Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sang Guru dan Secangkir Kopi
Penulis: Andi Achdian
Penerbit: Kekal Press, Bogor
Cetakan: I, April 2011
Tebal: 139 hlm
Pagi buta di satu sudut Jakarta, lelaki ringkih bermuka pasi dan gigil lutut melangkah terhuyung-huyung. Ia berhenti di pinggiran got penuh gundukan sampah, lalu beberapa kali muntah. Dari kejauhan tubuhnya tampak meliuk-liuk, nyaris terjungkal. Seorang wartawan muda bergegas meminggirkan mobilnya, berhenti di belakangnya. Wartawan ini melihat wajah lelaki itu tak asing karena ia pernah mewawancarainya perihal peristiwa pembantaian massal antikomunis pasca-1965. Ia memapah lelaki itu, menuntunnya masuk mobil, dan mengantarnya pulang.
Lelaki renta itu adalah Onghokham (1933-2007), sejarawan senior, doktor lulusan Universitas Yale, Amerika Serikat (1975). Pagi itu adalah perjalanan pulang Ong selepas pesta wine entah di mana. Cerita ini dituturkan seorang alumnus Fakultas Sejarah Universitas Indonesia yang pernah mengecap kuliah Ong. Sebagai dosen, Ong dikenal ”killer”, tak taat disiplin administrasi perkuliahan. Buku absensi mahasiswa selalu hilang. Mengajar pun tak taat silabus. Satu topik bisa terulang dalam tiga kali pertemuan. Bila diingatkan, Ong ngotot dengan suara tinggi: ”Memang harus tiga kali! Supaya sempurna tanaknya di benak kalian!”
Begitulah Ong, sejarawan yang pada 1980-1990-an begitu produktif menyiarkan tulisannya di Kompas, Tempo, dan Prisma. Sepanjang riwayatnya, Ong bergelimang buku, memenuhi undangan kedutaan asing, diskusi sejarah, memasak, dan mabuk Scotch. Ia berbeda haluan dengan Sartono Kartodirdjo dan Nugroho Notosusanto, dua sejarawan yang pernah ”dinobatkan” negara sebagai penentu bulat-lonjongnya historiografi Indonesia.
Ong tak peduli pada gelar profesor yang layak ia sandang. Alih-alih predikat guru besar, kepangkatan pegawai pun tidak ia urus, bahkan sampai pensiun. Ia sibuk menelaah bermacam buku babon—dari George Lefebvre, Albert Soboul, hingga Braudel—menerima tamu ilmuwan dari luar negeri, dan tentu saja menulis guna memancangkan pemahaman tentang hakikat ilmu sejarah yang dianutnya.
”Apa artinya Indonesia bagi Ong?” begitu Andi Achdian, penulis buku Sang Guru dan Secangkir Kopi ini, bertanya dalam sebuah obrolan. ”Bila tidak ada Indonesia, kau akan berjalan membungkuk-bungkuk di hadapan raja-raja Jawa,” jawab Ong.
Bagi Ong, Indonesia adalah konstruksi realitas yang memungkinkan persamaan antarwarga negara dan membebaskan orang dari ikatan primordial dari Sabang sampai Merauke. Indonesia adalah pencapaian paling ajaib sebuah negara-bangsa dengan wilayah geografis, dari ujung barat sampai timur, yang sebanding dengan perjalanan dari London menuju Istanbul. Gerakan separatisme di Aceh dan Papua tidak mengakibatkan balkanisasi, tidak pula menjadikannya terbelah sebagaimana India menjadi Pakistan dan Bangladesh (1947).
Lewat buku ini, Andi—disebut-sebut murid paling bungsu Ong—memetakan penglihatan mata kesejarahan Ong dengan cara tak biasa. Data ia himpun dari kenangan semasa menjadi murid sekaligus sahabat Ong sejak 2002. Cakrawala intelektualitas Ong yang sedemikian kaya tentu tak terbuhul utuh, tapi obrolan yang melibatkan sisi personalitas Ong memperlihatkan cara kerja seorang sejarawan yang unik dan khas.
Tengoklah obrolan perihal kegemaran Ong meracik bumbu saat memasak makanan kegemarannya. Awalnya hanya soal merica, tapi obrolan meluas menjadi sejarah asal mula pelayaran orang Eropa memburu rempah-rempah. Diceritakan, para perempuan Inggris mencampurkan rempah-rempah ke dalam masakan, rasanya lebih enak, makanan lebih awet, dan tak perlu dimasak setiap hari. Maka perempuan-perempuan itu menyuruh suami mereka mencari rempah-rempah, hingga para suami takut istri itu menjadi pelaut tangguh.
Mata kesejarahan Ong yang disingkap Andi memaklumatkan pemahaman sejarah sebagai ”his-story”, sejarah tentang manusia, bukan sejarah institusi, struktur, bukan pula sekadar peristiwa. Dengan mata itulah Ong melahirkan gagasan brilian dalam Brotodiningrat Affair, yang menurut Andi adalah masterpiece Ong. Pilihan yang kurang masuk akal, sebab tulisan itu masih berupa paper yang belum sempat terbit, tarikh kecil tentang kehilangan gorden penutup ruang depan sebuah rumah karesidenan di Madiun pada abad ke-18. Asisten residen menuding bupati bernama Brotodiningrat, yang hendak menelanjangi wajah kemaruk kolonialisme. Karya sejarah yang alegorik dan metaforik.
Di mata kawan-kawan, kedekatan Andi dengan Ong menimbulkan kecurigaan bahwa sejarawan muda ini hendak mendompleng popularitas. Tapi, menimbang perbincangan dari hati ke hati sebagaimana tersuguh dalam buku ini, kenyataannya malah terbalik. Seamsal dunia persilatan, di akhir hayatnya justru Ong yang ingin mewariskan jurus paling sulung kepada Andi, si murid paling bungsu itu.
Damhuri Muhammad, esais
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo