Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria kekar itu menunduk seraya menghunuskan mata gergaji. Senjata itu tidak ia genggam, tapi menyatu di lengannya—seperti Edward Scissorhands dengan guntingnya. Mesin gergaji itu tumbuh bak punuk di punggungnya. Nama sang cyborg: King Cutte. Patung berbahan serat kaca resin itu karya Nus Salomo, dipamerkan dalam Deus ex Machina di Ark Gallery, Jalan Senopati, Jakarta Selatan, hingga pekan lalu.
Di sudut lain, wanita dengan dada membusung memakai helm bersetrip merah biru. Bagian pinggang ke bawah bukanlah kaki, tapi roda. Tangannya memegang alat kontrol yang terhubung ke sebuah mesin di punggung. Inilah Mono Moto, patung serat kaca resin berwarna putih.
Lewat pameran ini, Nus Salomo ”mengawinkan” manusia dan mesin menjadi satu spesies baru. Ada patung, lukisan, dan gambar sketsa. Deus ex Machina adalah istilah Latin yang diambil dari bahasa Yunani theos ek mechanes: dewa penyelamat yang berbentuk mesin. Dalam teater-teater Yunani, tokoh berwujud mekanik ini muncul di akhir pertunjukan dan memberikan solusi yang tak diduga-duga.
Semangat inilah yang diusung Nus, 42 tahun. Alumnus Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung ini melanjutkan studi di Arts Centre College of Design, Pasadena, Amerika Serikat. Spesialisasinya: desain produk dan pertunjukan. Lulus pada 1996, Nus bekerja sebagai desainer freelance di negara itu. Ia pernah bekerja di Hallmark Entertainment (dan ikut mendesain Sanrio Theme Park di Jepang), lalu melompat ke Brainchild Entertainment, biro desain terkenal di bidang pertunjukan.
Pulang ke Tanah Air pada 2003, Nus hanya setahun melanjutkan profesi desainernya. Pria itu banting setir, bergabung dengan ”12 Pas”—kelompok seniman yang diprakarsai alumnus Institut Seni Jakarta. Di awal kariernya, Nus berpameran bersama grup ini di berbagai kota. Karya seninya beragam—patung, lukisan, seni video, dan instalasi. Nus juga pernah terlibat dalam pergelaran tari dan musik di Solo, Jawa Tengah.
Menurut Jim Supangkat, kurator pameran, latar belakang pendidikan dan pekerjaan Nus membuat sang seniman terbebas dari konsep seni modern. Karena datang dari dunia desain, Nus tak akrab dengan wacana seni versus nonseni. Ia menciptakan karya yang berasal dari pengalaman melihat sekelilingnya. Ia mengangkat pesona visual yang sehari-hari kita temukan di kafe, mal, dan restoran yang dirancang dengan baik. Sensasi yang sama bisa dirasakan tatkala melihat karya-karya Nus kali ini.
Padahal, selama ini, perdebatan antara seni dan nonseni masih berlanjut. Pada masa kini, orang kerap menggolongkan karya di ruang pamer dan galeri sebagai ”seni”, sedangkan display di mal adalah ”bukan seni”. Jim menilai ini bukan perdebatan baru. Sejak masa lalu sudah ada ”perseteruan” mazhab seni untuk rakyat (yang bisa dinikmati semua orang) versus seni yang eksklusif.
Jim menilai Nus menyerap informasi seperti menghirup oksigen—yang ada di sekitarnya tanpa tahu dari mana asalnya. Maka pengalaman personalnya tak berbeda dengan pengalaman orang banyak. Dan itu tecermin dalam karya-karyanya.
Dalam patung seri ”manusia motor”, manusia menyatu dengan motor, benda kecintaannya. Lewat karya ini, Nus menggambarkan hubungan manusia dengan barang koleksi yang mereka cintai. Kecintaan ini kadang bahkan melebihi cinta pada sesama manusia. Barang-barang itu justru menjadi identitas, kebanggaan, dan gaya hidup. Jim menyebutnya: pemanusiaan benda.
Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo