Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Mengaji tanpa Teknologi

25 Mei 2009 | 00.00 WIB

Mengaji tanpa Teknologi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kompleks itu tak seperti pondok mengaji. Pagarnya yang rapat oleh pepohonan menyembunyikan bangunan di dalamnya. Di balik pagar itu tak terdengar suara orang mengaji dari loudspeaker, lazimnya pesantren masa kini.

Bagian dalam kompleks Pesantren Sundus di Kampung Cipeuteuy, Cikeas, Bogor itu baru bisa dilihat setelah memasuki gerbangnya. Amboi..., ini kompleks yang resik: masjid, tempat mondok, dan ruang belajar menyatu dengan pohon, rumput hijau, kolam, dan saluran air yang terawat. Toh, suara mengaji belum terdengar. Tapi sudah ada ciri khusus bahwa kompleks seluas 1,5 hektare ini sebuah pesantren: santri muda di sana selalu mencium tangan santri yang lebih senior ketika berpapasan di mana pun, kapan pun.

Suara orang mengaji baru terdengar ketika Tempo men­dekat ke masjid di tengah kompleks. Itu pun sayup-sayup saja. ”Kami memang tidak memakai pengeras suara,” ujar Ustad Muhammad Irfan, menantu pemimpin pondok ini, KH Muhammad Hidayatullah. Kiai Muhammad, 65 tahun, tak bisa ditemui karena sedang gering berkepanjangan.

Sungguhpun antispeaker, Irfan menolak pesantrennya disebut menista loudspeaker. ”Kita tidak mengharamkan atau menghalalkan alat ini, karena memang dasar aturannya tidak ada,” ujarnya.

Sundus, yang berarti sutra, tak hanya menyingkirkan pengeras suara. Di pondok berpenghuni 200-an santri laki-laki dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, hingga berbagai daerah di Sumatera itu tak boleh ada radio, televisi, dan telepon.

Di Bogor, pesantren ini bukan satu-satunya pondok yang tidak memakai pengeras suara, melarang radio serta televisi, dan aneka teknologi maju. Ada belasan pesantren Aspek—kependekan dari antispeaker, sebutan warga setempat untuk pesantren seperti ini—di seantero Kota Hujan. Pondok itu terserak mulai dari Megamendung di punggung Puncak hingga di dekat pusat kota, Tanah Baru. ”Pusat pesantren model ini untuk Bogor ada di Cibeduk,” kata Irfan.

Irfan mengatakan, alasan penolakan pesantrennya pada aneka macam teknologi itu sederhana saja. ”Karena tidak ada dasarnya dalam Al-Quran, hadis, serta kitab para ulama,” kata lelaki berumur 30 tahun itu.

Karena itulah, pesantren tasawuf yang didirikan pada 1970 oleh KH Muhammad (almarhum) itu memilih menahan diri untuk tak memakai peranti tersebut. ”Kami tidak membolehkan yang tidak ada aturannya,” kata Irfan.

Padahal, sudah tak terhitung orang yang menawarkan pe­ngeras suara kepada pesantren ini. ”Selama masih ada cara lain membangunkan orang, speaker memang tidak diperlukan,” ujarnya. ”Kentongan saja sudah cukup,” katanya.

Alasan lain penolakan itu adalah karena teknologi ini berpotensi merusak kekhusyukan mengaji. Ini diakui ­Wahyudin. ”Suara speaker bisa mengganggu orang yang sedang serius mempelajari Al-Quran, hadis, atau kitab kuning,” kata santri asal Lampung itu. ”Lebih baik tanpa pengeras suara seperti sekarang. Belajar jadi benar-benar bisa berkonsentrasi,” kata dia.

Jalan tasawuf di pesantren ini juga terasa kental dalam soal keuangan. Pesantren bermazhab Syafi’i ini tak memungut biaya gedung dari para santrinya. Santri yang tak mampu dibebaskan dari biaya pendidikan. Untuk membangun pondok, pesantren ini mengandalkan pemberian donatur dan orang tua santri. Bantuan dari pemerintah?

Pesantren ini menolak bantuan dari Departemen Agama. Pengurusnya juga tak pernah menyebarkan proposal permintaan bantuan kepada pemerintah setempat atau pihak swasta. ”Dalam menjalankan agama Islam kita harus shawab (akur) dan Ikhlas agar ibadah kita diterima di sisi Allah SWT,” kata Irfan. ”Kami yakin, rezeki Allah yang mengatur.”

Deffan Purnama (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus