Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Setelah 19 tahun lamanya, Kalam hadir lagi dalam format digital.
Kalam lahir sebagai respons atas hilangnya ruang sastra dan budaya di media cetak.
Kalam punya misi menambah penulis esai yang semakin kalah jumlah dari penulis cerpen dan puisi.
Memori Nirwan Dewanto seketika melompat mundur ke 1994. Saat itu ia aktif bekerja di dapur redaksi majalah Tempo. Nirwan berdiskusi dengan Goenawan Mohamad, pendiri majalah Tempo, dan beberapa petinggi redaksi untuk membicarakan sebuah rencana: memisahkan rubrik Kalam menjadi majalah yang berdiri sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Kalam hanyalah rubrik suplemen alias pelengkap majalah Tempo yang memuat tulisan kritis tentang sastra, kesenian, dan lintas disiplinnya. Menurut Nirwan, selain menerbitkan tulisan tentang sastra dan seni, Kalam layak berdiri sendiri sebagai jurnal kebudayaan yang memuat pemikiran kritis atas isu yang sedang hangat diperbincangkan di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walhasil, jadilah Kalam berdiri sendiri sebagai sebuah majalah yang terbit saban empat bulan sekali. Menurut Nirwan, Kalam menjadi sarana kaum intelektual, penyair, hingga perupa untuk mengungkapkan gagasannya. Terlebih saat itu Indonesia masih digenggam pemerintahan Orde Baru yang serba ketat.
"Orang-orang itu butuh saluran alternatif. Maka Kalam hadir untuk itu," kata Nirwan, kemarin.
Kalam pun terbit sejak 1994 hingga edisi ke-22 pada 2005. Kemudian dengan berat hati Kalam pamit mundur kepada pembaca setianya. Alasan tutupnya majalah Kalam beragam, dari sulitnya kondisi saat itu hingga perubahan ruang-ruang sastra. Sejak awal 2000-an, media cetak, seperti Kompas serta Koran Tempo, hadir memberikan ruang khusus untuk sastra dan budaya.
"Kalam berdiri karena dulu ruang sastra dan budaya di media cetak tidak ada. Kalam mati juga karena ruang-ruang itu muncul lagi di surat kabar," kata pria yang kini berusia 62 tahun itu.
Kini, setelah 19 tahun berlalu, Nirwan membangkitkan Kalam dari tidur panjang. Kalam hadir lagi sejak akhir Januari lalu dalam bentuk dan format digital. Rencananya Kalam tampil dalam dua versi, yakni edisi terbit setiap tiga bulan sekali dan dua pekan sekali.
Nirwan mengatakan perubahan tersebut diambil lantaran Kalam harus menyesuaikan diri dengan media digital yang serba cepat. "Kasihan kalau pembaca harus menunggu setiap tiga bulan," ucapnya.
Redaktur Utama Kalam Nirwan Dewanto (kanan) dan Zen Hae dalam diskusi Kalam Kembali dan Peluncuran Kalamsastra.id di Salihara Arts Center, Pasar Minggu, Jakarta, 24 Februari 2024. TEMPO/Nita Dian
Nirwan menyatakan bangkitnya Kalam sejatinya merupakan respons atas kondisi media sastra dan budaya saat ini. Dalam beberapa tahun terakhir, makin sedikit media cetak yang memberikan ruang khusus untuk sastra dan budaya. Bahkan sejumlah media cetak berbondong-bondong hijrah ke format digital, yang secara hitung-hitungan produksi lebih murah ketimbang cetak.
"Bubarnya media cetak sama seperti mengecilkan kritik terhadap seni. Kalam hadir untuk membuka lagi kritik terhadap seni," ujar Nirwan.
Untuk urusan dapur redaksi, Nirwan mengatakan Kalam hanya terdiri atas tim kecil yang berisi lima personel, yakni dua redaktur utama (Nirwan dan Zen Hae), satu sekretaris redaksi, satu desainer grafis, dan satu pengelola situs web.
Nirwan mengaku turun tangan sendiri dalam proses kurasi tulisan yang masuk dari penulis ke keranjang surat elektronik Kalam. Menurut dia, proses kurasi karya menjadi tantangan terbesar Kalam saat ini. Nirwan harus membaca dan memilah satu per satu karya. Pengalaman sebagai redaktur di Kalam pada 1994-2005 dan redaktur sastra di Koran Tempo pada 2005-2016 menjadi bekal Nirwan menyeleksi setiap tulisan yang masuk ke mejanya.
"Setiap tulisan bagus atau tidaknya bisa tercium salah satunya dari paragraf pertama," kata pemeran Albertus Soegijapranata dalam film Soegija yang rilis pada 2012 itu.
Sekretaris Redaksi Kalam Udiarti mengatakan medianya menerima beragam tulisan, dari cerpen, puisi, hingga esai. Menurut Udiarti, pada pekan-pekan pertama kehadiran Kalam, setidaknya ada 30-40 tulisan yang masuk.
Sekretaris Redaksi Kalam Udiarti saat diwawacarai Tempo di Salihara Arts Center, Pasar Minggu, Jakarta, 21 Februari 2024. TEMPO/Nita Dian
Selain itu, Kalam menerima kiriman karya perupa dan pelukis dalam bentuk foto. Tujuannya, foto karya lukis atau patung akan dijadikan ilustrasi dalam edisi Kalam berikutnya. "Jadi ilustrasi di Kalam itu, ya, karya perupa Indonesia," kata perempuan 30 tahun itu.
Udiarti mengatakan Kalam edisi tiga bulanan memiliki isi yang lebih banyak ketimbang versi dua pekan sekali. Sebagai perbandingan, Kalam versi dua mingguan hanya terdiri atas dua puisi, satu cerpen, dan satu ulasan atau esai.
Adapun versi tiga bulanan berisi dua tulisan cerpen, tiga puisi, dua esai, dan beberapa tulisan lain, seperti wawancara serta album yang memuat tulisan edisi lawas, misalnya tulisan Sutan Sjahrir tentang kesusastraan dan kerakyatan yang tayang pada edisi terbaru Kalam. "Versi tiga bulanan itu ada cover-nya juga," ujarnya.
Salah satu misi Kalam saat ini adalah memperbanyak penulis esai. Sebab, Nirwan mengakui jumlah penulis esai mengalami kemunduran. Jumlah penulis esai tak sebanding dengan penulis cerpen dan puisi yang berlimpah.
Walhasil, Nirwan berencana turun gunung hingga ke kampus-kampus untuk mencari penulis-penulis esai baru. Menurut dia, tesis mahasiswa S-2 sangat layak dijadikan tulisan esai. Namun tidak serta-merta tulisan tesis boleh disalin dan ditayangkan.
"Perlu ditulis ulang agar lebih terasa jiwa dan subyek penulis dalam bentuk esai."
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo