraksi toh sudah jelas, untuk apa didengarkan lagi. Namun, anehnya, menurut Sekretaris Fraksi Partai Golkar Daryatmo Mardiyanto, usulan agar pandangan fraksi ini dipersingkat ditolak banyak anggota. "Katanya, pandangan fraksi adalah pertanggungjawaban publik," Daryatmo menjelaskan. Alasan yang aneh bin ajaib. Publik yang tidak digaji disuruh menyimak pandangan fraksi yang berbuih-buih itu, sementara anggota DPR yang digaji untuk itu ngacir mencari sabetan. Menurut data dari Biro Persidangan Sekretariat Jenderal DPR, tingkat kehadiran anggota dalam sidang paripurna memang menyedihkan. Angkanya berkisar 250-300 orang dari 500 anggota seluruhnya. Itu pun hanya saat pembukaan sidang paripurna. Setelah sidang berjalan, satu per satu keluar mencari job baru. Jadwal sidang pun jadi banyak yang molor. Sidang yang seharusnya dimulai pukul sembilan pagi biasanya terlambat satu sampai dua jam hanya untuk menunggu kuorum anggota. Buntutnya, jadwal sidang di belakangnya, misalnya sidang komisi atau dengar pendapat, jadi berantakan karena menunggu selesainya sidang paripurna. Atau, kalau jadwal sidang komisi tak bisa diundur karena mengundang pihak eksekutif, terpaksalah anggota pada ngacir dari sidang paripurna. Ini bukan sekadar menghormati "tamu luar", tetapi juga menyangkut hal-hal yang "basah", misalnya kecipratan "rezeki" yang dibawa tamu. Kinerja buruk ini jelas mempengaruhi produk Dewan. Pada masa persidangan 2002-2003 yang hampir separuh jalan ini, baru tujuh rancangan undang-undang yang bisa disahkan menjadi undang-undang, sementara ada 49 rancangan undang-undang yang sedang dibahas dan menunggu pengesahan. Produktivitas DPR sekarang kalah jauh dibandingkan dengan parlemen di masa Presiden B.J. Habibie, yang bisa menghasilkan 67 undang-undang selama setahun, bahkan yang termasuk "berat" seperti Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Partai Politik, dan Pemilihan Umum. Data yang dicatat Forum Komunikasi Massa DPR, yang anggotanya adalah wartawan peliput di DPR, menguak rendahnya tingkat disiplin anggota DPR. Berdasar absensi di Sekretariat Jenderal DPR, untuk masa persidangan Mei-Juli 2002, misalnya, dari sembilan fraksi hanya dua yang tercatat mencapai persentase kehadiran di atas 80 persen, yakni Fraksi TNI/Polri (87,9 persen) dan Fraksi Persatuan Daulatul Ummah (80,1 persen). Persentase kehadiran terendah atas nama Fraksi PKB, yakni 65,4 persen. Ini menunjukkan bahwa TNI/Polri, yang mau didepak dari DPR, ternyata jauh lebih disiplin dibanding politisi sipil itu. Wakil Ketua DPR, A.M. Fatwa, mengaku sulit melarang anggota DPR keluar ruang sidang. Solusi yang ditawarkan Fatwa adalah membentuk Dewan Kehormatan DPR. Berdasar Pasal 6 Keputusan DPR No. 03B Tahun 2001-2002 tentang Kode Etik DPR, para anggota DPR diwajibkan hadir secara fisik dalam rapat-rapat Dewan. Dan anggota yang tidak hadir secara fisik sebanyak tiga kali berturut-turut dalam rapat sejenis, tanpa izin pemimpin fraksi, bisa dikategorikan melanggar kode etik. Mereka bisa dikenai sanksi oleh Dewan Kehormatan. Sayangnya, tutur Fatwa, Dewan Kehormatan selalu ditolak keberadaannya oleh sejumlah fraksi besar. "Mereka takut kadernya akan terkena sanksi," kata Fatwa. Tragis memang, fraksi besar menampilkan anggota yang memalukan. Duitnya oke, pekerjaannya tidak. Arif A. Kuswardono, Fajar W.H.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus