Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di atas panggung berselimut kain hitam, nyala 15 lilin berpendar. Di dalam temaram ini, bunyi sarpa-dunai menyapa dengan satu nada panjang. Amat panjang, tapi pada akhirnya kita pun memahami maksudnya. Saparunai memainkan nada tunggal, dan seraya menghentikan bunyi pada waktu tertentu, sehingga terbentuklah ritme. Ritme dengan tempo yang mengalir sangat lambat.
Ya, pada mulanya alat tiup asal Sumatera Barat itu menghasilkan sebuah nada. Lantas, berangsur-angsur lahir sebuah komposisi: sarunai kecil meluncur dengan nada yang lebih tinggi, semakin tinggi, lalu sedikit menurun. Pelan, lambat-laun mengeras dan melemah lagi, lalu mengeras. Mirip suara ambulans yang meraung-raung, bagai sangkakala. Kita pun bisa menangkap perkembangan ini, perkembangan yang berangkat dari satu garis lurus, lantas menjadi anyaman nada, matriks.
Syahrial, komponis pencipta nomor itu, menyebut karyanya Insafibarangkali maksudnya mengakui kesalahan atau kembali ke jalan benar. Dalam pertunjukannya, pada awal Juli dua pekan lalu di Gedung Kesenian Sositet, Yogyakarta, Syahrial menyediakan teks: suatu usaha untuk menyamakan ide atau, dengan kata lain, menggiring pikiran penonton ke dalam tafsir yang dikehendaki. Insafi sangat religius. Ia bercerita tentang kesadaran yang muncul di saat jiwa mengakui kesalahannya, kesadaran menjadi hakim yang adil, dan segenap kesombongan, kemunafikan, dan kebencian luntur sudah. Kebenaran ada di sana. "Satu rasa dalam hakikat," katanya.
Musik Syahrial musik kontemplatif yang diberi tajuk Suara Hening. Ia mengakui musiknya diilhami antara lain oleh mantra Buddhis dan upacara keagamaan lainnya. Dan pengolahan estetika bunyi dilakukan dengan mempertemukan dua unsur nuansa: Minangkabau dan Cina. Dalam Asak Ansua, yang musiknya juga ditata Syahrial, memang terdengar pengolahan ritme alat musik tiup itu bercampur dengan instrumen musik Cina: yang chin (seperti seruling kecapi Sunda), bowl Cina, simbal jazz, kecapi Minang, dan boki Cina. Di sini, alat musik tradisional dipaksa memainkan komposisi kontemporer.
Instrumen buatan dimainkan. Ada kecapi Minang tanpa fret. Dawainya lebih panjang dan cara memainkannya tidak hanya dipetik, tapi juga digesek seperti rebab atau dipukul-pukul seperti gambang Jawa. "Saya mencoba mengeksplorasi instrumen musik untuk memperoleh bunyi yang pas. Dengan demikian, musik yang dihasilkan semakin dalam karena kita tahu karakter alat musik itu," tutur ayah dua anak lulusan STSI Denpasar ini.
Sarpadunai dan sarunai bersaudara. Sarpadunai generasi baru sarunai. Diameternya lebih besar, terdiri dari dua suara. Melodi tujuh nada (diatonis) dan round (nada panjang). Dalam sarpadunai, bila nada panjangnya dimainkan bersamaan, akan menghasilkan akord. Di sini Syahrial memadukan nada pentatonis dengan diatonis, dengan penyesuaian nada-nada semitone. Misalnya, dalam Insafi, Syahrial menggunakan nada dasar Cis. Untuk mendapat akord E, pemain sarpadunai memainkan nada panjang Fis, Bis, dan Gis.
Empat komposisi musik dibawakan, masing-masing saling berhubungan: ada makna, tujuan, dan isi. Insafi, Asak Ansua (ajakan moral), Sengketa Bunyi, dan Ilauan Diri (ratapan diri) dimainkan berangkaian selama satu jam. Enam pemainnya, Adrizaldy, Syahrial, Nasrul, Syukra, Nop G., dan Risydul Pahman. Meditasi merupakan sebuah proses. Demikian pula musik ini. Proses perenungan sepanjang dua tahun menghasilkan komposisi musik meditatif yang unik. Berbeda dengan yang selama ini dikenal masyarakat. Mereka hanya menata komposisi tanpa tema atau isi. Hanya kadang disisipi suara alam, gemericik air atau kicau burung.
Ini yang berbeda. METAdomus mengeksplorasi musik dan instrumen. Dan setiap komposisi memiliki pesan. Iramanya bisa tenang, tapi juga bisa berisik. Serangkaian alat musik itu yang dimanfaatkan untuk mengantar para meditator menuju kedalaman jiwa. Memang, tidak semua orang bisa memahami. Tetapi, menurut Syahrial, suasana hening bisa diperoleh lewat bermacam cara. "Saya ingin membuka wawasan. Suara berisik juga bisa menghantar orang ke gerbang kesunyian jiwa. Filosofi ini yang saya ambil," tuturnya.
L.N. Idayanie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo